Catatan Refleksi: Dilema dan Kelentingan Pekerja Informal Indonesia

Perihal Perempuan
Perihal Perempuan
Published in
4 min readOct 2, 2022
Dok. ILO

Istilah “kelas pekerja” mungkin sudah bukan istilah yang asing. Tetapi, dalam kelas pekerja sendiri, ternyata ada kategori di dalamnya, salah satunya yang disebut sebagai pekerja informal. Pekerja informal atau yang kerap disebut kelompok pekerja kerah biru adalah mereka yang menambatkan harapan hidupnya berdasarkan upah harian yang tidak menentu.

Dibandingkan dengan pekerja formal alias pekerja kerah putih dan pemilik lapangan kerja, pekerja informal dapat digolongkan sebagai kaum rentan karena disparitas dan ketimpangan upah dan hak yang ada. Padahal, jumlah pekerja informal mencapai lebih dari 80 juta di Indonesia.

Ketimpangan upah ataupun gaji dapat terjadi di sektor formal maupun informal, dan dapat terjadi akibat banyak faktor. Baik dalam konteks gender, level pendidikan, lokasi kerja, ataupun kewajiban dalam pekerjaan. Namun, ketimpangan upah ini sangat berdampak terutama kepada pekerja informal yang penghasilannya bergantung pada produktivitas industri daerah tempat mereka bekerja.

Momok upah yang rendah, minimnya perserikatan, ditambah dengan kesulitan untuk membuat serikat pekerja di industri informal menjadi isu yang sangat hangat dan diketahui oleh seluruh penggerak roda ekonomi di sektor informal, termasuk para buruh perempuan.

Catatan dari Badan Pusat Statistik pada Februari 2021 mengungkap bahwa ketimpangan upah berbasis gender masih kerap terjadi di segala sektor. Tercatat rata-rata upah buruh laki-laki sebesar Rp3,1 juta per bulan dan perempuan Rp2,86 juta per bulan.

Ketimpangan upah buruh tersebut juga terjadi di semua jenjang pendidikan yang ditamatkan. Pada buruh berpendidikan SD ke bawah, upah buruh laki-laki sebesar Rp1,93 juta per bulan, sedangkan perempuan Rp1,19 juta per bulan. Buruh laki-laki yang berpendidikan universitas mendapatkan upah sebesar Rp5,21 juta per bulan. Sementara, upah buruh perempuan yang berpendidikan universitas hanya mencapai Rp4,39 juta per bulan.

Tidak hanya ini, buruh informal di Indonesia sangat rentan terhadap berbagai macam jenis kekerasan. Menurut artikel yang dibuat oleh tirto.id menyadur laporan yang dibuat oleh Global Labor Justice, pabrik industri garmen yang beroperasi di cabang Asia mengeluhkan hal yang sama dari para pekerjanya yaitu kekerasan berupa kekerasan verbal, fisik, dan seksual. Tindak kekerasan ini meliputi pelecehan verbal, ancaman, sampai pemaksaan lembur.

Lebih dari 540 pekerja di pabrik pemasok dua brand ternama di dunia tersebut menggambarkan kekerasan yang dialami mereka dan tak sebatas terjadi di lokasi kerja, tetapi juga di luar pabrik. Kekerasan ini lebih sering dialami oleh buruh perempuan karena posisi mereka yang sangat rentan dikarenakan kontrak jangka pendek, upah yang sangat kecil, target produksi dan jam kerja yang berlebih, dan ketidakamanan tempat kerja.

Salah satu hal yang seharusnya menjadi solusi dari ketimpangan hak yang dialami para buruh adalah dengan adanya serikat buruh untuk memperjuangkan hak-hak mereka.

Sayangnya, kesempatan berserikat yang sangat terbatas malah menjadi salah satu momok tambahan dari hilangnya hak-hak buruh yang seharusnya diberikan oleh perusahaan ataupun pemerintah sebagai pengampu masyarakat.

Kesulitan dalam berorganisasi dan keinginan untuk mensejahterakan diri yang terbebani dengan keinginan untuk bertahan.

Di Indonesia, tidak jarang kesulitan berorganisasi atau berserikat terjadi karena kurangnya sumber daya dan pendekatan pemerintah ataupun LSM terkait pentingnya berserikat bagi para buruh. Membuat sebuah organisasi yang bersifat holistik dan sesuai dengan keinginan komunitas buruh tidak pernah menjadi sebuah dasar organisasi yang ada di Indonesia. Keinginan kolektif hanya dapat diberikan saat posisi buruh sudah terhimpit dengan kondisi yang sangat memprihatinkan.

Jika mengikuti status quo akan organisasi yang dimiliki oleh para buruh, kita dapat berkaca pada kasus organisasi yang dibuat untuk para buruh tani. Organisasi kesejahteraan petani tersebut masih sarat dengan konsep yang mengedepankan pembangunan dan pemberdayaan pemerintah kepada para petani sebagai tulang punggung ekonomi negara.

Pembentukan organisasi petani pada masa ini lebih ditujukan untuk menghubungkan kepentingan pemerintah dengan komunitas lokal alih-alih menyejahterakan, sehingga kepentingan yang diutarakan bukan terkait hak yang harusnya dimiliki oleh para buruh namun hanya kewajiban saja. Menurut ITUC Global Rights Index pada tahun 2017, buruh baik di sektor formal atau informal di Indonesia tidak pernah mendapatkan hak-hak dasar pekerja yang mencakup:

  • Hak sipil
  • Hak untuk berunding secara kolektif
  • Hak untuk mogok kerja
  • Hak untuk mendirikan atau bergabung dengan serikat pekerja
  • Hak untuk berserikat secara bebas

Mulai dari hak-hak yang dipangkas, regulasi yang tidak menyejahterakan, serta hak berserikat yang masih sangat terbatas, dapat disimpulkan bahwa kondisi pekerja informal di Indonesia masih jauh dari kata ideal untuk para buruh dan malah membuat mereka berada di posisi yang rentan.

Tidak jarang kita temukan beberapa buruh yang merasa hilang karena tidak ada perserikatan yang dapat membantu mereka menyampaikan aspirasi terkait tempat dan kondisi kerja yang ada. Sementara kebijakan yang ada hanya berkepentingan untuk pembangunan perekonomian tanpa memperhatikan kesejahteraan pekerjanya.

Terlebih bagi buruh perempuan yang mengalami ketimpangan upah dan kekerasan di lingkungan kerja. Padahal, ada lebih dari 50 juta buruh perempuan di Indonesia yang menjadi bagian dari penggerak ekonomi bangsa. Target pembangunan ekonomi Indonesia di tahun 2023 sebesar 5,3 persen selayaknya memperhatikan juga terpenuhinya hak-hak, keamanan, dan kesejahteraan kelas pekerjanya.

Referensi:

  • Badan Pusat Statistik. “Persentase Tenaga Kerja Formal Menurut Jenis Kelamin (Persen), 2019–2021”.
  • Yusuf untuk Kemenkominfo. “Pemerintah Targetkan Pertumbuhan Ekonomi 5,3 Persen di Tahun 2023”. 16 Agustus 2022.
  • M. Faisal. “Nasib Buruh H&M Tak Secerah Produknya”. Tirto.id. 8 Juni 2018.
  • ITUC Global Rights Index 2017: Violence and repression of workers on the rise. 2017.

Penulis: Yasmine Syifa Budi & Joice Tentry
Editor: Pramasari Edie Wijaya

--

--

Perihal Perempuan
Perihal Perempuan

Wadah diskusi dan publikasi alternatif untuk perempuan.