Menelisik Keberpihakan dalam Kasus KDRT yang Dimanipulasi oleh Internet

Perihal Perempuan
Perihal Perempuan
Published in
5 min readOct 2, 2022
Photo by Karolina Grabowska

Bulan September, kasus berkaitan tentang kekerasan dalam rumah tangga yang dialami Nikita Mirzani dengan mantan suaminya viral di media sosial dan menjadi pembicaraan di kalangan warganet. Sayangnya, kasus serupa bukan hal yang jarang ditemui.

Juli lalu hampir seluruh media di dunia membicarakan kasus persidangan Johnny Depp dan Amber Heard. Kasus tersebut menuai banyak kontroversi dan memulai banyak perbincangan, mulai dari perdebatan Team Depp vs. Team Heard, sampai lelucon dan meme yang tersebar dari rekaman persidangan.

Dari kasus-kasus ini, kemudahan akses informasi melalui media dan internet menjadi salah satu faktor kunci dalam memulai perbincangan terkait kasus kekerasan. Namun, yang kerap terlupakan dari keviralan kasus-kasus yang dialami selebritis ternama adalah kenyataan bahwa kasus KDRT masih sangat sering terjadi di sekitar kita, dan merupakan jenis kasus kekerasan yang paling banyak dialami perempuan.

Tingginya Kasus KDRT dengan Perempuan Sebagai Korban

Data National Coalition Against Domestic Violence (NCADV) menyatakan bahwa sebanyak 23.2% perempuan di Amerika Serikat pernah mengalami kekerasan fisik yang dilakukan oleh pasangan, serta meningkatnya angka kekerasan dalam rumah tangga pada tahun 2016–2018 sebanyak 42%.

Sementara, World Health Organization (WHO) mengestimasikan setidaknya 1 dari 3 perempuan atau 30% dari perempuan di seluruh dunia pernah mengalami kekerasan rumah tangga dalam kehidupannya.

Di Indonesia sendiri, melansir dari Catahu Komnas Perempuan 2021, kurang lebih sekitar 16 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi setiap harinya, di mana setengahnya merupakan kasus KDRT. Kasus-kasus tersebut merupakan kasus yang dilaporkan, sementara kasus kekerasan berbasis gender sendiri serupa dengan gunung es–di balik pelaporan kasus di puncak gunung es tersebut, ada lebih banyak lagi kasus tidak terlaporkan di bawahnya.

Peran Media dan Internet dalam Menyampaikan Berita Kasus KDRT

Photo by Karolina Grabowska

The internet provides instant access to endless entertainment.

Manusia berada pada kehidupan sosial dengan tingkat keingintahuan tinggi. Tendensi akan informasi aktual kian mendominasi. Bagai koin dengan dua sisi, satu sisi mengalah agar sisi lain tampak pada satu waktu. Sama dengan internet — the internet is good or the internet is bad. You cannot choose both at the same time for the same thing.

Tendensi manusia dalam memandang suatu perihal, kini berorientasikan pada hasil yang setiap katanya sudah diolah dan dibuat sedemikian rupa, sehingga terciptalah berita yang serupa namun dengan makna dan interpretasi yang berbeda.

Pun halnya dengan kasus kekerasan dalam rumah tangga, pendapat dan persepsi publik terbentuk dari arus berita yang dikonsumsi. Pembicaraan mengenai kasus KDRT misalnya, disetir oleh kasus-kasus viral yang mudah ditemui dari trending topic yang ada.

Tanpa disadari, kemudahan akses akan pertunjukan hasil pada setiap media tersebut adalah pengembangan dari proses yang disimpulkan dalam bentuk unggahan. Singkat, padat, menarik. Kita luput akan proses pencarian kredibilitas berita dan ketidakberpihakan dalam peliputannya. Kita sibuk mengais berita yang menggelitik dan mutakhir hingga terbentuklah ekosistem kompetisi dari berbagai media untuk dapat memberikan pemberitaan “ter-ter”, terbaik, tercepat, terunik. Akhirnya, kepercayaan kita terhadap benar dan tidaknya sebuah kasus terbentuk dari judul berita atau postingan media sosial mana yang paling menarik.

Psikologi dalam “Trust Behavior” Daring

Setidaknya terdapat dua area utama yang bisa mengembangkan kepercayaan dalam interaksi online selama penggunaan internet, yaitu the psychological of persuasion, peran dari pengaruh sosial terhadap pengembangan kepercayaan serta perbedaan individu pengguna media sosial, yang berkaitan dengan kemampuan kognitif serta karakteristik yang berimplikasi terhadap kebiasaan manusia dalam memberikan kepercayaan kepada manusia lain.

Psychology of Persuasion

Cialdini, (2001) mengemukakan bahwa terdapat 6 prinsip dari persuasi yakni, resiprokal, komitmen dan konsistensi, bukti sosial, keberpihakan, otoritas, dan kelangkaan. Persuasi yang ditampilkan secara menyeluruh dan dilakukan oleh mayoritas dari manusia di internet, akan secara langsung berdampak pada tingkah laku manusia lain dalam memberikan kepercayaan pada suatu informasi dengan kecenderungan palsu, dibanding dengan mempertimbangkan kualitas dan kredibilitas sumber informasi. Berkaitan dengan kepercayaan yang bermula dari ketidakpastian, manusia lain akan sangat bergantung pada faktor identitas sosial dalam memberikan keyakinan mereka terhadap integritas. Seperti kekerasan domestik yang erat identitasnya dengan perempuan sebagai korban.

Perbedaan Individu

Kaptain & Eckles (2012) mengemukakan bahwa personalitas seseorang dalam memproses informasi menentukan keberhasilan persuasi internet. Seseorang yang melibatkan intuisi dalam pengolahan informasi, akan cenderung lebih cepat untuk berpihak dengan berlandaskan pada kejadian lampau yang serupa, sehingga lebih mudah untuk terperdaya persuasi. Sedangkan seorang rasional akan menimbang seluruh aspek dari suatu informasi, sebelum menentukan keberpihakan atau reaksi yang tepat, dan cenderung lebih sulit untuk terpedaya, Evan, (2003).

Bagaimana Menyikapinya?

Kepercayaan kian menguat seiring kita membaca informasi dari beberapa sumber pemberitaan. Silence et all (2019), kredibilitas dan ketidakberpihakan merupakan kunci kepercayaan masyarakat terhadap ekosistem media online yang kian diperkuat melalui beberapa sumber. Internet dengan kecepatan dan kemudahan aksesnya, memfasilitasi kita dengan akses berbagai sumber berita. Namun apa jadinya bila semua sumber pemberitaan tersebut tidak kredibel dan berpihak?

Di satu sisi, media dan internet membantu dalam meningkatkan kesadaran akan isu sosial dan kasus kekerasan berbasis gender yang banyak terjadi. Tidak jarang keingintahuan dan perbincangan antar warganet terkait isu tertentu membantu dalam meningkatkan urgensi untuk penyelesaian isu tersebut.

Namun, menjadi menyedihkan ketika kebenaran akan suatu kejadian atau keberpihakan terhadap korban hanya dengan berlandaskan pada setiran media. Kita membentuk sendiri peran “korban” atau “pelaku”, peran “salah” atau “benar”, dan peran pendukung lainnya dari pihak-pihak yang disebutkan dalam pemberitaan.

Kasus kekerasan berbasis gender menjadi ajang debat antara mana yang salah dan mana yang benar, mana cerita yang lebih gila dan mana yang sewajarnya, tanpa memedulikan kompleksitas dan faktor-faktor lain yang menjadikan kasus kekerasan berbasis gender menjadi kasus sistemik.

Referensi:

  • https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/violence-against-women
  • Rotter, J. B. (1980). Interpersonal trust, trustworthiness, and gullibility. The American Psychologist, 35(1), 1–7.
  • Pee, L. (2012). Trust of Information on Social Media: An Elaboration Likelihood Model. In Proceedings of the International Conference on Information Resources Management (CONF-IRM) (pp. 2–9). AIS.
  • Evans, J. B. T. (2003). In two minds: Dual-process accounts of reasoning. Trends in Cognitive Sciences, 7(10), 454–459.
  • https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6878106/
  • Smith, S.G., Chen, J., Basile, K.C., Gilbert, L.K., Merrick, M.T., Patel, N., Walling, M., & Jain, A. (2017). The national intimate partner and sexual violence survey (NISVS): 2010–2012 state report. Atlanta: National Center for Injury Prevention and Control, Centers for Disease Control and Prevention.
  • Komnas Perempuan. “Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2020.” 2021.

Penulis: Fika Mahartian & Joice Tentry Wijaya
Editor: Pramasari Edie Wijaya

--

--

Perihal Perempuan
Perihal Perempuan

Wadah diskusi dan publikasi alternatif untuk perempuan.