Identitas Queer dalam Kultur Fandom: Sekadar Konten atau Representasi?

Perihal Perempuan
Perihal Perempuan
Published in
5 min readFeb 14, 2022
ilustrasi hubungan queer
Dok. Masha S/Unsplash

Salah satu hari yang paling dinantikan di bulan Februari, terutama bagi mereka yang sudah berpasangan, adalah tanggal 14, yakni perayaan Hari Valentine. Dalam menyambut Hari Kasih Sayang tersebut, tidak hanya para pasangan yang sudah sibuk memilih kado paling tepat untuk diberikan kepada belahan hatinya, tetapi para media pun sudah bersiap dengan berbagai konten yang menampilkan kisah romansa untuk menarik audiens mereka.

Sayangnya, kisah romansa yang kerap dipertunjukkan masih sangat heteronormatif, terutama di Indonesia. Jarang sekali ada media yang merepresentasikan komunitas queer dan menyorot kisah cinta mereka.

Dengan kuantitas representasi di media yang masih rendah, konten yang berkaitan dengan queer pun masih banyak yang problematis, tidak hanya dari media itu sendiri (seperti cerita, karakter, atau stereotip yang terkandung di dalamnya), tetapi juga dari perspektif penikmat medianya.

Banyak orang, terutama mereka yang merupakan cisgender heteroseksual, mengonsumsi media bertemakan queer dan menyukainya, lalu serta-merta melabeli diri sebagai seorang sekutu. Padahal, tidak jarang motivasi mereka mengkonsumsi konten tersebut adalah dengan tujuan fethisization dan bukan karena mereka memihak kepada komunitas queer.

Lalu, apa sebenarnya fethisization ini? Dan bagaimana cara membedakannya dengan mereka yang secara sungguh-sungguh mengapresiasi konten bertemakan LGBTIQ+?

Untuk membahas hal ini lebih lanjut, tim Perihal Perempuan berkesempatan melakukan survey kepada beberapa queer dan menanyakan pendapat mereka terkait fetishization yang banyak ditemui di media.

Fetishization: Si Homofobik yang Terselubung

“Buat aku fetishization itu perilaku seseorang yang membuat/mereduksi orang lain semata-mata jadi objek seksual berdasarkan satu atau lebih trait dari orang tersebut,” komentar WK, salah satu responden survey.

Jawaban-jawaban responden lain pun kurang lebih menjabarkan hal yang sama. Secara harfiah, memang definisi fetishization adalah perilaku yang menjadikan sesuatu sebagai objek atau kesukaan seksual, dan dalam kasus ini, hubungan queer. Namun, dengan berkembangnya varian konten di media, terutama online, queer fethisization tidak hanya dalam ranah seksual (misal, konten pornografi homoseksual), tetapi juga romansa.

Karakter fetishization yang lain adalah bahwa mereka yang mengaku menikmati media queer ini bukan karena mereka mendukung hak-hak queer sebagai manusia, melainkan untuk memuaskan hasrat seksual maupun memenuhi kesenangan pribadi. Malah, mereka yang melakukan fetishizing terhadap hubungan queer melontarkan komentar-komentar bersifat homofobik seperti, “Kalau di cerita sih lucu ya, tapi kalau beneran, nggak deh!” atau “Aneh, nggak cocok banget kalau lihat dom tapi feminin”

Selain contoh-contoh tersebut, masih banyak konten bertemakan pasangan queer yang mengarah kepada fetishization, terlepas dari disengaja atau tidaknya.

Responden Perihal Perempuan menyebutkan di antaranya shipping culture antar artis atau idol, drama BL (Boys Love), atau anime/manga di mana para fans memuja hubungan romansa antar sesama jenis dalam konten-konten tersebut, tetapi masih menganggap homoseksual adalah hal yang tabu, berdosa, atau melanggar norma.

Selain itu, ada juga cerita atau film yang menggambarkan dinamika hubungan top-bottom, seme-uke, dom-sub, atau butchy-femme. Penggambaran dinamika tersebut seringkali sangat heteronormatif, di mana hubungan antara sesama jenis masih dibebankan dengan peran maskulin dan feminin yang sangat stereotipikal, seperti peran “butchy” yang digambarkan mengambil peran “laki-laki” dalam hubungan lesbian dan “uke” yang menjadi “perempuan” dalam hubungan gay.

Akibatnya, banyak penggemar yang melakukan shipping terhadap idola mereka atau karakter fiksi menyukai hubungan tersebut atas dasar dinamika hubungan yang heteronormatif, dan kerap melupakan fakta bahwa hubungan queer di dunia nyata seringkali berbeda. Sehingga, walaupun tidak dalam konteks seksual, hal ini tetap mengarah kepada fetishization.

Perilaku ini jelas membuat komunitas queer merasa tidak nyaman. “Ngerasa aneh sih. Kayak cuma dijadiin objek seks, dijadiin becandaan,” ujar CN, salah satu responden. Fetishization menjadi seperti serigala berbulu domba, menikmati hubungan romansa pasangan queer untuk menjadi konten, padahal mengecam dan tidak menghargai hak komunitas queer yang sebenarnya.

Namun, ada pula yang beranggapan bahwa maraknya konten yang mengarah kepada fetishization ini sebenarnya menguntungkan komunitas queer karena bisa menormalisasikan hubungan pasangan queer. Hal ini dibantah oleh para responden.

Menurut WK, konsumsi konten atau media bertemakan queer tidak ada kaitannya sama sekali dengan menormalisasikan hubungan pasangan queer. “Dia (konsumsi konten tersebut) tiap hari juga kayaknya, sampai nunggu-nunggu bahkan, tapi tetap sikapnya ke (komunitas LGBTQ+) asli menolak dan bahkan menghujat habis-habisan. Selama mereka mikirnya queers ini cuma ada di karya tulis aja yang notabene “tidak nyata/karangan” dan seharusnya nggak perlu ada di dunia nyata (maka tidak akan mereka normalisasi).”

Responden lain, A, menjabarkan mengenai representatif hubungan queer yang diharapkannya. “Representatif media yang baik bagi komunitas queer sebenarnya juga salah satu hal yang paling penting, karena selama ini fetishization dari hubungan queer sendiri kebanyakan merupakan hasil dari media yang tidak memberi representasi yang baik.”

Kalau nggak ngerti atau ragu, lebih baik nanya daripada menyimpulkan sendiri. Aku pribadi gak apa-apa banget kalo ada orang yang mau nanya atau mastiin pandangan mereka bener apa nggak

Menjadi Sekutu yang Baik

Saat ditanya mengenai opini terkait hubungan queer, beberapa kali dijumpai komentar seperti “Aku dukung kok kan aku suka nonton BL!” Padahal, perihal menjadi seorang ally atau sekutu untuk komunitas queer tidak sesederhana menggemari konten bertemakan hubungan romansa antar sesama jenis.

Lalu, apa sebetulnya definisi sekutu yang baik? Dan bagaimana cara menjadi sekutu yang sesuai dengan apa yang diperjuangkan komunitas LGBTQ+?

“Aku rasa menjadi sekutu cukup dengan tidak mendukung diskriminasi kepada hak queer sebagai manusia. Cukup dengan menghargai keberadaan queer saja dan bisa menerima seseorang sebagai diri mereka sendiri,” ujar MZF.

Sementara itu, responden-responden lain juga menyebutkan bahwa sekutu yang baik adalah mereka yang mau membuka pikiran dengan mendengarkan kesulitan-kesulitan yang dialami komunitas queer, serta memberikan dukungan tanpa mengambil hak bicara komunitas yang langsung terdampak.

Selain itu, komunitas queer juga lebih menghargai kalau cis-hetero yang memang ingin menjadi sekutu untuk bertanya langsung ke mereka kalau ada hal yang berhubungan dengan queer dan bukan menjadi ranah para cis-hetero untuk memberi jawaban.

“Kalau nggak ngerti atau ragu, lebih baik nanya daripada menyimpulkan sendiri. Aku pribadi gak apa-apa banget kalo ada orang yang mau nanya atau mastiin pandangan mereka bener apa nggak,” ungkap CN. Hal ini disetujui oleh responden lain, JN, yang memberikan saran, “Kalau ada yang bilang mau jadi ally, my advice is to ask your queer friend. If there’s anything queer-related you’re unsure of. Karena gimanapun you’re not a queer, you can’t speak on behalf of us.”

Saran tersebut pun berlaku bagi kreator cis-hetero yang ingin membuat konten bertemakan hubungan LGBTQ+. Untuk menghindari konten yang mengarah ke fetishization atau stereotipikal, ada baiknya para pembuat karya melakukan riset dan berdialog terlebih dahulu dengan seseorang atau komunitas queer yang bersangkutan.

Pada akhirnya, tidak ada yang salah dalam mengkonsumsi atau membuat karya bertemakan queer. Hanya saja, dengan posisi yang masih minim representasi, banyaknya stereotip, dan tingkat penerimaan yang rendah, kita harus lebih bijaksana dalam melakukannya. Yang paling penting diingat adalah bahwa komunitas queer adalah manusia sungguhan dengan hak-hak hidup yang sama, termasuk dalam hal berpasangan dan berhubungan romansa.

Penulis: Joice Tentry Wijaya

--

--

Perihal Perempuan
Perihal Perempuan

Wadah diskusi dan publikasi alternatif untuk perempuan.