Mengapa Menulis di Layar Laptop Begitu Memberi Tekanan

Ageng Indra
Penulis Muda
Published in
3 min readMay 29, 2019

Semacam curhat sulitnya menulis diksi yang bagus, lalu kalimat yang bagus, lalu paragraf yang bagus, hingga tulisan yang bagus — menurut ukuran sendiri, setidaknya — di halaman Words.

Selama duduk di depan laptop, saya lebih banyak menghabiskan waktu memandangi layar ketimbang menggerakkan jari di atas keyboard. Dan setelah 4 jam, baru saya sadari telah lebih lama tiduran menatap langit-langit, atau buka facebook, atau menatap ke luar jendela, ketimbang betul-betul menghadap halaman putih di Words. Layar laptop tampaknya memberikan efek psikologis tertentu yang membuat saya kesulitan menyusun kalimat.

Bila di kertas, saya bisa membiarkan pena menulis kata per kata sebelum tahu apa kata yang akan muncul berikutnya, atau seperti apa kalimat yang akan terbentuk nantinya. Di Words, saya cenderung menuntut diri sendiri menyelesaikan satu kalimat dulu di kepala, sebelum menuliskannya. Dan kalau pun sudah berhasil menuliskannya, segera saya tersadar kalimat itu buruk, atau tidak mengalir bila dibaca setelah kalimat sebelumnya, lalu merasa perlu memperbaikinya sebelum lanjut menuliskan kalimat berikutnya.

Terbiasa menulis lancar di atas kertas setiap hari, rupanya tetap membuat saya selalu jadi pemula setiap duduk kembali di depan laptop. Saya jadi berpikir, jangan-jangan karena menulis di kertaslah penulis-penulis klasik di akhir abad 19 atau awal abad 20 bisa melahirkan banyak karya tebal, seperti Mark Twain menulis sejumlah buku perjalanan tebal yang cukup tinggi untuk jadi bantal tidur orang demam, atau Gustave Flaubert yang selain menulis novel-novel tebal juga banyak sekali menulis surat-surat yang terstruktur dan bagus — dalam menulis surat pun, dia tidak asal.

Saya sering mempertanyakan kenapa banyak penulis klasik — sebut saja begitu — lebih produktif ketimbang banyak penulis-penulis modern yang menulis dengan mesin ketik atau komputer atau laptop? Dan apakah, penulis-penulis yang menggunakan mesin ketik juga lebih produktif ketimbang penulis yang menulis di Words? Jika menyebut Gabriel Garcia Marquez, jawabannya tentu tidak. Marquez butuh tujuh tahun untuk menulis satu novel di mesin ketik, sementara ketika beralih ke komputer, dia bisa menerbitkan satu novel dalam dua tahun sekali dengan ketebalan serupa.

Tapi barangkali, menulis di mesin ketik lebih baik dalam beberapa hal tertentu ketimbang menulis di laptop. Setidaknya, tak ada tombol delete yang selalu menggoda untuk ditekan ketika menulis di Words. Emha Ainun Najib, saya mendengar soal ini entah dari mana, terbiasa menulis di mesin ketik yang tak punya tombol delete sehingga, ketika menulis di laptop, ia pun jarang menekan tombol delete sampai tulisannya selesai.

Di sini, saya mulai bisa menunjuk apa yang barangkali membuat saya kesulitan menghadapi halaman di layar laptop. Words menghadirkan kemungkinkan untuk menyusun ulang segalanya, untuk mengoreksi langsung apa yang baru dituliskan, untuk membongkar pasang struktur. Ada begitu banyak kemungkinan yang langsung menawarkan dirinya dalam satu waktu, tanpa perlu menunggu tulisan membentuk dirinya sampai utuh.

Saya tak mengalami kesulitan yang membikin pusing kepala macam begini ketika mengedit naskah orang lain, sekalipun saya harus membongkar struktur tulisannya — seperti memecah argumen untuk berada di beberapa paragraf berbeda supaya alurnya lebih mengalir. Sebab, ketika menghadapi tulisan utuh, saya setidaknya hanya membayangkan sejumlah alternatif yang hadir dari tulisan tersebut, dan jumlahnya terhitung.

Mencari distraksi, di mana ranting pohon di luar jendela yang saya lihat tiap hari tiba-tiba jadi sangat menarik, barangkali adalah kebutuhan karena kemungkinan-kemungkinan tak terhitung yang hadir di layar laptop dan obsesi untuk merespon seluruhnya tidak tertangguhkan bagi kepala saya. Saya menulis ini, barangkali, juga sebagai distraksi, sekaligus percobaan, karena setelah 4 jam, hanya berhasil menuliskan tidak sampai 200 kata, sementara tulisan ini saya tulis tangan dalam hanya 10 menit, dan hanya butuh sekira 20 menit lagi untuk menyalinnya. Saya paham, bukan medianya yang jadi masalah, melainkan cara saya memperlakukan media itu. Tapi tetap saja, menyebalkan sekali.

--

--

Ageng Indra
Penulis Muda

Editor dan penerjemah lepas, juga penulis ninja. Mukim di Bantul, Yogyakarta.