Kontrasepsi dan Beban yang Diberikan pada Istri

Perihal Perempuan
Perihal Perempuan
Published in
4 min readAug 7, 2020

Semenjak dicanangkan di akhir tahun 1970-an, gerakan Keluarga Berencana (KB) masih menjadi salah satu cara negara untuk mengontrol jumlah populasi di Indonesia. Prinsip ‘anak dua cukup’ yang menjadi jargon utama gerakan KB adalah salah satu alasan mengapa banyak dari kita hidup dengan dua bersaudara saja. Selain untuk mengontrol jumlah populasi di Indonesia, KB juga dimaksudkan sebagai sarana penyejahteraan masyarakat. Lewat gerakan ini, Pemerintah seolah berusaha membongkar ilusi ‘banyak anak, banyak rezeki’ yang kerap digaungkan. Nyatanya, memiliki anak bukanlah sekadar hamil, melahirkan, dan memberi makan. Ada banyak aspek finansial dan psikologis yang sudah seharusnya menjadi pertimbangan saat rencana untuk memiliki keturunan dicetuskan.

Sebagai sebuah gerakan dari kebijakan Pemerintah, KB terus mempromosikan penggunaan alat kontrasepsi pada pasangan yang telah memiliki anak. Alat kontrasepsi sendiri bisa dikategorikan sebagai pedang bermata dua; bisa jadi penolong untuk pasangan suami istri yang ingin menunda atau mencukupkan jumlah anak, tapi bisa juga jadi masalah baru dalam rumah tangga. Contohnya, kebanyakan pengguna kontrasepsi adalah istri. Entah itu dengan alasan tingkat kenikmatan akan berkurang jika menggunakan kondom atau mengatasnamakan bakti kepada suami. Akibatnya, lagi-lagi perempuan yang harus menanggung efek samping dari pemakaian alat kontrasepsi jangka panjang tersebut.

Di Indonesia sendiri, tingkat pemakaian kontrasepsi di tahun 2012 masih sebesar 61,9% yang mana 57,9% merupakan pemakaian kontrasepsi dengan metode modern. Sayangnya, dengan angka sebesar ini, tingkat pemakaian alat kontrasepsi oleh pria sangatlah rendah, yakni hanya 2% (Sumber 1). Angka ini tentu semakin menunjukkan ketimpangan pada posisi wanita di dalam rumah tangga bahkan untuk urusan reproduksi.

Ketimpangan posisi di dalam rumah tangga bukan lagi topik baru. Masih banyak pihak yang menggolongkan istri sebagai pengikut di dalam bahtera pernikahan. Ranah sumur, dapur, dan kasur seolah menjadi satu-satunya tanggung jawab istri karena sang suami telah fokus sebagai breadwinner atau pihak yang mencari uang. Padahal, seharusnya suami dan istri bisa saling berbagi peran di dalam urusan rumah tangga termasuk perihal perencanaan dan penggunaan KB.

Bila menyebutkan istilah KB sendiri, yang paling umum didengar tentu pil KB, suntik KB, hingga spiral yang mana semuanya dilakukan pada pihak istri. Beberapa pilihan kontrasepsi yang sudah familiar dalam gerakan KB ini hadir bukan tanpa efek samping. Suntik KB, misalnya, yang merupakan alat kontrasepsi hormonal yang mengandung progestin, dapat menyebabkan perubahan pada siklus menstruasi, perubahan berat badan, hingga timbulnya sakit kepala dan nyeri payudara. Pada kasus yang serius, suntik KB bahkan bisa menyebabkan pendarahan dan depresi (Sumber 2). Padahal, masih banyak pilihan alat kontrasepsi yang bisa digunakan oleh pasangan suami-istri.

Menurut Hartanto (2004) dan Saifuddin (2006) kontrasepsi terbagi sebagai berikut:

1. Kontrasepsi Hormonal; pil, suntik, dan implant.

2. Kontrasepsi non Hormonal; senggama terputus, pantang berkala, metode lendir serviks, kondom, spermisida, diafragma, alat kontrasepsi dalam rahim, tubektomi, vasektomi.

Ragam pilihan metode kontrasepsi ini sudah seharusnya diketahui setiap pasangan yang berencana untuk menjadi keluarga berencana. Namun, berdasarkan survei Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), hanya ada 30% pria kawin yang mengetahui metode kontrasepsi vasektomi dan disebutkan bahwa persentase pria yang mempunyai pandangan bahwa KB adalah urusan wanita cukup tinggi yaitu 41,5%. Data ini semakin diperburuk oleh besarnya pria yang punya pandangan bahwa wanita saja yang harus disterilisasi (30%) sementara 14% sisanya merasa bahwa sterilisasi pria sama dengan kebiri (Sumber 4). Padahal, dua hal ini merupakan hal yang berbeda. Metode sterilisasi atau yang umum dikenal sebagai vasektomi sendiri adalah salah satu jenis kontrasepsi dengan risiko lebih sedikit dibanding metode yang ditujukan pada perempuan.

Rendahnya partisipasi pria dalam urusan perencanaan jumlah anak ini tentu patut menjadi sorotan baik dari BKKBN sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam program KB hingga di level paling dasar yakni keluarga. Tidak hanya akses informasi yang perlu digencarkan, individu pun sudah saatnya mengubah pandangan bahwa metode KB murni menjadi urusan perempuan saja.

Sebab, apabila dibutuhkan dua orang untuk pernikahan dan berhubungan intim, maka dibutuhkan peran dua pihak juga dalam perwujudan KB di dalam rumah tangga. Dengan begitu, istri tidak perlu lagi menanggung beban perihal kehamilan dan reproduksi seorang diri karena pasangannya sudah memiliki pandangan yang terbuka dalam pembagian tugas dalam rumah tangga mereka. Kesejahteraan di dalam keluarga pun bisa diwujudkan dengan cara sebaik dan seadil mungkin.

Sumber 1 & 4:

BKKBN. 2017. “Sarasehan Peningkatan Peran dan Kualitas Motivator KB Pria”. Siaran Pers BKKBN.

Sumber 2:
Halodoc. 2019. “7 Efek Samping Suntik KB dan Penanganannya”.

Sumber 3:

Hartanto, Hanafi. 2004. “Keluarga Berencana dan Kontrasepsi”. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

Saifuddin, A.B., Affandy, & Enriquito, R. LU. 2006. “Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi Edisi 2. Yayasan Bina Pustaka Prawirohardjo. Jakarta.

Penulis: Naravani

Editor: Dita

--

--

Perihal Perempuan
Perihal Perempuan

Wadah diskusi dan publikasi alternatif untuk perempuan.