Menelisik Mitos: Uang dan Perempuan

Perihal Perempuan
Perihal Perempuan
Published in
7 min readSep 25, 2022
Photo by Arturo Rey on Unsplash

Sebuah film klasik “Confessions of a Shopaholic”dengan gamblang menggambarkan fenomena stereotip materialistis perempuan, dengan representasi tokoh utama Rebecca, seorang perempuan muda yang memiliki adiksi belanja akut. Di saat Rebecca sudah terjebak pada masalah finansial, secara impulsif dia tidak bisa mengendalikan diri untuk tidak membeli sepatu Gucci atau pakaian dalam Marc Jacobs. Dengan sedikit saja memberi promo iklan, seorang pramuniaga akan mendapat jackpot hingga Rebecca terlilit hutang ribuan dollar.

Lewat film tersebut, perempuan seringkali diasosiasikan dengan kebiasaan pengeluaran belanja yang buruk. Fenomena ini tentu tidak lepas dari pelanggengan budaya dan media yang memotret perempuan sebagai makhluk impulsif, yang tidak bisa mengendalikan diri untuk membeli hal-hal remeh.

Kebanyakan laki-laki dianggap sebagai pebelanja utilitarian sedangkan perempuan diklaim lebih banyak tergolong dalam pebelanja hedonis. Stereotip utilitarian menganggap bahwa laki-laki melakukan aktivitas belanja disebabkan karena adanya kebutuhan untuk membeli sesuatu. Sedangkan stereotip belanja hedonis menunjukkan perempuan memiliki motif “kesenangan” saat berada di toko dan menyukai proses belanja tersebut walaupun tidak sedang bertujuan membeli sesuatu (Astrid, 2010).

Fenomena ini menggiring citra bahwa motif belanja pada perempuan semata-mata hanya sebagai sarana rekreasi yang merujuk pada sikap boros secara finansial. Perempuan seringkali dianggap lebih banyak mengakumulasi sisi emosional dalam menentukan alokasi pembelanjaan, berujung pada sikap impulsif untuk membeli barang-barang “remeh”.

Perempuan dan Relasi Finansial

Photo by Mimi Thian on Unsplash

Sebuah survei yang dilakukan pada tahun 2020 di Amerika menunjukkan bahwa rata-rata secara keseluruhan laki-laki menghabiskan biaya 35.000 dolar Amerika per tahun untuk kebutuhan pribadi. Jumlah ini sedikit lebih banyak daripada perempuan yang berkisar pada angka 33.000 dolar Amerika per tahun.

Secara keseluruhan laki-laki mengalokasikan dana dua kali lipat pada makanan, alkohol, dan kendaraan dibanding perempuan. Sementara itu perempuan menghabiskan lebih sedikit pada alokasi kebutuhan sehari-hari dan harga kendaraan, namun rata-rata biaya membengkak pada sektor pakaian dan perawatan pribadi.

Berdasarkan survei tersebut tentu dapat disimpulkan bahwa secara garis besar tidak ada perbedaan yang signifikan antara kebiasaan konsumsi laki-laki dan perempuan yang dapat menjadi justifikasi stereotip materialistis di antara keduanya.

Masing-masing golongan memiliki berat pos pengeluaran yang berbeda, namun dalam hal ini alokasi pos keuangan perempuan yang banyak berkutat pada lifestyle seringkali diasosiasikan dengan kebutuhan remeh yang dipotret sebagai masalah finansial.

Lebih lanjut, tim Perihal Perempuan berusaha mengurai masalah ini dengan seorang pakar perencana keuangan untuk menganalisis problem keuangan yang biasa disematkan kepada perempuan.

“Masalah finansial yang identik dengan perempuan seringkali berhubungan dengan lifestyle, walaupun tidak semua perempuan seperti ini ya. Contohnya, mudah terbawa gaya hidup teman kuliah atau rekan sekantor. Trying to fit in dan FOMO membuat perempuan sulit menolak ajakan nongkrong di cafe, belanja merek-merek tertentu, atau membeli barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan,” papar Stefani Adi, seorang perencana keuangan bersertifikat saat diwawancara oleh tim Perihal Perempuan pada Rabu (10/8).

Dalam hal ini perempuan dinilai memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk mengikuti trend mode gaya hidup yang dinamis. Perkembangan mode pakaian, aksesoris, maupun produk perawatan pribadi seringkali menargetkan pasar perempuan sehingga secara sosial perempuan lebih rentan untuk terjebak dalam compulsive shopping.

Permasalahan lain, perempuan juga dinilai lebih pasif dalam melakukan perencanaan finansial. Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan tahun 2019 oleh OJK, literasi keuangan perempuan berada pada angka 34%. Angka ini diketahui lebih rendah dibanding laki-laki yang berkisar di angka 39%.

Literasi keuangan dapat diartikan sebagai kemampuan individu dalam membaca, memahami, serta mengatur hal-hal yang berkaitan dengan masalah keuangan, hal ini tentu menjadi faktor yang sangat penting dalam menentukan kedewasaan untuk mengalokasikan pos finansial di kehidupan modern.

“Mengapa perempuan lebih pasif di sektor keuangan? Di acara seminar internasional bertajuk Digital Transformation for Financial Inclusion of Women, Youth, and MSMEs to Promote Inclusive Growth, Ibu Sri Mulyani mengatakan, perempuan seringkali sulit untuk mengakses layanan keuangan misalnya karena tidak memiliki identitas pribadi atau aset atas namanya, sehingga tidak memiliki jaminan yang bankable,” sambung Stefani.

Secara struktural, banyak ditemukan perempuan yang sulit mendapatkan akses untuk meraih edukasi keuangan. Sektor pekerja informal yang didominasi oleh perempuan menjadi salah satu celah terbesar rendahnya persentase keterampilan keuangan perempuan dalam data. Rendahnya tingkat pendidikan serta jaminan sosial maupun finansial yang absen pada sektor pekerja informal merujuk pada sulitnya akses perempuan untuk mengakses layanan dan literasi keuangan.

Ekspektasi Perempuan sebagai Menteri Keuangan Keluarga

Photo by Kelly Sikkema on Unsplash

Fenomena perempuan yang menyandang peran besar dalam manajerial keuangan keluarga tentu tidak dapat diabaikan. Mayoritas keluarga menjadikan peran perempuan sebagai menteri keuangan. Sebagian besar aktivitas belanja mulai dari kebutuhan harian, alokasi pembiayaan anak, keputusan pembelian aset, pakaian, rekreasi, dan berbagai pos lain diatur oleh peran perempuan dalam keluarga.

Berdasarkan riset yang dilakukan oleh berbagai lembaga keuangan di tahun 2020 dan 2021 menunjukkan bahwa perempuan dalam rentang usia di bawah 45 tahun memegang peranan utama dalam keputusan finansial keluarga.

Mayoritas perempuan dalam usia produktif yang sudah menikah aktif mendiskusikan alokasi pos keuangan bersama anggota keluarga lainnya. Perempuan menjadi pengambil keputusan dalam 94% pilihan pembelian alat rumah tangga, 92% kebutuhan rekreatif, 91% aset tempat tinggal, 60% aset kendaraan, serta 50% pada konsumsi barang elektronik keluarga.

Dapat disimpulkan bahwa dalam ranah domestik perempuan lebih berdaya atas pengelolaan finansial. Survei Orami pada Desember 2021 menyimpulkan 50% perempuan sudah merasa berdaya dalam keluarga, 70% di antaranya karena sudah memiliki penghasilan sendiri. Benang merah yang perlu digarisbawahi, berbagai hasil survei tersebut dilakukan kepada responden perempuan usia produktif dengan rata-rata cakupan yang luas terhadap akses teknologi serta memiliki taraf pendidikan yang baik.

Dalam konteks kedewasaan pengelolaan finansial pada individu, edukasi dan teknologi menjadi dua faktor utama yang tidak dapat disangkal. Peran ibu rumah tangga yang menunjukkan performa baik dalam manajerial keuangan keluarga selalu sejalan dengan literasi digital dan taraf pendidikan individu yang tinggi.

Mengurai Stereotip Keuangan pada Perempuan

Photo by Fabian Blank on Unsplash

Berkelindan dengan problem finansial perempuan, stereotip sebagai pebelanja hedonis perlu diurai kembali. Pos pengeluaran perempuan yang membengkak pada sektor pakaian dan perawatan pribadi penting ditelaah dalam perspektif ekonomi, yang tidak luput dari berbagai strategi market yang menyasar perempuan. Perbedaan harga berbasis gender merupakan fenomena nyata yang menyasar produk dengan target pasar perempuan.

Pink tax ini nyata adanya. Meskipun tidak banyak riset tentang ini di Indonesia, tapi saya pribadi pernah menemukannya waktu berbelanja baju di salah satu toko di mall, kaos santai untuk perempuan harganya selisih cukup signifikan daripada kaos laki-laki, padahal model dan bahannya sama saja sehingga dari segi ongkos produksi most likely tidak jauh berbeda,” ungkap Stefani (10/8).

Pink tax merupakan strategi penetapan harga berbasis gender, di mana produk yang ditargetkan kepada pembeli perempuan dipatok dengan harga yang lebih tinggi. Sementara, produk dengan kualitas sebanding dijual lebih murah kepada target laki-laki.

Sebuah proyek yang menganalisis selisih harga pada 800 produk di New York pada tahun 2021 menemukan fenomena pink tax berlaku hampir pada semua produk yang beredar di supermarket, mulai dari produk kebersihan, perawatan pribadi, pakaian bayi, hingga perawatan kesehatan di rumah. Bila dirata-rata, seumur hidup perempuan akan membayar harga 7% lebih tinggi daripada laki-laki untuk jenis dan kualitas produk yang sama.

Fenomena pink tax merupakan efek dari targeted capitalism. Strategi ini menjual kesan eksklusif pada produk-produk perempuan sebagai justifikasi untuk menaikkan harga. Pada prakteknya, pink tax menjadi sumber pendapatan bagi perusahaan yang mem-branding produk mereka secara personal kepada populasi perempuan dan melihatnya sebagai penghasil uang.

Secara tidak langsung pengaruh dari strategi pemasaran pada sistem ekonomi yang bias gender ini akan mempengaruhi keputusan perempuan dalam mengatur pos pengeluaran finansial.

“Bagi sebagian perempuan yang tidak aware dengan strategi marketing perusahaan seperti pink tax, akan terbuai dengan personalisasi dan berujung merogoh kocek lebih dalam. Idealnya, perempuan bisa lebih mengedukasi diri dan lebih strategis dalam berbelanja. Kalau selisihnya signifikan, selama tidak mengurangi fungsinya, bisa berbelanja di section laki-laki” sambung Stefani (10/8).

Perlu diperhatikan bahwa pink tax bukanlah retribusi resmi atas pemasaran sebuah produk. Tidak ada alasan yang jelas mengapa perempuan harus membayar biaya tambahan untuk barang atau layanan dengan nilai serupa.

Sebagai sebuah akal-akalan perusahaan untuk meraup untung sebanyak-banyaknya, bentuk diskriminasi biaya ini patut dikritisi sebagai sistem korup yang melanggengkan diskriminasi gender dalam pasar ekonomi. Pink tax memaksa perempuan untuk merogoh kocek lebih banyak untuk kebutuhan sehari-hari. Selayaknya fenomena ini harus diregulasi sebagai penambahan biaya ilegal yang dimonopoli oleh perusahaan.

Pada dasarnya, bila mengacu pada data mengenai besar pengeluaran antara laki-laki dan perempuan, stereotip finansial yang buruk pada perempuan tentu tidak dapat dijustifikasi begitu saja. Terlebih dengan strategi marketing yang secara khusus banyak menyasar perempuan sebagai targetnya, pos pengeluaran yang membengkak pada sektor pakaian dan kebutuhan personal dapat dianalisis lebih dalam daripada sekadar perilaku impulsif.

Membicarakan diskursus ini, peran perempuan dalam ranah domestik juga perlu diperhatikan. Pada praktiknya perempuan mampu menjadi pengambil keputusan pengelolaan finansial keluarga, menempatkan jumlah pengeluaran pada masing-masing pos pengeluaran serta memiliki perencanaan yang visioner mengenai dana darurat dan tabungan.

Hal ini menjadi ironi ketika perempuan yang dianggap sebagai pelaku hedonis dan buruk dalam pengelolaan keuangan pribadi dapat melakukan tugas pengelolaan finansial kelompok dengan baik.

Dapat disimpulkan, dari kacamata kapitalistik, perempuan dilihat sebagai komoditi untuk menghasilkan pundi-pundi. Beragam strategi pemasaran yang menargetkan pembengkakan biaya, ditambah dengan akses yang tidak merata pada sarana finansial menyebabkan identitas perempuan makin tereksploitasi dalam wacana ekonomi.

Lebih lanjut, perlu digarisbawahi bahwa kebijaksanaan dalam pengelolaan finansial seseorang tidak dapat digeneralisir pada pengelompokan gender semata, namun juga perlu memperhatikan faktor ketimpangan yang terjadi dalam sistem ekonomi, akses edukasi, dan latar belakang sosial yang menjadi basis utama literasi keuangan seseorang.

Sumber:

https://hbr.org/2009/09/the-female-economy

https://www.livemint.com/Home-Page/LGiSxKK2Q2mZfiBXjCnVJP/Money-myths-5-stereotypes-about-women-and-finances-that-we.html

https://www.louisianafcu.org/articles/how-men-and-women-spend-their-money-differently

https://katadata.co.id/ariemega/finansial/62288237c33c3/survei-kic-perempuan-lebih-detil-kelola-uang

https://thehornetonline.com/2020/03/06/the-pink-tax-is-discriminatory-and-illegal-axthepinktax/

Penulis: Sifin Astarina

--

--

Perihal Perempuan
Perihal Perempuan

Wadah diskusi dan publikasi alternatif untuk perempuan.