Menentang Stereotip Gender: Pekerjaan Rumah sebagai Keterampilan Hidup Bukan Tugas Gender

Perihal Perempuan
Perihal Perempuan
Published in
5 min readFeb 5, 2022
Ilustrasi perempuan mengerjakan tugas domestik
Ilustrasi perempuan melakukan pekerjaan domestik (Dok. Jeshoots/Unsplash)

“Perempuan sudah kodratnya untuk mengurus anak dan rumah tangga”

Kata-kata tersebut pasti sudah sering didengar terutama oleh perempuan. Yang diajak untuk membantu ibu di dapur pasti lebih sering anak perempuannya. Sedangkan anak laki-lakinya diberikan maintenance role seperti mencuci mobil, mengecat atau memotong rumput. Masalah pengasuhan anak juga dibebankan pada perempuan karena secara “kodrat”, perempuan secara alami adalah pengasuh yang terbaik.

Secara universal perempuan terbiasa menanggung pekerjaan dua kali lipat dari laki-laki seperti yang dilansir dari Katadata. Selama pandemi corona, 55% ibu rumah tangga di Indonesia menambah waktu mereka untuk membersihkan rumah dan 39% dari mereka pun menyediakan waktu untuk mengajar anak-anak selama dirumah. Sebaliknya, hanya 48% ayah yang mengerjakan pekerjaan yang serupa dan 29% dari mereka menambah waktu untuk mengajari anak-anaknya.

Sebuah riset dari JAKPAT juga menunjukkan bahwa rumah tangga di Indonesia masih mengikuti peran tradisional dimana peran laki-laki adalah pencari nafkah yang utama. Walaupun kebanyakan orang Indonesia tidak setuju bahwa pekerjaan rumah tangga adalah tanggung jawab istri, secara realita 85% istri di Indonesia masih melakukan sebagian besar pekerjaan rumah sedangkan suami terdata 23% melakukan pekerjaan yang sama.

Dari data diatas bisa dilihat bahwa peran suami/laki-laki di rumah cenderung masuk dalam kategori supportive role, yaitu melakukan pekerjaan rumah yang lebih ringan dan tidak konsisten. Selain beres-beres rumah, seorang ibu masih harus menangani aspek kognitif dan tugas-tugas yang melibatkan perasaan untuk keluarga.

Yang artinya, perhatian ibu selalu tajam akan kebutuhan keluarga seperti jadwal kegiatan sekolah, persediaan kebutuhan rumah dan kepentingan lain yang membutuhkan kehadiran mental ibu yang konstan.

Konsekuensinya, ibu lebih stres, lelah dan kurang bahagia daripada ayah, yang lebih bahagia saat gilirannya untuk mengasuh anak. Ketika perempuan menganggap pembagian tugas rumah tangga tidak adil dan kontribusi masing-masing pasangan berbeda, hal itu akan menimbulkan masalah dalam pernikahannya. Resiko yang lain termasuk kelelahan bagi ibu yang yang awalnya meminta bantuan tetapi terkesan cerewet karena tidak didengar (Hogenboom, 2021).

Karena itu, kita harus mulai mengadopsi pola pikir baru dengan cara mengurangi mengasosiasikan pekerjaan rumah sebagai tugas perempuan dan menekankan konsepnya sebagai usaha kolaboratif keluarga. Artinya, tugas membersihkan rumah, mengurus anak dan mencari nafkah tidak lagi dialokasikan sesuai gender, melainkan tanggung jawab suami dan istri.

Ilustrasi ibu yang mendukung perkembangan peran gender anak
Ilustrasi ibu yang mendukung perkembangan peran gender anak (Dok. Jurien Huggins/Unsplash)

Peran orang tua sangat signifikan terhadap perkembangan peran gender di dalam lingkungan keluarga. Mengajarkan keyakinan tentang kesetaraan gender terbukti memiliki efek positif kepada persepsi anak-anak.

Dalam penulisan buku yang berjudul “Good Guys: How Men Can Be Better Allies for Women in the Workplace” menyatakan bahwa anak perempuan dengan ayah yang melakukan sebagian pekerjaan rumah lebih memilih untuk mengejar aspirasi karir mereka, sering kali dalam pekerjaan yang diluar stereotip. Anak laki-laki dari orang tua yang mengadopsi pola pengasuhan yang setara akan memiliki sifat egaliter terhadap peran perempuan dan laki-laki dirumah dan ditempat kerja (Smith, D.G & Johnson, W.B, 2020).

Dalam diskusi daring Satu Rumah Satu Suara, Kadek Doi menjelaskan bahwa membuat kesepakatan di dalam rumah tangga sangatlah membantu dalam pembagian pekerjaan domestik. Poin poin yang dibicarakan sangat penting untuk dipertimbangkan sebelum atau saat kita membangun sebuah rumah tangga.

Membangun Komunikasi dalam Rumah Tangga

Kunci pertama dalam mencapai dinamika keluarga yang harmonis adalah komunikasi. Ketika seorang anggota keluarga ada masalah yang berkaitan dengan hal domestik biasakan untuk dibicarakan kepada keluarga sendiri. Jika semua anggota keluarga sudah menciptakan ruang yang aman didalam rumah, anak dan pasangan kita pun merasa nyaman untuk mengutarakan perasaan mereka.

Memang tidak semua keluarga punya dinamika yang sama. Setiap orang punya cara yang berbeda dalam mengekspresikan emosi mereka. Penting juga kita untuk memberi ruang kepada anggota keluarga yang mengalami kesulitan untuk memproses emosi dan kata-kata yang ingin disampaikan. Akan tetapi, jika kita menghindari untuk membicarakannya dengan mereka akan terjadi diam-diaman dan perasaan gak enak.

Seni berkomunikasi itu membutuhkan ketekunan dan kesabaran untuk bisa dikuasai. Dengan teknologi yang sudah canggih, membahas kebutuhan keluarga bisa dipindahkan lewat grup chat sebagai pilihan terakhir.

Pilih waktu yang tepat untuk berdiskusi dengan keluarga. Pekalah terhadap emosi anggota keluarga kita. Lebih baik lagi, diskusikan pada waktu senggang atau saat makan malam, dan usahakan dengan kepala dingin. Kasih jeda sekian detik sebelum merespon kepada suatu masalah supaya jangan ada ledakan emosi. Pilih kata-kata yang tepat agar mereka merasa didengar dan tidak dihakimi.

Jangan takut untuk meminta bantuan. Kita semua adalah manusia, bukan superhuman yang bisa membaca pikiran orang lain. Tidak ada salahnya dengan meminta bantuan jika kegiatan yang kita lakukan di hari itu sudah mencapai kapasitas kekuatan tubuh. Ingat, pekerjaan rumah adalah kewajiban bersama.

Membuat Kesepakatan Bersama

Ilustrasi pasangan membuat keputusan bersama untuk keluarga
Ilustrasi pasangan membuat keputusan bersama untuk keluarga (Dok. Ron Lach/Pexels)

Setelah sesi diskusi dan negosiasi dengan keluarga selesai, tahap selanjutnya adalah membuat kesepakatan. Kadek Doi dalam seminar Satu Rumah Satu Suara telah mencatat langkah-langkah dalam pembuatan kesepakatan, yaitu:

  1. Membuat kesepakatan yang melibatkan semua anggota keluarga dan dilaksanakan oleh mereka semua. Kesepakatan bisa terkait dengan pekerjaan rumah tangga atau kebutuhan individu.
  2. Batasi jumlah kesepakatan yang dibuat. Kesepakatan yang terlalu banyak akan lebih sering terlupakan dan susah untuk dipertahankan. Semua anggota keluarga harus tau apa hal yang penting untuk dirinya dan pengaruhnya terhadap anggota yang lain.
  3. Semua anggota keluarga harus mampu untuk mengingat dan melaksanakannya dengan konsisten.
  4. Kesepakatan bersama mencakup nilai yang dijunjung keluarga.

Mendirikan kesepakatan tentunya harus ditemani dengan konsekuensi jika seandainya ada pelanggaran. Apakah konsekuensi yang didapat anggota keluarga jika mereka tidak bisa memenuhi kesepakatan yang dibuat? Itu bisa dijelaskan dari awal dan bisa dalam berbagai bentuk, misalnya dengan cara mengganti atau memperbaiki barang yang hilang atau menghibur dari kekecewaan. Salah satu tujuan ini adalah agar ‘maaf’ tidak lagi menjadi satu-satunya hal yang dilakukan untuk mengganti kesalahan.

Kesimpulannya, ketika semua anggota keluarga sudah konsisten mengerjakan tanggung jawab yang diberikan, maka kita dapat memperbarui atau menambah kesepakatan tersebut.

Ketika ada masalah yang muncul berulang-ulang kali, ada baiknya anggota keluarga diberi refleksi akan kesalahannya. Tinjauan yang diberikan pun harus tetap objektif. Inilah prinsip-prinsip haru ditanami demi kesuksesan kesepakatan yang dibuat. Seperti yang dikatakan oleh Kadek Doi, “Konsistensi adalah ujian gak cuma tentang kesepakatan, tetapi juga bagaimana kita meletakkannya sebagai sebuah komitmen”.

Referensi

Ferguson dalam The Guardian. “I feel like a 1950’s housewife: how lockdown has exposed the gender divide”. 2020

Hogenboom dalam BBC News. “The hidden load: ‘How thinking of everything’ holds mums back”. 2021

Smith, D.G & Johnson, W.B. “Gender equity starts in the home”. 2020

Penulis: Desire Fadhillah Gioni

Editor: Pramasari Wijaya & Joice Tentry

--

--

Perihal Perempuan
Perihal Perempuan

Wadah diskusi dan publikasi alternatif untuk perempuan.