Melepaskan Kesuburan dari Identitas Perempuan yang Diharuskan

Perihal Perempuan
Perihal Perempuan
Published in
5 min readMar 26, 2022
Photo by Suhyeon Choi on Unsplash

Memiliki anak adalah salah satu tujuan yang umumnya ingin dicapai oleh sepasang manusia yang menikah. Tidak heran jika kehamilan menjadi hal yang dinanti-nanti oleh pengantin baru. Namun, penantian atas buah hati kerap menjadi momok meresahkan ketika pasangan suami istri tidak kunjung mendapatkannya meski telah berupaya.

Keberadaan budaya kolektif yang menjadikan orang-orang luar acap kali ikut campur dengan membombardir pertanyaan “Kapan punya anak?” atau “Sudah isi belum?” juga sama sekali tidak membantu. Alih-alih memberi support, pertanyaan-pertanyaan kepo seperti itu hanya membuat pasangan suami istri yang belum dikaruniai anak semakin cemas.

Apabila semakin lama pasangan suami-istri menjalani pernikahan namun kabar kehamilan istri belum juga terdengar, isu kemandulan akan terangkat ke permukaan. Baik pasangan suami-isteri maupun orang-orang di sekitar mereka akan mulai mencurigai adanya kemandulan.

World Health Organization (WHO) mendefinisikan kemandulan atau infertilitas sebagai kondisi tidak terjadinya kehamilan pada pasangan yang telah berhubungan intim tanpa menggunakan kontrasepsi secara teratur selama 1–2 tahun. Infertilitas sebenarnya tidak hanya terjadi pada perempuan. Laki-laki juga memiliki kecenderungan mengalami mandul dengan persentase hampir sama dengan yang dialami perempuan.

Ironisnya, walau perempuan dan laki-laki sama-sama berpeluang mengalami mandul, kecurigaan atas kemandulan justru seringkali dilemparkan pertama kali kepada pihak perempuan. Ketidakberhasilan pasangan suami-istri dalam reproduksi tampaknya menjadi kesalahan yang ditanggung perempuan.

Meskipun secara logika, proses reproduksi pastinya sama-sama dilakukan oleh perempuan dan laki-laki, sehingga seharusnya beban reproduksi adalah tanggungan bersama. Akan tetapi pada praktiknya, beban reproduksi seolah hanya dibebankan kepada perempuan.

Bias gender dalam budaya yang melanggengkan nilai-nilai patriarki memainkan peran dalam hal ini. Budaya suku Jawa, contohnya, memiliki pandangan bahwa kedudukan perempuan adalah sebagai pelengkap laki-laki yang memiliki fungsi utama 3M, yakni masak (memasak), macak (bersolek untuk menyenangkan suami), dan manak (melahirkan anak).

Salah satu penelitian dari Macrothink Institute menyatakan bahwa tempat dan posisi perempuan dalam pandangan budaya Jawa terbatas hanya pada area domestik, sebagaimana fungsi mereka yang terbatas pada masak, macak, dan manak. Pandangan tersebut diwariskan dan dilanggengkan secara turun-temurun sehingga identitas perempuan hingga saat ini pun dilekatkan pada fungsi-fungsi tersebut.

Berkaitan dengan fungsi manak atau melahirkan anak, identitas perempuan pun dilihat dari fungsi reproduksi serta fertilitasnya. Perempuan dimaknai sebagai perempuan karena dia adalah manusia yang memiliki rahim. Oleh karena itu, beban dan tanggung jawab reproduksi juga dilimpahkan kepada perempuan. Apabila rahim dalam tubuh perempuan tidak dapat berfungsi untuk mengandung bayi, maka perempuan dianggap tidak bermakna atau tidak utuh lagi.

Hal ini menyebabkan perempuan sering menjadi pihak yang paling disalahkan jika ada pasangan yang kesulitan mempunyai anak. Dengan pola pikir itu, maka tidak mengherankan jika ada pasangan suami-istri yang tidak memiliki keturunan, istri akan menjadi pihak yang dicurigai dan disalahkan. Sebaliknya, laki-laki justru mempunyai privilege untuk menceraikan, atau menikah lagi dengan harapan bisa melanjutkan garis keturunan keluarga.

Kecurigaan dan tuduhan yang diberikan kepada perempuan yang dianggap mandul ini cenderung membuat perempuan rentan untuk mengalami kecemasan berat.

Ilustrasi infertilitas pada perempuan. (Photo by cottonbro from Pexels)

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Bri Novrika pada tahun 2015 di RSIA Annisa Jambi menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara budaya masyarakat dengan tingkat kecemasan pasangan infertil. Temuan dalam penelitian tersebut menunjukkan sebagian besar perempuan infertil (69,4%) mengalami kecemasan berat akibat anggapan bahwa mengandung dan melahirkan anak adalah tugas perempuan. Oleh karena itu, perempuan yang tidak mampu memiliki anak dianggap gagal berfungsi sebagai perempuan.

Burt dan Hendrick (2005) menyebutkan bahwa kecemasan karena kemandulan memberikan banyak dampak negatif pada perempuan, yakni cenderung merasa kurang feminin, harga diri rendah, dan emosi yang lebih sensitif. Lebih jauh lagi, stres psikologis pada perempuan yang mengalami infertilitas membuatnya menjadi tidak fokus dengan kehidupan sehari-harinya sebab fokusnya tersita pada keadaan infertilitasnya.

Selaras dengan pernyataan tersebut, penelitian lain yang dilakukan oleh Krishna dan Putu (2017) pada 200 responden perempuan yang mengalami involuntary childlessness — kondisi wanita sudah menikah namun belum memiliki anak secara tidak sukarela — menunjukkan bahwa perempuan mengalami stress yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki ketika dikabarkan tidak dapat memiliki anak kandung.

Penelitian dari Harsyah dan Ediati (2015) juga menemukan perbedaan sikap laki-laki dan perempuan terhadap infertilitas. Riset ini menunjukkan bahwa laki-laki memiliki sikap yang lebih positif terhadap infertilitas daripada perempuan dan cenderung lebih mudah menerima keadaan mandulnya dibandingkan perempuan.

Berdasarkan paparan-paparan tersebut, kita dapat menarik kesimpulan bahwa fertilitas dan kemampuan reproduksi telah menjadi sebuah identitas yang melekat pada diri seorang perempuan. Karena dalam perspektif patriarki, melahirkan anak (manak) merupakan fungsi dan kewajiban yang harus dilaksanakan perempuan untuk bisa dianggap ‘perempuan seutuhnya’.

Maka dari itu, memiliki rahim yang subur adalah keharusan bagi perempuan untuk bisa melaksanakan kewajibannya. Subur tidak suburnya rahim menjadi pembeda (identitas) antara perempuan yang bisa memenuhi kewajibannya dengan yang tidak.

Akan tetapi, fakta biologis menunjukkan bahwa tidak seluruh perempuan fertil atau memiliki kesuburan yang mumpuni untuk bisa mengandung. Pertentangan antara tuntutan budaya patriarki dengan fakta biologis tersebut akhirnya menjadikan isu fertilitas sebuah kebanggaan sekaligus kerentanan bagi perempuan itu sendiri.

Fertilitas menjadi kebanggaan ketika perempuan berhasil mengandung dan melahirkan anak. Sebaliknya, ia juga menjadi kerentanan bagi perempuan yang kehilangan kemampuan reproduksinya.

Perempuan yang infertil seolah kehilangan identitas dan validitasnya sebagai perempuan. Kecemasan akibat tekanan psikis maupun sosial pun mau tidak mau harus diterima oleh perempuan yang mengalami kemandulan di tengah masyarakat yang patriarkis.

Padahal, semestinya identitas perempuan tidak hanya terletak dari kemampuannya beranak pinak saja. Perempuan tetaplah perempuan meskipun rahimnya tak bisa mengandung anak, bahkan meskipun rahim itu sendiri diangkat dan tiada. Perempuan adalah perempuan karena ia adalah manusia merdeka yang memiliki nilai dalam masyarakat, terlepas dari fungsi-fungsi yang dipaksakan masyarakat kepadanya.

Referensi:

  1. Bri Novrika. 2018. “Hubungan Budaya Masyarakat dengan Tingkat Kecemasan pada Pasangan Infertil di RSIA Annisa Jambi Tahun 2015”. Jurnal Ilmiah universitas Batanghari Jambi Vol.18 №1.
  2. Burt, V. K. dan Hendrick. 2005. Clinical Manual of Women’s Mental Health.
  3. Mohd Shahnawi Muhmad Pirus. 2020. “Javanese Women Identity Regarding 3M: Macak-Manak-Masak Value”. International Journal of Culture and History Vol.7 No. 2.
  4. N. R. Harsyah dan A. Ediati. (2015). “Perbedaan Sikap Laki-laki dan Perempuan Terhadap Infertilitas”. Jurnal Empati Vol.4 No. 4.
  5. Ratna Sari Ni Luh Krishna dan Widisavitri Putu Nugraheni. 2017. “Gambaran Kesejahteraan Subyektif pada Wanita yang Mengalami Involuntary Childlessness.” Jurnal Dalam Psikologi Universitas Udayana Vol.4 No. 2.

Penulis: Nissa Amelia Salicha
Editor: Pramasari Edie Wijaya

--

--

Perihal Perempuan
Perihal Perempuan

Wadah diskusi dan publikasi alternatif untuk perempuan.