MATEMATIKA = ONTOLOGI: Sebuah Meditasi Filosofis Alain Badiou terhadap Cantorian Set-Theory

Fathin Priatna
Penulis Muda
Published in
6 min readApr 12, 2024

Oleh: Fathin Priatna

Photo by Saad Ahmad on Unsplash

Apa yang menjadi concern dalam kajian matematika? Selama ini, mungkin kita mengira bahwa matematika hanya mengurusi penyelesaian persamaan-persamaan, berkutat pada angka- angka, atau sebuah alat di mana kita bisa melakukan perhitungan yang dengannya kita dapat memperkirakan peristiwa di masa depan. Namun, Alain Badiou – seorang filsuf sekaligus matematikawan berkebangsaan Prancis – menunjukkan bahwa matematika lebih daripada itu semua. Bagi Badiou, matematika adalah bahasa dasar atau sebuah alat deskriptif yang dengannya kita dapat menggambarkan dunia yang kita tinggali saat ini. Matematika bukanlah determinisme pada tindakan sehari-hari kita, melainkan sebuah pijakan bagi kita semua untuk melakukan penemuan dan revolusi.

Lalu, apa yang dimaksud badiou dengan “matematika = ontologi”? Sebelum kita menjawab itu semua, adalah baik bagi kita untuk memahami apa itu ontologi. Di dalam dunia filsafat, kajian ontologi adalah kajian yang begitu kaya dan telah berlangsung berabad-abad yang lalu. Dan dalam hal ini, kita dapat memperlakukan ontologi sebagai kajian mengenai asas-asas rasional dari yang-ada. Sebuah studi untuk mengetahui esensi terdalam dari yang-ada. Di dalam bukunya, Badiou yang menggunakan istilah “ontologi” sebagai “qua being” dan “Being”. Berpendapat, bahwa itu semua secara ekuivalen mengacu pada gagasan matematis tentang himpunan. Dengan demikian, ontologi (kajian tentang apa yang-ada) disamakan dengan teori himpunan, yang bagi Badiou apa yang-ada memiliki bentuk yang paling murni yaitu set atau kumpulan dari “benda-benda” yang merupakan kelipatan dan multiplisitas.

Badiou bertaruh di dalam bukunya bahwa matematika modern terutama teori himpunan dan teori kategori telah mencapai sumber daya khusus yang mampu mengklarifikasi gagasan filosofis tradisional tentang “kebenaran”, “perubahan”, “kenyataan”, “kewajiban moral”, “baik”, “jahat”, dll., dengan cara yang revolusioner dan radikal. Matematika menyediakan bahasa yang universal dan egaliter. Yang di mana menurut Badiou, dengan bahasa yang universal inilah kita mampu untuk menginterogasi multiplisitas dan memisahkan kelipatan dari penggunaan bahasa yang rusak dan kontingen. Dengan mempelajari aksioma dan sifat himpunan itulah kita dapat mencapai pemahaman baru yang radikal tentang pengetahuan dan kebenaran.

“Tesis yang saya dukung sama sekali tidak menyatakan bahwa apa yang-ada itu matematis, artinya terdiri dari objektivitas matematis. Ini bukan tesis tentang dunia, tetapi tentang wacana. Ini menegaskan matematika, sepanjang keseluruhan keberadaan historisnya, mengucapkan apa yang dapat diungkapkan qua being…

semua yang kita ketahui, dan dapat pernah kita ketahui sebagai qua being, ditetapkan, melalui meditasi teori kelipatan murni, oleh diskursif sejarah matematika.”−Alain Badiou, Being and Event hal. 8.

Meditasi Filosofis Cantorian Set-Theory

Ketika mempelajari himpunan dan kelipatan, secara intuitif mungkin kita akan menganggapnya sebagai “kumpulan objek-objek”, dan tentu saja tidak salah untuk berpikir demikian. Karena salah satu keunikan dari teori himpunan adalah bahwa teori tersebut tidak mendefinisikan secara pasti harus terdiri dari benda (“elemen”) seperti apakah himpunan-himpunan itu. Jadi, sederhananya teori himpunan hanya menyediakan konsep himpunan secara umum, tanpa menentukan elemen sebenarnya yang menyusun himpunan tersebut.

Suatu himpunan secara praktis dapat terdiri dari “semua kucing di dalam kandang”, atau “semua mahasiswa di kelas ini”, atau “semua warga negara Indonesia”, namun teorinya tidak bergantung pada properti atau penentuan individu ini. Setiap himpunan adalah “multiplisitas” objek, dan setiap objek “terkandung” yang dengannya sebuah himpunan dapat menjadi multiplisitas lain. Sebagai contoh, himpunan “semua mahasiswa di kelas ini” terdiri dari himpunan “mahasiswa di kelas ini yang rupawan” dan “mahasiswa di kelas ini yang tidak rupawan”. Inilah hal yang menjadi keunggulan teori himpunan sebagai ontologi.

Kemunculan teori himpunan diawali dengan menggunakan angka sebagai objek utama mereka untuk diselidiki. Namun, apa itu angka? Kita telah lama menggunakan angka dalam kegiatan kita sehari-hari seperti di bidang statistika murni, nilai harga pasar, atau bahkan angka polling. Tapi apa esensi terdalam dari angka itu? Di dalam bukunya, Badiou menyatakan,

“Sebuah paradoks: …kami tidak memiliki gagasan baru dan aktif tentang apa itu angka…Kami tahu betul untuk apa angka itu: mereka melayani, secara tegas, untuk segalanya, mereka memberikan norma untuk semua. Tapi kita masih belum tahu apa itu…”−Alain Badiou, Number and Numbers hal. 2.

Di dalam bukunya Number and Numbers, Badiou mengusulkan perjalanan melalui silsilah konsep angka seperti apa yang dieskplorasi secara historis. Yang tujuan utamanya adalah untuk menyelamatkan konsep angka dari definisi empiris yang dangkal dan mensubstitusi perenungan metafisika yang aneh dengan landasan konseptual yang kokoh yang dipahami dengan pemikiran murni.

Sudah lama para pemikir menaruh perhatiannya pada pertanyaan mendasar seperti: apakah mungkin menjelaskan angka tanpa menganggapnya sebagai empiris (dapat diamati di dunia eksternal), atau sebagai transendental (di luar pemahaman kita), tetapi sebagai konsep yang murni diproduksi oleh diri sendiri? Sederhananya, dapatkah kita menjelaskan angka berdasarkan pemikiran kita sendiri, secara aksiomatis, tanpa harus bergantung pada pengamatan inderawi yang terbatas. Apakah pemikiran kita mampu melakukan itu semua? Untuk menciptakan sebuah pengalaman pemikiran baru tanpa harus ternodai dengan kontradiksi atau komplikasi persepsi.

Cantorian Set-Theory atau Teori Himpunan Cantor diawali pada akhir tahun 1873 oleh seorang matematikawan Jerman bernama Georg Cantor. Cantor memberikan sebuah pendekatan baru dalam mengkonstruksi angka berupa konsep teoritis himpunan. Sebuah teori yang tampak sederhana dan memungkinkan kita menggunakan konsep relasi “Belonging” yang dinotasikan dengan lambang “∈”.

Kita bisa saja menyatakan bahwa himpunan {kucing, harimau} dan himpunan {anjing, serigala} adalah milik himpunan {hewan menyusui}: jadi {kucing, harimau} ∈ {hewan menyusui} dan {anjing} ∈ {hewan menyusui}. Perlu kita catat bahwa setiap himpunan bisa terdiri dari sub- elemen atau sub-set. Misalnya {kucing} dapat terdiri dari {kucing munchkin, kucing Persia, kucing Bengal}.

Objek yang kita pilih pada himpunan sebelumnya mungkin terkesan sembarangan. Namun, perlu kita catat sekali lagi bahwa teori himpunan tidak memiliki definisi secara eksplisit mengenai apa itu himpunan. Keindahan bangunan konseptual teori himpunan terletak pada ketidakbergantungannya pada deskripsi a priori himpunan itu sendiri melalui predikat empiris. Walaupun secara intuitif kita bisa memikirkan bahwa himpunan adalah kumpulan dari objek, tetapi kita tidak perlu memikirkan objek seperti apa saja yang bisa menyusun sebuah himpunan. Oleh karena itu, teori himpunan pada dasarnya berusaha menyajikan kepada kita semua sebuah aturan abstrak untuk himpunan apa pun.

Di dalam sebuah himpunan atau Badiou yang di dalam bukunya lebih suka menggunakan konvensi ini dengan istilah “kelipatan” (himpunan=kelipatan). Kita dimungkinkan untuk membuat fungsi dasar yang disebut sebagai “power set” atau “himpunan kuasa” sebagai himpunan yang terdiri dari seluruh “bagian”atau “inklusi” dari himpunan awal.

Sebagai contoh, kita bisa membuat sebuah himpunan S={x,y,z}, maka power set-nya adalah p(S)={∅, x, y, z, {x,y}, {y,z}, {x,z}, {x,y,z}}; dan perlu kita ingat bersama bahwa himpunan kosong merupakan himpunan bagian atau sub-set implisit dari setiap himpunan. Untuk seluruh himpunan berhingga S berukuran n, jumlah elemen dalam p(S) akan selalu sama dengan 2^n. Jadi, dari contoh sebelumnya, karena S memiliki 3 elemen, maka power set- nya harus berjumlah 2^3 = 8. Power set atau himpunan kuasa, merupakan fitur umum dari semua himpunan.

Baik, sekarang kita sudah memiliki bahan yang cukup untuk melanjutkan perenungan ini. Melalui pendekatan tadi kita bisa mengkonstruksi sebuah bilangan ordinal tanpa harus menggunakan angka. Untuk menyusun bilangan ordinal kita akan mengawalinya dengan sebuah “himpunan kosong” atau himpunan yang tidak mengandung elemen. Kita bisa menotasikan himpunan kosong dengan tanda “” atau “{}”. Langkah selanjutnya, kita bisa membuat himpunan yang berisi himpunan kosong, “himpunan dari himpunan kosong”:[∅]; himpunan ini terdiri dari elemen tunggal dari himpunan kosong. Kemudian, kita dapat membuat himpunan selanjutnya dengan menggabungkan himpunan sebelumnya dengan himpunan kosong: [∅, {∅}]. Dan apabila kita menggabungkan himpunan yang berisi himpunan terakhir dan dua himpunan sebelumnya, kita akan mendapatkan sebuah himpunan: [∅, {∅}, {∅, {∅}} ].

Jika kita memperhatikan dengan teliti, maka kita akan mendapati bahwa apa yang kita konstruksikan sebelumnya sesuai dengan apa yang kita kenal sebagai “bilangan ordinal” atau “bilangan asli”:

∅=0

[∅] = 1

[∅, {∅}] = 2

[∅,{∅},{∅,{∅}}] =3

[∅, {∅}, {∅, {∅}}, {∅, {∅}, {∅, {∅}}} ] = 4 …dan seterusnya.

Ini sangat luar biasa, bukan? Kita baru saja mengkonstruksi sebuah konsep bilangan ordinal dengan sesuatu yang “tidak ada” dan aturan suksesi yang merupakan “penambahan” himpunan ke dirinya sendiri, sesuai dengan apa yang kita jumpai pada konsep bilangan ordinal yang pada dasarnya “berisi” semua ordinal yang mendahuluinya.

Dengan demikian, kita bisa mengatakan bahwa ”3” dapat diwakili dengan himpunan [1, 2, 3]. Yang secara ontologis, keberadaan “3” merupakan himpunan ekuivalen yang berisi himpunan kosong [∅, {∅}, {∅, {∅}} ]. Dengan kasus ontologi yang sama, kita bisa memperlakukan hal serupa pada bilangan asli mana pun, dan kita hanya membutuhkan himpunan kosong dan relasi “Belonging” atau “kepemilikan” untuk mendefinisikan konsep ordinal seperti itu.

Di dalam buku Being and Event, Badiou menghabiskan banyak bab berbicara mengenai signifikansi filosofis dalam membangun dasar himpunan dan angka pada “himpunan kosong”. Dan melalui pembahasannya, kita dapat memahami akan pentingnya teori himpunan (sebagai fondasi matematika) melalui himpunan kosong. Yang dengannya kita mampu untuk membawa pemikiran kita melampaui apa yang ada, mengkonstruksi matematika tanpa elemen “istimewa”: matematika yang dimulai tanpa benda dan bukan pada sesuatu yang sudah ada sebelumnya.

Referensi

  1. Badiou, Alain. (1988). Being and Event. Feltham, Oliver. (2005). Continuum: New York, USA.
  2. Badiou, Alain. (1990). Number and Numbers. Mackay, Robin. (2008). Polity Press: Cambridge CB2 1UR, UK.
  3. Katsoff, Louis O. (1953). Pengantar Filsafat. Soemargono, Soejono. (2004). Tiara Wacana Yogya: Yogyakarta, Indonesia.
  4. https://www.thecollector.com/alain-badiou-mathematics-ontology/

Tentang Saya

X (Twitter): @FathinPria

Instagram: @fathinpria._

--

--

Fathin Priatna
Penulis Muda
0 Followers
Writer for

I write about Philosophy-Mathematics-Education, @fathinpria._ on Instagram, @FathinPria on X