Memerdekakan Ibu Rumah Tangga dan Pekerjaan Reproduktif dari Kendali Kapitalisme
Dahulu ketika ada orang yang menanyakan pekerjaan kedua orang tua saya, maka akan saya jawab dengan template jawaban semacam: “Bapak ngajar les privat, tapi kalau Ibu nggak kerja, di rumah aja.” Tata kalimatnya bisa berubah-ubah, hanya saja inti jawabannya selalu mengacu pada pernyataan “Bapak kerja, ibu tidak”.
Sekarang jawaban itu justru terngiang-ngiang di kepala sebagai sesuatu yang cukup layak dipertanyakan. Terlebih ketika menyadari bahwa walaupun hanya di rumah, ibu juga sebetulnya sibuk dengan segala tetek bengek pekerjaan rumah tangga dari memasak, mencuci baju dan piring, mengepel, menyetrika, dan banyak lainnya. Lalu, mengapa ibu dianggap tidak bekerja, padahal sehari-harinya ibu mengerjakan banyak hal di rumah?
Jelas bukan hanya satu-dua orang saja yang memandang ibu rumah tangga sebagai wanita yang tidak bekerja alias pengangguran. Apalagi di era emansipasi di mana sudah banyak wanita yang mencari nafkah secara mandiri baik di sektor formal maupun informal. Posisi wanita yang full-time menjadi ibu rumah tangga di masa kini seringkali dipersepsikan sebagai sesuatu yang terlalu konvensional dan jadul, sementara wanita yang bekerja dianggap lebih superior.
Jika dilihat lebih jauh, pergeseran sudut pandang terhadap ibu rumah tangga yang semakin kehilangan nilainya di era modern ini tidak terlepas dari pengaruh kapitalisme. Ideologi kapitalisme sendiri meyakini bahwa setiap warga negara berhak menguasai modal dengan tujuan memperoleh keuntungan. Walau kapitalisme telah memberikan banyak kebebasan ekonomi, namun sisi buruknya adalah ia menjadikan para pengusaha atau pemilik modal — dan hampir semua orang — memiliki pola pikir yang berorientasi pada keuntungan yang diukur dengan uang.
Paradigma kapitalisme juga memecah pekerjaan menjadi pekerjaan produktif dan pekerjaan reproduktif. Perbedaan dua jenis pekerjaan ini terletak pada kemampuan mereka dalam menghasilkan keuntungan moneter. Suatu pekerjaan digolongkan pekerjaan produktif apabila mampu secara langsung memberikan keuntungan moneter atau profit berupa satuan uang. Sementara pekerjaan yang tidak secara langsung memberikan keuntungan moneter seperti memasak, mengurus rumah, serta merawat anak dan lansia dalam keluarga tergolong sebagai pekerjaan reproduktif.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika selama ini kita mengasosiasikan pekerjaan dengan keuntungan ekonomi. Sederhananya, kita berpikir bahwa orang yang bekerja itu orang yang menghasilkan uang. Di sisi lain, kita juga menilai orang yang melakukan pekerjaan reproduktif sebagai sesuatu yang ‘sudah semestinya’. Dengan kata lain, kita tidak lagi menganggap kerja reproduktif sebagai suatu pekerjaan yang setara dengan pekerjaan lain yang menghasilkan uang.
Padahal, jika pekerjaan reproduktif tidak ditangani dengan baik, maka pekerjaan produktif pun tidak akan mampu berjalan lancar apalagi bertahan. Bayangkan jika dalam suatu rumah tangga pekerjaan reproduktif terbengkalai: cucian baju menumpuk, rumah kotor, dan anak rewel. Apakah sang suami sebagai pencari nafkah dapat fokus mengerjakan pekerjaan produktifnya?
Nyatanya, suami (atau siapapun yang melakukan pekerjaan produktif) akan sangat terbantu dengan terselesaikannya pekerjaan reproduktif oleh ibu rumah tangga. Sebelum pergi bekerja, sarapan sudah siap, baju sudah dicuci dan disetrika rapi. Efeknya, pekerja produktif menjadi lebih fokus ketika mengerjakan pekerjaannya.
Lantas, siapakah pihak yang paling diuntungkan oleh sistem seperti ini? Para suami sudah jelas dimudahkan pekerjaannya oleh kerja ibu rumah tangga. Tapi, pernahkah kita berpikir bahwa pihak yang sebenarnya paling diuntungkan adalah perusahaan tempat sang suami bekerja, alias para pemilik modal?
Jika pekerjaan rumah tangga — reproduktif — tidak diselesaikan dengan becus oleh ibu rumah tangga, maka para pemilik modal lah yang paling merugi. Sebab tenaga kerja mereka menjadi tidak mampu memberikan performa terbaiknya di tempat kerja. Hal itu tentu saja berpengaruh negatif pada profit perusahaan.
Selain itu, perlu kita ingat bahwa pekerjaan reproduktif ibu rumah tangga juga mencakup perawatan, pengasuhan, dan pendidikan anak. Ibu akan menyiapkan dan mengurus kebutuhan anak sejak dini, memastikan anak bersekolah dengan baik agar pintar dan di masa depan siap menjadi tenaga kerja yang mumpuni.
Sekarang bisa kita pahami mengapa kapitalisme — bersama dengan patriarki — membentuk sebuah dogma bahwa pekerjaan reproduktif adalah hal yang kodrati, sesuatu yang sudah semestinya dilakukan oleh perempuan sebagai bentuk kasih sayang dan pengabdian. Pembentukan pola pikir demikian dilakukan agar ketersediaan pasokan tenaga kerja berkualitas yang dibutuhkan dunia kapitalis senantiasa terjamin.
Lalu, apakah pekerjaan ibu rumah tangga juga perlu dibayar?
Berdasarkan hasil penelitian berjudul “Pengaruh Nilai Ekonomi Pekerjaan Ibu Rumah Tangga Terhadap Kesejahteraan Keluarga Subyektif” (Puspitawati, 2009), total rata-rata nilai ekonomi pekerjaan domestik ibu rumah tangga setara dengan Rp186.690,00 per bulan atau Rp2.240.280,00 per tahun. Apabila dihitung dengan kurs mata uang saat ini (karena adanya inflasi), maka nilai ekonomi pekerjaan ibu rumah tangga di tahun 2022 adalah Rp265.839,00 per bulan.
Selain itu, Salary.com, website penyedia data untuk perhitungan gaji suatu pekerjaan, pada tahun 2019 merilis hasil perhitungan gaji untuk ibu rumah tangga yakni sebesar $178.201 atau sekitar 2,5 milyar rupiah per tahun. Perhitungan gaji sebesar itu disebabkan oleh pekerjaan ibu rumah tangga yang hybrid, dengan kata lain mengerjakan beragam pekerjaan. Contohnya menjadi chef dalam keluarga, menjadi guru bagi anaknya, dan staf akunting dalam pengelolaan keuangan keluarga.
Pemaparan hasil penelitian tersebut bermaksud untuk membuktikan bahwa pekerjaan reproduktif juga merupakan pekerjaan yang bernilai kapital. Bukan sesuatu yang tidak bernilai hanya karena tidak menghasilkan uang seperti yang kita yakini selama ini.
Pertanyaan selanjutnya adalah siapa pihak yang bertanggung jawab untuk membayarkan nilai kapital dalam pekerjaan reproduktif yang telah diselesaikan oleh ibu rumah tangga? Jawabannya adalah para pemilik modal perusahaan alias kaum kapitalis.
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, nilai kapital dalam pekerjaan reproduktif ibu rumah tangga secara tidak langsung tersimpan dalam keuntungan moneter yang diperoleh perusahaan. Oleh karena itu, bukankah perusahaan yang harus membayar nilai ekonomi yang telah diberikan oleh ibu rumah tangga?
Permasalahannya, jangankan menghargai dedikasi ibu rumah tangga dalam pekerjaan reproduktif. Perusahaan dan pemilik modal masih sering abai terhadap jerih payah para pekerja produktif dengan membayar kurang dari nilai ekonomi yang dihasilkan pekerja tersebut, istilahnya underpaid.
Inilah mengapa penting sekali bagi kita untuk melawan sistem yang jelas-jelas merugikan mayoritas khalayak umum, namun selama ini kita terima-terima saja sebagai sesuatu yang wajar. Sebab, tanpa ada kesadaran dan perlawanan dari pihak yang tertindas, para pemilik modal ini akan terus menerus melanggengkan status quo-nya dengan berlindung di bawah sistem kapitalisme yang telah mapan mencengkram dinamika sosial-ekonomi masyarakat.
Perlawanan tidak akan selesai jika hanya di permukaan
Seruan dan propaganda mengenai pentingnya pembagian kerja reproduktif bagi perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga sudah begitu sering kita temui. Hal tersebut membuktikan adanya perubahan yang progresif dalam mendobrak dogma-dogma patriarki.
Akan tetapi, jika perlawanan kita berhenti pada kesadaran bahwa pekerjaan reproduktif adalah tanggung jawab bersama, maka sejatinya kita masih mengurung permasalahan ini di dalam ranah privat masing-masing keluarga. Padahal, permasalahan mengenai pekerjaan reproduktif yang kehilangan nilainya ini adalah permasalahan yang sistematis.
Bagaimana bisa kita menggugat kelompok pemilik modal atas lepas tangan mereka dalam menghargai pekerjaan reproduktif jika kita sendiri masih belum sadar bahwa sistem kapitalismelah penyebab hilangnya nilai pekerjaan reproduktif?
Oleh karena itu, sudah saatnya kita menelisik lebih dalam. Melihat bagaimana kapitalisme tanpa disadari telah membebankan pekerjaan reproduktif kepada perempuan (khususnya ibu rumah tangga), demi memperoleh komoditi berupa tenaga kerja.
Setelah membangun kesadaran, tugas selanjutnya adalah melihat apakah negara merumuskan strategi untuk kebijakan publik yang menguntungkan ibu rumah tangga sebagai pekerja reproduktif. Entah perusahaan membayarkan secara tunai besaran nominal dari nilai ekonomi pekerjaan reproduktif, atau perusahaan diwajibkan tetap memberi upah pada pekerjanya di hari libur dengan asumsi upah di hari libur tersebut merupakan upah atas pekerjaan reproduktif di rumah.
Akhir kata, mari kita bangkit dari kondisi masa kini yang telah terlampau hanyut dalam paradigma kapitalisme sehingga menihilkan nilai dari kerja reproduktif yang begitu berharga. Faktanya, para perusahaan kapitalis tidak pernah berkontribusi sedemikian rupa layaknya seorang ibu rumah tangga dalam mempersiapkan seorang tenaga kerja. Para tenaga kerja yang berkualitas dan siap mereka pekerjakan itu merupakan hasil jerih payah ibu rumah tangga. Oleh karena itu, tidaklah sepatutnya pekerjaan ibu rumah tangga ini dipandang sebelah mata.
Referensi:
Katrine Marçal. “Siapa yang Memasak Makan Malam Adam Smith?: Kisah tentang Perempuan dan Ilmu Ekonomi”. 2012. Marjin Kiri.
Puspitawati, Herien. “Pengaruh Nilai Ekonomi Pekerjaan Ibu Rumah Tangga Terhadap Kesejahteraan Keluarga Subyektif”. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen, Vol.2 №1. 2009.
Salary.com. “How Much Is a Mother Really Worth?”. 2019.
Penulis: Nissa Amelia Salicha