Lingkaran Kekerasan dan Standar Ganda pada Kasus Penyebaran Konten Intim

Perihal Perempuan
Perihal Perempuan
Published in
4 min readDec 8, 2020

Serupa pisau bermata dua, teknologi membawa peradaban manusia maju satu langkah ke depan dan 15 langkah ke belakang akibat sifatnya yang destruktif, terutama pada perempuan.

Bukan sekali dua kali pengguna media sosial digemparkan dengan video ataupun foto intim yang diklaim oleh beberapa orang sebagai wajah dari selebriti tertentu, yang kemudian berujung menjadi bahan perbincangan yang tidak ada habisnya di dunia maya.

Video ataupun foto-foto tersebut seringkali bersumber dari akun yang tidak jelas asal-usulnya hingga menjadi trending topic. Terlebih lagi, sebagian masyarakat Indonesia bersepakat untuk membagikan link video tersebut kepada teman-teman yang meminta ataupun mem-posting ulang secara cuma-cuma di media sosial pribadi, lantas menyebut link konten tersebut sebagai ‘link pemersatu bangsa’.

Dengan mudahnya akses media sosial, dalam kasus video privat seseorang yang tersebar, ‘penonton’ tidak repot-repot menutup fakta bahwa mereka menyaksikan video tersebut dan turut merayakan keberhasilan dalam mendapatkan sekaligus membagikannya.

Media sosial justru menjadi salah satu wadah yang justru melanggengkan kemunduran akal sehat dan hati nurani.

Bersamaan dengan tersebarnya konten intim, masyarakat Indonesia juga merisak pihak perempuan yang diklaim merupakan pelaku dalam konten, bahkan ketika keterlibatannya belum terbukti.

Banyak yang berpendapat bahwa tersebarnya video privat adalah kesalahan dari pihak perempuan yang terlibat dan perempuan lantas dianggap sebagai sosok yang tidak bermoral dan pantas dihina. Sedangkan pihak lelaki jarang sekali menerima dampak perlakuan serupa.

Standar ganda seperti ini juga disebabkan oleh kehadiran media dan infotainment. Alih-alih memberi informasi yang objektif, media dan infotainment dalam negeri justru terus-menerus mengulik berita terkait, bahkan setelah pelaku penyebaran telah ditangkap.

Akibatnya, semakin intens pula penderitaan yang harus ditanggung oleh perempuan karena masyarakat akan selalu menghubungkan mereka dengan video privat yang tersebar. Bahkan ketika terjadi kasus baru, media akan mengungkit kembali kasus lama serupa yang sudah terjadi bertahun-tahun lalu.

Padahal di era di mana informasi dapat menyebar dengan cepat, sudut pandang media dan infotainment dalam memotret perempuan sangat memengaruhi pandangan masyarakat terhadapnya.

Perempuan yang terlibat dalam kasus tersebarnya video intim cenderung diperlakukan sebagai pihak yang melakukan kesalahan. Belum lagi, semua orang seolah berlomba-lomba mencari bukti-bukti kemiripan yang dapat mengonfirmasi kecurigaan mereka.

Mereka berhasil mendorong pandangan masyarakat bahwa perempuan juga memiliki andil dalam tersebarnya video tersebut. Oleh karena itu, masyarakat lebih mudah memandang perempuan sebagai tersangka, bukannya korban. Mirisnya lagi, masyarakat bahkan abai mencari tahu siapa yang pertama kali menyebarkan video atau foto tersebut.

Nyatanya perempuan adalah korban yang menerima dampak paling parah dalam kasus dugaan penyebaran konten intim. Olok-olok dan komentar vulgar yang diterima akibat tersebarnya video atau foto tersebut dapat disebut sebagai Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO).

Berdasarkan Komnas Perempuan, kekerasan seksual merupakan perbuatan yang merendahkan, menghina, menyerang, dan atau tindakan lainnya terhadap hasrat seksual seseorang yang bertentangan dengan kehendak seseorang sehingga menyebabkan orang tersebut tidak mampu memberikan persetujuan secara bebas.

Dilansir melalui akun Instagram AwasKBGO, dapun kata online yang tersemat dalam KBGO memiliki makna yang sama, hanya saja pelaku difasilitasi teknologi dalam melangsungkan aksi pelecehannya di dunia maya. Sehingga yang perlu digarisbawahi dalam kasus KBGO adalah penyerangan yang dilakukan secara daring karena gender dan seksualitas korban.

Perempuan menerima cibiran berulang baik dari masyarakat maupun media dan infotainment. Dampaknya pun tidak dapat dianggap ringan. Dalam sebuah penelitian ditemukan bahwa perempuan yang menjadi korban penyebaran video porno tanpa izin mendapat tuduhan sebagai pelaku yang lebih besar dibanding laki-laki.

Selain itu, perempuan juga memiliki risiko menderita gangguan psikologis yang dapat mempengaruhi fisik lebih besar dibandingkan dengan korban laki-laki. Kita tidak pernah tahu apa yang sedang terjadi pada orang yang ada dalam video atau foto itu saat semua orang menonton dan menjadikan aktivitas seksual tersebut sebagai bahan lelucon.

Jika beberapa pesan lelucon sebelumnya nyaring terdengar “Jangan berhenti di kamu!” maka pada kasus penyebaran foto atau video intim harus berhenti di kamu.

Kekerasan yang diakibatkan oleh dugaan penyebaran video porno menambah daftar panjang KBGO yang terjadi di Indonesia pada masa pandemi. Mengingat pandemi yang belum juga usai, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) mencatat sejak 16 Maret hingga 16 April 2020 menerima 97 aduan yang mana kasus KBGO menduduki peringkat kedua dengan perolehan 30 kasus setelah KDRT yang memiliki jumlah aduan terbanyak yaitu 33 kasus.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dan Dana Penduduk PBB akhirnya membuat protokol penanganan kasus kekerasan berbasis gender untuk membantu para korban dalam memberikan laporan terhadap pelecehan yang didapat maupun saat mengetahui kasus tersebut yang dialami oleh kerabat dekat. Karena korban harus tetap mendapatkan pendampingan hingga kasusnya berakhir.

Melihat seriusnya dampak dari standar ganda yang dibebankan pada perempuan karena dugaan menyebarnya video intim, seharusnya hal ini tidak boleh dijadikan sebagai bahan candaan. Apalagi menyebut bahwa hal itu sebagai link yang menyatukan Indonesia.

Untuk menghindari sekaligus menindaklanjuti video atau foto intim yang dikirimkan oleh teman sepermainan ataupun orang tidak dikenal, kita harus lebih tegas menegur dan tidak menyebarluaskan kiriman tersebut.

Jika beberapa pesan lelucon sebelumnya nyaring terdengar “Jangan berhenti di kamu!” maka pada kasus penyebaran foto atau video intim harus berhenti di kamu.

Penulis: Fitriani Ramadhanti Supena & Dararima Sani

Editor: Nadhifa Rahma & Dita N

--

--

Perihal Perempuan
Perihal Perempuan

Wadah diskusi dan publikasi alternatif untuk perempuan.