Nggak Ada Batasan untuk Perempuan dalam Musik, Benarkah?

Perihal Perempuan
Perihal Perempuan
Published in
6 min readMar 31, 2022
Ilustrasi oleh: Sukma Miranda untuk Perihal Perempuan

Siapa yang tidak mengenal Melly Goeslaw, seorang produser yang membuat banyak penyanyi besar lahir dari lagu ciptaannya? Lagu-lagu gubahannya begitu laris di pasaran, bahkan sosoknya dikenal sebagai ratu soundtrack film.

Lalu, bagaimana dengan Maia Estianty, yang pernah sukses bersama grup Ratu dan duo Maia dengan semua lagu hits yang juga ciptaannya sendiri?

Atau Dewi Lestari yang aktif sebagai penulis dan pencipta lagu, seperti Perahu Kertas dan Malaikat Juga Tahu? Rasanya, hampir semua orang hafal lagu tersebut, sampai-sampai dinyanyikan oleh beberapa penyanyi seperti Maudy Ayunda. Ketiga perempuan ini nampaknya sudah sangat familiar di telinga kita, bukan?

Sekilas industri permusikan Indonesia terlihat ramah gender, baik yang berprofesi sebagai penyanyi, penulis lagu, bahkan beberapa produser perempuan berkibar dan menjadi orang-orang yang memiliki pengaruh besar di mata publik.

Kondisi ini memunculkan asumsi bahwa representasi perempuan dalam dunia musik Indonesia seolah sudah cukup banyak. Sayangnya, asumsi ini masih perlu dipertanyakan dan ditelusuri lebih jauh.

Noni, salah satu produser perempuan Indonesia, sempat menuliskan artikel di Pop Hari Ini soal minimnya produser perempuan di Indonesia. Tulisannya kemudian menginspirasi tim Perihal Perempuan untuk berdialog lebih dalam bersama perempuan pelaku industri musik terkait isu ini.

Secara statistik jumlah pembuat musik perempuan justru tidak sebanding dengan laki-laki. Di kancah internasional, studi dari American Think Tank Annenberg Inclusion Initiative menemukan bahwa per tahun 2020 musisi perempuan masih terpinggirkan dalam chart musik utama, seperti Billboard Hot 100. Peneliti mencatat bahwa selama 8 tahun terakhir, 75 persen tangga lagu didominasi musisi laki-laki seperti yang dilansir melalui Republika.

Ketidaksetaraan gender juga sangat jelas terlihat di belakang layar industri musik. Untuk produser misalnya, sepanjang 2013–2020, hanya 2,1% produser perempuan yang masuk dalam nominasi ajang penghargaan insan musik dunia.

Lalu, di Indonesia sendiri nama perempuan yang muncul sebagai produser musik pun masih sangat jarang terdengar. Untuk mengetahui lebih jelas tentang seberapa besar otoritas produser perempuan di dunia permusikan, dan seberapa besar kesempatan perempuan dalam memegang posisi-posisi strategis dalam sebuah terciptanya karya musik, Perihal Perempuan memutuskan untuk mencari jawabannya.

Ada 7 musisi perempuan yang bersedia membagikan pandangan mereka. Masing-masing dari musisi perempuan ini terlibat penuh dalam proses penciptaan musik, mulai dari penulisan hingga produksinya. Perempuan-perempuan ini mendobrak standar industri musik Indonesia dengan tetap mempertahankan identitas yang mereka perjuangkan dalam karya-karya mereka.

Jalan Sunyi di Balik Layar

Ilustrasi musisi perempuan di balik layar. (Dok. Mariya Georgieva/Unsplash)

“Di skena EDM Indonesia, masih ada pandangan bahwa EDM itu identik dengan jedag-jedug, narkoba, (dan) seks bebas. Sehingga ketika ada penggiat EDM perempuan, songwriter, atau DJ perempuan itu sudah pasti akan terlihat konotasi negatif,” ungkap Nadya Sumarsono, musisi yang sedang menggeluti genre EDM (Electronic Dance Music) di Indonesia.

Keresahan yang dirasakan oleh Nadya serupa dengan yang dialami oleh Noni dan Nadila. Kepada Perihal Perempuan, Nadila mengaku lebih sering bertemu dengan laki-laki yang berkiprah di belakang layar ketimbang perempuan. Hal ini jadi salah satu struggle yang ia hadapi, terutama karena pekerja seni tak mengenal perbedaan antara siang dan malam.

Sementara bagi Noni, ketimpangan antara jumlah produser laki-laki dan perempuan cukup terasa. “Kalau ngelihat produser laki-laki, itu kita ngelihat atas, bawah, kiri, (atau) kanan tinggal tunjuk aja karena sebanyak itu. Apalagi kalau di kotak-kotakkan ke berbagai genre, kita nggak bisa milih produser cewek yang (genre) R&B atau pop karena memang masih sedikit,” tutur Noni.

Kondisi ini pun tampaknya cukup berbeda ketika menilik musisi lain, seperti Chevrina yang aktif di Hondo dan Dekat. Musisi perempuan yang sudah cukup senior itu sendiri sempat menyebutkan bahwa keberadaan beberapa perempuan-perempuan powerful di industri musik Nusantara menjadi salah satu hal yang patut disyukuri.

“… di lingkungan gue dan sekitar gue, banyak sekali wanita yang cukup megang. Contohnya ada Mbak Endah (Endah N Rhesa). Siapa yang nggak tahu dia? Dia adalah perempuan yang cukup punya power, apalagi dalam masalah tentang royalti, Mbak Endah ikut memperjuangkan. Suara serta pengalamannya juga cukup diperhitungkan. Selain itu, salah satu pemegang record label terbesar di Indonesia juga wanita,” terangnya pada Perihal Perempuan.

Meski begitu, musisi yang akrab disapa Chev ini juga mengakui bahwa produser perempuan yang terkenal memang terbatas. Nama-nama seperti Melly Goeslaw, Dewiq, dan Maia Estianty melejit dengan lagu-lagu yang telah mencapai platinum. Sementara kini, jika produser perempuan semakin marak, mereka biasanya bisa ditemukan di komunitas-komunitas kecil.

Minimnya Keterlibatan Perempuan dalam Proses Produksi Musik

Ilustrasi eterlibatan perempuan dalam menciptakan dan produksi lagu. (Dok. Quốc Bảo/Pexels)

Proses produksi musik merupakan sebuah sistem yang cukup kompleks. Yang jika disederhanakan oleh Chevrina, maka akan muncul tiga pihak utama; penulis lagu, penyanyi, dan produser. Posisi produser inilah yang kemudian menjadi krusial karena ialah yang akan mengambil kesimpulan tentang suara yang ingin dihasilkan. Proses aransemen dan aktivitas menuangkan musik menjadi lagu yang utuh ada di tangan produser.

Menurut Deandra Nadira, pemusik perempuan yang sedang cukup aktif memproduksi lagu, sunyinya produser perempuan bisa jadi disebabkan oleh proses produksi lagu yang bisa terasa intimidatif.

“Mungkin ada hubungannya dengan masalah di mana produksi musik itu sangat teknis. Produksi musik itu 90% berbasis komputer. Aku ngerti kenapa perempuan merasa terintimidasi (dengan hal itu). Prosesnya memang susah karena aku udah pernah coba. Untuk yang sudah punya kontrak dengan label musik komersial, (seringnya) jadi penampil dan mereka harus mematuhi aturan label yang ketat.”

Pada akhirnya, musisi perempuan yang berada dalam perusahaan label umumnya hanya perlu menunggu lagu yang sudah ditulis dan diproduksi terlebih dahulu. Tugas utama mereka adalah menampilkan lagu tersebut.

Argumen ini senada dengan yang diutarakan oleh Vania Aurell, musisi yang dipercaya mendapat bagian di karya musikal “Ismail Marzuki”. Dalam pandangannya, perempuan seolah belum dipercaya (sebagai produser atau pencipta lagu), “Misalnya dari produser-produser senior yang menganggap, ‘Ah belumlah, lo anak bawang, nggak usah deh mau jadi produser gini, ntar berantakan’. Padahal mereka belum tau kalau perempuan itu bisa jadi lebih baik daripada dia.”

Sementara itu, Kai Mata, musisi dengan misi meningkatkan isu kesetaraan gender dan hak bagi komunitas queer, berusaha melihat isu ini dengan lebih dalam.

I think there’s still sexism involved. The false idea that people who create are supposed to be men, since producing was a field predominantly dominated by men. I also think that unfortunately, we as women are more valued for our aesthetics. Dan kalau jadi produser, you don’t really see them. It’s easier for women to be pigeonholed sebagai yang tampil. It’s difficult, when there’s a power dynamic already,” jawabnya saat ditemui oleh tim Perihal Perempuan.

Menembus Batasan sebagai Musisi Perempuan

Dengan kenyataan bahwa peran perempuan dalam proses pembuatan musik masih minim dan berakar dari sistem yang tidak menguntungkan perempuan, apa yang bisa dilakukan?

Chevrina menjawab bahwa konsistensi dan fighting spirit adalah satu di antara sekian yang perlu dimiliki oleh musisi perempuan, “Kalo lo nggak ada semangat juangnya mau konsisten ngapain sih?”

Tak jauh berbeda dengan Chevrina, Nadya Soemarsono juga urun suara, “Lakuin, lakuin. Jadi, bagi perempuan, be brave. Tampilin bakat kamu karena perempuan punya kapabilitas yang tinggi.”

Sementara menurut Noni, perjuangan musisi perempuan dalam terlibat dalam proses produksi musik memang sulit, namun ini penting untuk dilakukan, terutama ketika melihat generasi di masa depan yang mungkin memiliki keinginan untuk menjadi produser perempuan. “Imagine how meaningful it would be to them to look up to you, see you, and like, ‘Oh my god, dia bisa kenapa gue nggak?’. Nggak ada yang nahan dan nggak bakal ada yang ngejudge kalian. We need you. Kita butuh kalian untuk bisa mulai sendiri supaya berkembang juga.”

Berkaca dari pengalaman yang telah dibagikan oleh Aurel, Deandra Nadira, Nadya Soemarsono, Kai Mata, Chevrina, Noni, dan Nadila, perempuan masih dan akan selalu punya tempat untuk unjuk karya. Entah itu sebagai musisi ataupun prosedur, secuplik pengalaman perempuan dalam lanskap industri musik di Indonesia ini bisa menjadi gambaran bagaimana kondisi pegiat musik perempuan di dalam negeri.

Masih ada banyak yang harus diperhatikan dan diperbaiki, itu jelas. Namun, perempuan selalu punya daya untuk mengupayakan musik yang ingin dihadirkan. Perempuan perlu punya porsi yang sama utamanya agar ketimpangan bisa diminimalisir. Dengan mengingat kembali, kata kunci yang perlu dibenahi untuk semua permasalahan tersebut: kesetaraan dalam proses bermusik, tidak hanya sebagai penampil, tetapi juga pembuat karya. Penciptaan ruang aman, akses, dan program yang berpihak pada perempuan adalah mutlak harus diberikan kepada perempuan pemusik.

Lantas, bagaimana masa depan perempuan dalam industri musik Indonesia? Nantikan hasil bincang-bincang Perihal Perempuan dengan ketujuh narasumber ini di artikel selanjutnya, ya!

Penulis: Arlina Laras, Desire Djer

Pewawancara: Anisya Salsabila, Pramasari Wijaya, Arlina Laras, Joice Tentry, Desire Djer, Cynthia Natasha

--

--

Perihal Perempuan
Perihal Perempuan

Wadah diskusi dan publikasi alternatif untuk perempuan.