Dari Suporter Jadi Main Character: Melihat Pergeseran Peran Perempuan dalam Aksi Teror

Perihal Perempuan
Perihal Perempuan
Published in
3 min readApr 18, 2023
Photo by Stijn Swinnen on Unsplash

Ini bukanlah sepotong kisah dari perempuan naif yang mudah diakali dan dibodoh-bodohi. Keterlibatan perempuan dalam pusaran terorisme memang harus diwaspadai.

Memang, dalam beberapa tahun belakangan, telah terjadi pergeseran para pelaku terorisme di Indonesia. Pada dekade 2000–2015 peran perempuan masih berada di belakang layar, layaknya “suporter”.

Kasus keberhasilan Nurdin M Top, arsitek bom Hotel JW Marriot yang main petak umpet dengan petugas, menjadi salah satu contoh atas keterlibatan perempuan di sekelilingnya. Semua aksi persembunyiannya, ia bungkus melalui perkawinan untuk menormalisasikan kehidupan sang buron agar hidup dalam rumah tangga normal.

Menilik kasus yang terjadi, dulu memang banyak perempuan mengaku tak tahu apa yang dikerjakan suaminya dan mereka hanya mengetahui secuil informasi bahwa suaminya sering bepergian lama untuk alasan ”berjihad”.

Namun, sejak periode 2016 ke atas, bisa jadi perempuanlah yang memiliki peran yang menonjol. Dilansir melalui Tempo, keterlibatan perempuan dalam aktivitas terorisme di Indonesia semakin meningkat.

Beberapa kasus besar di tahun 2021 seperti peristiwa teror yang terjadi di Gereja Katedral, Makassar yang pelakunya adalah didalangi oleh pasangan suami istri. Tak hanya itu, penyerangan di Mabes Polri tahun lalu juga dilakukan oleh seorang perempuan berinisial ZA (25).

Keterlibatan perempuan dalam kasus-kasus ini tentu memberi kejutan bagi publik: perempuan seakan bertindak sebagai agen yang punya misi, mulai dari penyedia senjata, perakit bom bahkan pelaku lapangan bom bunuh diri.

Wanita dan Usahanya Keluar dari Kelas Dua

Sejauh ini, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA) mengungkap ada sederet faktor yang bisa mendorong perempuan menjadi pelaku aksi teror.

Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan KemenPPPA Valentina Ginting menjelaskan pada KBR bahwa eksistensi perempuan dalam aksi terorisme bisa didorong oleh sejumlah hal, di antaranya isu korelatif antara budaya patriarki, doktrin dari lingkungan sekitar, kesehatan jiwa, keterbatasan informasi, hingga isu ekonomi yang masih bergantung pada suami.

Sayangnya, dari penjabaran diatas, perempuan terus-menerus dilihat sebagai korban dari suami, orangtua, dan pihak lain, bukan sebagai pelaku aktif yang memiliki kehendak dan berkesadaran.

Padahal, dengan memakai sudut pandang feminisme, perempuan juga menjadi pelaku aktif yang ingin menunjukkan eksistensinya. Kasus bom panci, menjadi salah satunya, di mana Dian Yuli Novita (2017) meyakini bahwa aksinya akan membahagiakan ibunya kelak di akhirat setelah merasa gagal memberikan kebahagiaan di dunia dengan pekerjaannya yang tak membanggakan.

Argumen ini dikemukakan oleh seorang ahli gender dan peneliti Rumah Kita Bersama (KitaB), Lies Marcoes Natsir dalam tulisannya terkait Peta Perempuan dalam Terorisme. Bahwa pada dasarnya perempuan adalah sosok yang punya semangat untuk membuat perubahan. Sayangnya, konstruksi sosial-budaya dan agama selama ini menempatkan perempuan sebagai manusia kelas dua dan menganggap perempuan sebagai aurat dan sumber fitnah. Demikian pula, akses mereka untuk beraktualisasi di ruang publik juga terbatas.

Dengan tekanan hidup yang semakin berat, di mana perempuan merasa tidak memiliki agensi atas diri mereka sendiri dan situasi yang mereka alami, merasa selama ini hidupnya tak bisa mencapai kesetaraan, membuat mereka berpandangan bahwa perubahan bisa diciptakan di kehidupan setelah kematian. Paradigma inilah yang harus dilawan dan diluruskan melalui cara pandang feminisme yang mendorong perempuan untuk setara dan berkontribusi terhadap masyarakat.

Sebab, dalam hasil kajian Rumah Kitab tentang perempuan dan terorisme, kondisi inilah yang kemudian menjadikan perempuan sebagai sosok yang rentan terhadap ideologi radikal. Dalam pandangan mereka, lebih baik hidup sekali tetapi berarti, meskipun kemudian mati berkeping karena bom bunuh diri.

Lantas, perempuan tak bisa lagi hanya dilihat sebagai sekadar suporter dalam aksi terorisme. Adanya kerentanan perempuan terhadap ideologi radikal perlu ditilik lebih jauh dalam kerangka feminisme, tentu saja agar keterlibatan perempuan dalam terorisme bisa dieliminasi. Sayangnya, di tengah kemelut berbagai isu perempuan yang saling berkelindan dan sama mendesaknya, urgensi untuk menyelesaikan perkara ini pun masih cukup jauh dari kata selesai.

Penulis: Arlina Larasati
Editor: Pramasari Edie Wijaya

--

--

Perihal Perempuan
Perihal Perempuan

Wadah diskusi dan publikasi alternatif untuk perempuan.