Harapan Lembaga Advokasi dan Kesiapan Otoritas Kampus dalam Melaksanakan Permendikbud 30

Perihal Perempuan
Perihal Perempuan
Published in
6 min readFeb 1, 2022
Dok. Barney Yau/Unsplash

Beberapa waktu lalu, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI Nadiem Anwar Makarim menyampaikan bahwa seluruh perguruan tinggi di Indonesia sudah harus memiliki Tim Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) paling lambat Oktober 2022 sesuai amanat Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 seperti yang dilansir melalui Liputan6. Bahkan Inspektur Jenderal (Irjen) Kemendikbud Ristek Chatarina Muliana Girsang menegaskan kalau pemerintah juga siap menurunkan Tim Satgas Ad-Hoc untuk mendampingi dan membantu pihak perguruan tinggi yang kesulitan membentuk Satgas PPKS.

Keseriusan yang ditunjukkan pemerintah untuk mencegah hingga menangani kasus kekerasan seksual di kampus ini seperti membawa kembali harapan sekaligus kesadaran bersama.

Walaupun begitu, masih ada dua pertanyaan besar di tengah berita mengenai Permendikbud No 30 ini: sejauh manakah kemampuan dan keberpihakan otoritas kampus dalam menjalankan prinsip kepentingan terbaik bagi korban, serta apakah pihak kampus dapat memegang komitmen dan dapat tetap proaktif untuk memerangi kekerasan seksual?

Kesadaran akan Kebutuhan Kolaborasi antar Lembaga

Kesadaran akan kebutuhan berkolaborasi antar lembaga juga sempat disampaikan Revina, Head of Research and Advocacy in Girl Up Universitas Padjadjaran (UNPAD), pada Perihal Perempuan, “Makanya kenapa kita bentuk aliansi, karena kita emang butuh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) sebagai yang punya birokrasi gitu di kampus. Makanya kenapa aliansi ini menjadi penting. Kalau kita sendiri, karena kita nggak ada kekuatan menggerakan politik kampus gitulah, kita jadi cuma sebatas di riset aja, diundang jadi pembicara webinar, ngobrol-ngobrol dan diskusi gitu.”

Apa yang disampaikan Revina itu senada dengan argumen Thomson, Perry dan Miller (2007) dalam Conceptualizing and Measuring Collaboration, bahwa kolaborasi memang merupakan cara terbaik sekaligus menguntungkan untuk merespon, memutuskan, dan menyelesaikan isu yang menjadi tujuan bersama. Karena proses kolaborasi memungkinkan antar lembaga dan individu di luar organisasi untuk memperluas wilayah gerak, saling memberdayakan, dan bertukar sumber daya, baik secara informal maupun formal.

Sebagai contoh dari penerapan bentuk interaksi formal antar lembaga, menurut Revina, Girl Up UNPAD mewujudkan gaya interaksi formal dengan mengadakan kerjasama pembentukan tim riset dan advokasi isu kekerasan seksual bersama BEM Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip), Fakultas Hukum (FH), dan Fakultas Psikologi (Fapsi) Universitas Padjadjaran.

Sedangkan di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Isnaini selaku Ketua PIK-R (Penyiapan Kehidupan Berkeluarga Bagi Remaja) Aksiologi menuturkan kepada Perihal Perempuan, supaya terjadi efektifitas bimbingan maupun sosialisasi yang lebih masif dan progresif, pihaknya mengadakan kerjasama dengan beberapa Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di lingkungan kampus dari tingkat organisasi Himpunan Mahasiswa (HIMA) hingga BEM fakultas.

Kesadaran menginisiasi berbagai bentuk kolaborasi antar lembaga tidak hanya berangkat dari kebutuhan lembaga advokasi untuk menembus birokrasi politik dan wilayah administrasi kampus saja. Akan tetapi, terdapat juga kebutuhan peningkatan kapasitas intelektual bagi anggota lembaga advokasi dan pendampingan hukum untuk korban kekerasan seksual.

Berkaitan dengan hal ini, Revina pun menyampaikan kalau keterbatasan anggota di internal organisasi ternyata berdampak pada tidak optimalnya proses pelatihan internal anggota maupun dinamika advokasi dan pendampingan korban. Oleh karena itu, pihaknya secara mandiri berinisiatif membuka jalan komunikasi informal dengan lembaga non profit maupun menjalin kerjasama dengan pihak profesional di luar kampus.

“Jadi kesulitannya adalah kalau misalnya udah berhubungan sama hukum, aku nggak punya background hukum sama sekali. Jadi aku bener-bener belajar banget dari nol banget, ngebaca buku panduan advokasi Samahita (organisasi yang giat mengkampanyekan anti kekerasan dan pelecehan seksual dalam aplikasi kencan sebagai kekerasan digital). Waktu itu aku ngobrol sama Samahita. Itu ada buku advokasi KS, jadi ngobrol gimana caranya menempatkan diri sebagai seorang konselor gitu. Terus kesulitannya juga, kebanyakan korbannya di daerah masing-masing, nggak cuma di Jatinangor atau Bandung gitu. Jadi itu sih PR lagi buat kita, untuk nyari pihak bantuan hukum yang bisa emang free. Karena kita berusaha memberikan layanan yang gratis, karena lagi kondisi kayak gini juga. Terus juga nyari psikolog juga susah banget, jujur,” ungkap Revina menerangkan kesulitan yang dihadapi oleh lembaga di dalam kampus dalam implementasi Permendikbud 30.

Berbeda dengan Girl Up UNPAD yang masih harus berjuang independen mencari tambahan sumber daya pendukung advokasi, PIK-R Aksiologi Unsoed bergerak dengan dukungan pihak kampus sehingga jalan kerjasama dengan konselor profesional menjadi lebih mudah.

Sehubungan dengan ini, Isnaini pun menyampaikan kalau cakupan lembaganya tidak hanya di lingkungan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman. Sebab, sejak 2022, PIK-R Aksiologi sudah menerima SK dari wakil rektor untuk dijadikan UKM di tingkat universitas. Jadi, kerja advokasi, sosialisasi, dan bimbingan mereka telah didukung oleh Unit Layanan Pengaduan dan Kekerasan (ULPK) serta Bimbingan Konseling (BK) Universitas Jenderal Soedirman.

Desakan atas Kompetensi dan Komitmen Otoritas Kampus

Dok. Barney Yau/Unsplash

“Harapannya adalah kampus menerapkannya dengan sebaik mungkin. Nanti tim satgasnya juga diharapkan menerapkan peraturan ini dengan sebaik-baiknya, dengan seadil-adilnya. Pastinya berharapnya sama peraturan rektor sih, belum bisa muluk-muluk berharap sama Permendikbud karena prosesnya masih panjang, sebagai awal untuk perbaikan advokasi kekerasan seksual gitu, baik dari tingkat fakultas maupun tingkat universitas gitu,” tutur Revina kembali menegaskan.

“Di sini yang perlu ditekankan itu adalah kesiapan semua pihak, semua stakeholder, baik dari universitas, mahasiswa, maupun pihak-pihak terkait lainnya. Bisa kita lihat, di Unsoed dibentuk ULPK aja baru-baru kemarin saat masa pandemi, nah menurut aku itu menunjukkan kita itu sudah ketinggalan jauh kalau kita bilang respect atau concern dengan isu kekerasan atau pelecehan seksual di lingkup kampus.” Ujar Isnaini yang mengkritisi kondisi kampus.

Aspirasi narasumber Perihal Perempuan yang berharap besar kepada otoritas kampus ternyata bersambut baik dengan arahan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI Nadiem Anwar Makarim seperti yang sudah penulis sampaikan di awal pembukaan artikel ini. Sampai di sini, mungkin kita sebagai pembaca sekaligus masyarakat umum bisa sedikit merasa lega karena pemerintah sudah tegas menjawab kebutuhan masyarakat, terutama civitas akademika, untuk mencegah dan mengusut tuntas fenomena kekerasan seksual yang terjadi di wilayah kampus.

Akan tetapi, di sisi lain, kalau kita mau kembali melangkah mundur dan merefleksikan ulang, mengapa narasumber wawancara Perihal Perempuan mengekspresikan kewaspadaan atau sikap skeptis pada pihak kampus dalam melaksanakan Permendikbud 30.

Mungkin kita bisa ikut berempati, atau setidaknya memahami dan ikut bertanya, “Apakah benar otoritas kampus sudah memiliki modal kesadaran, kapasitas, dan komitmen untuk siap melaksanakan Permendikbud 30 dengan menggunakan pendekatan sesuai prinsip kepentingan terbaik bagi korban di wilayah kampus?”

Berkaitan dengan hal itu, kepedulian dan komitmen otoritas kampus dipertanyakan karena pertama, menurut informasi yang disampaikan para narasumber pada Perihal Perempuan, kampus masih memiliki pola pikir meremehkan kasus kekerasan seksual yang terjadi di wilayah universitas.

Ibaratnya kalau menurut Isnaini, tanpa basa-basi otoritas kampus bilang, “Ya udah itu (kasus kekerasan seksual) mah hal yang biasa.” Kedua, kurang terjadi check and balance antara lembaga advokasi internal dan eksternal kampus dengan pihak rektorat.

Pada Perihal Perempuan, Revina pun mengungkapkan keresahannya, “Kalau dari kampus itu belum ada campur tangan atau kampus mau mengevaluasi tuh belum ada sama sekali gitu sih. Sejauh yang aku tau ya. Karena komunitas juga, nggak ada harapan yang gimana-gimana, tapi ya paling koreksi-koreksi, kritik-kritik dari Girl Up tuh didengarkan, dibaca dan menjadi bahan evaluasi untuk pihak kampus. Dan berharapnya mereka juga akan ngasih feedback ke kita gitu, apa yang kurang. Karena kita harus balance ya.”

Lanjut Revina, “Ditambah, mau ada peraturan (rektorat) dari 2020, ya kurikulum yang aku pelajari selama ini biasa aja? Matkulnya juga masih matkul-matkul biasa. Nggak ada yang disisipi tentang kekerasan seksual segala macem gitu. Nah, tapi emang di aliansi ini tuh, Girl Up tuh nggak sampai memperjuangkan ke rektor. Yang memperjuangkan ke rektor tuh lebih ke BEM-nya, karena mereka yang punya birokrasinya.”

Jadi, hemat para narasumber, hal paling utama dan pertama yang harus diperjuangkan untuk mendukung efektifitas perwujudan Permendikbud 30 adalah mendorong keterlibatan aktif otoritas kampus mewujudkan Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam bentuk modul atau buku panduan yang bisa memperjelas status kemahasiswaan korban kekerasan seksual dan efektif meningkatkan social awareness seluruh masyarakat di dalam perguruan tinggi.

Sebagai penutup, kesimpulan para narasumber tersebut seperti ingin membawa kita semua pada pertanyaan terakhir. Ketika mereka yang memiliki otoritas ternyata tidak merasa bahwa isu kekerasan seksual di lingkungan kampus sebagai masalah serius, akankah implementasi Permendikbud 30 nanti dapat sesuai dengan semangat perjuangan yang melahirkannya?

Penulis: Tejaningrum
Editor: Pramasari Edie Wijaya

--

--

Perihal Perempuan
Perihal Perempuan

Wadah diskusi dan publikasi alternatif untuk perempuan.