Kelindan yang Kusut antara Pakaian dan Perempuan
Pada era di mana “cancel culture” bisa terjadi terhadap siapa saja, perusahaan ritel internasional mulai mempromosikan masalah sosial agar terlihat peka atau “woke“ terhadap ketidakadilan dalam masyarakat, sebagai cara untuk menarik perhatian pelanggan.
Konsumen menuntut berbagai brand fashion terkenal untuk mengatasi bencana perubahan iklim dan masalah sosial lainnya. Namun, tindakan “wokefishing” yang dilakukan oleh brand fashion seperti H&M, Uniqlo, dan Zara akhirnya menjadi bumerang. Sebuah penelitian menemukan bahwa 60% dari pengakuan ramah lingkungan dapat digolongkan sebagai informasi yang “menyesatkan”.
Belum lagi pabrik-pabrik garmen yang mengerjakan perempuan dari daerah pedesaan karena pendidikan mereka yang rendah, mempunyai toleransi untuk melakukan tugas yang berulang-ulang, dan upah yang lebih rendah. Oleh karena itu, sangat penting bagi konsumen untuk menyadari apa yang mereka beli, dari mana asalnya dan efeknya terhadap lingkungan.
Ke Mana Perginya Pakaian Usang yang Kita Buang?
Seberapa familiarkah kalian dengan bahan polyester? Polyester adalah bahan tekstil yang dibuat oleh tangan manusia. Namun, kualitasnya baju dari polyester jauh melampaui masa trending nya model baju tersebut. Seringkali dampaknya terhadap lingkungan diabaikan, berbeda dengan saudaranya yang sebagian besar bahannya adalah plastik; kantong plastik atau kemasan air minum.
Dengan munculnya budaya fesyen berkelanjutan (sustainable fashion), praktik menggunakan kembali, dan penjualan kembali dan mendaur ulang adalah perilaku yang dianjurkan. Meskipun demikian, pakaian yang terbuat dari polyester atau campuran bahan serat buatan/alam lebih sulit untuk didaur ulang. Dikarenakan bahan polyester beragam, teknologi daur ulang tekstil saat ini tidak cukup maju untuk menangani materialnya secara massal.
Pakaian polyester dan plastik yang berhasil di daur ulang adalah Patagonia fleeces dan wetsuit yang sebagian terbuat dari botol plastik daur ulang. Walau begitu, setiap pencucian bahan-bahan ini akan melarutkan mikroplastik ke lautan dan saluran air.
Penelitian menunjukkan bahwa pakaian polyester dapat melarutkan lebih dari 1900 mikrofiber per pencucian atau hingga 496.000 mikrofiber dalam beban standar 6 kg (Browne et al, 2011). Kalau tidak, sebagian besar polyester akan berakhir di tempat pembuangan sampah.
Semenjak isu perubahan iklim menjadi perhatian semua orang, CMA (Competition and Markets Authority) menyarankan berbagai jenama mode untuk mengkomunikasikan kredensial lingkungan mereka tanpa menyesatkan pelanggan mereka. Namun, perusahaan retiel hanya menggunakan bahasa yang amat umum seperti “natural”, “organic”, atau “eco-friendly”.
Sementara itu, mereka sadar bahwa tidak semua bahan baju dengan merek produksi seperti yang disebutkan di atas berasal dari bahan yang berkelanjutan. Inilah yang disebut sebagai “greenwashing” dan terbukti bahwa 40% perusahaan yang membuat klaim terkait keberlanjutan pada produk tidak mematuhi pedoman baru CMA soal penghindaran greenwashing.
Apa Pengaruhnya terhadap Perempuan?
Salah satu alasan perusahaan ritel memilih untuk outsourcing ke negara-negara berkembang adalah karena biaya tenaga kerja yang minimum. Belum lagi 99% pekerja garmen adalah perempuan, dan sistem patriarki yang masih mendominasi masyarakat Indonesia semakin memperparah kesenjangan upah.
Industri fesyen yang memiliki kontrak dengan produsen di Asia tidak mengetahui tentang kondisi kerja di lokal tersebut. Mungkin beberapa peraturan sudah ditetapkan, tetapi bahkan itu sering diabaikan oleh pabrik karena mereka terus melanggar hukum hak-hak buruh. Akibatnya, banyak pekerja pabrik dibayar dibawah upah minimum, mereka dipaksa bekerja berjam-jam tanpa cuti yang dibayar dan akses ke asuransi kesehatan.
Pabrik-pabrik di indonesia mempersulit pekerja perempuan untuk mendapatkan cuti haid dan cuti hamil. Menurut peraturan, buruh perempuan berhak untuk memiliki sekitar 3 bulan cuti melahirkan. Tetapi, tidak sedikit perempuan buruh hanya diberi cuti hamil kurang dari 3 bulan hingga tidak sama sekali.
Banyak perempuan yang masih memilih untuk datang ke tempat kerja saat hamil dan banyak juga kasus-kasus mereka yang mengalami keguguran karena terlalu banyak bekerja dan kurangnya nutrisi dari makanan yang mereka konsumsi.
Pabrik Indonesia juga memperlakukan pekerja mereka dengan cara yang paling tidak manusiawi. Menyediakan makanan bergizi adalah salah satu dari banyaknya hak pekerja buruh, tetapi memberikan makanan pun ibaratnya seperti memberi pelet kepada ikan hias; itu itu saja dan membosankan. Sehingga sebagian besar pekerja memilih untuk jajan diluar pabrik, yang hanya terdiri dari karbohidrat dan tidak cukup protein.
Apa yang terjadi pada salah satu perempuan buruh di Semarang yang meninggal di pabrik pada saat kerja malam adalah salah satu bukti betapa tidak adilnya perlakuan terhadap para pekerja ini. Beberapa dari mereka juga mengalami pelecehan seksual, dan kekerasan fisik dari rekan kerja mereka, mekanik, dan bahkan atasan mereka (Pratiwi p.s, 2016).
Jadi bagaimana kita harus menangani situasi ini? Jelas menjadi konsumen yang hemat tidak cukup untuk mengurangi perlakuan tidak adil terhadap pekerja buruh di negara berkembang. Sebagai komunitas kita dianjurkan untuk belanja di toko barang bekas atau menahan diri untuk membeli lebih dari yang kita butuhkan.
Namun, sejatinya Pemerintah dan perusahaan mode besar adalah pihak yang memiliki kekuasaan untuk mengubah cara mereka memperlakukan pekerja buruh dan mitigasi terhadap perubahan iklim. Karena itu, kita perlu menempatkan akuntabilitas terhadap limbah tekstil kepada produsen daripada konsumen, menekankan pemerintah untuk transparan dalam rantai pasokan, dan memperluas undang-undang tanggung jawab produsen.
Mengawasi tindak tanduk perusahaan dan mengawal kebijakan Pemerintah bisa dilakukan oleh kita semua sebagai bagian dari masyarakat. Sebagai konsumen pakaian yang diproduksi perusahaan-perusahaan besar, mempertanyakan bagaimana buruh perempuan diperlakukan adalah hak.
Ini juga dapat menunjukkan bahwa sebagai konsumen, masyarakat memiliki power untuk memilih dan bukan hanya sekadar pelanggan yang membutuhkan produk yang mereka hasilkan. Apakah Teman Puan siap untuk mengambil peran tersebut?
Referensi
Browne, M.A., Crump, P., Niven, S.J. Teuten, E., Tonkin, A., Galloway, T., Thompson., R. (2011). Accumulation of microplastic on shorelines worldwide: sources and sinks. Environmental science & technology, 45 (21): 9175–9179.
Priska Sari Pratiwi. “Buruh Pabrik Garmen Sering Alami Kekerasan Seksual”. CNN Indonesia. 24 November 2016.
Penulis: Desire Gioni