Permendikbud 30 : Perisai Hukum untuk Melawan Predator Seksual di Kampus

Perihal Perempuan
Perihal Perempuan
Published in
7 min readFeb 1, 2022
Dok. Wikimedia Commons

Peresmian Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 oleh Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) pada 31 Agustus 2021 telah membawa angin segar ke dalam dunia pendidikan Indonesia.

Lahirnya peraturan tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi tersebut jelas bukan tanpa alasan. Kemendikbud Ristek mencatat 2.500 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan terjadi sepanjang Januari sampai Juli 2021. Angka yang meningkat dari catatan tahun sebelumnya yaitu sebanyak 2.400 kasus.

Selain itu, laporan Komnas Perempuan per 27 Oktober 2021 menunjukkan 51 aduan kekerasan seksual datang dari lingkungan pendidikan sepanjang tahun 2015–2020, dengan kasus terbanyak terjadi di perguruan tinggi sebesar 27 persen.

Data-data di atas jelas merupakan representasi atas maraknya kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Namun, sesungguhnya data tersebut hanyalah secuil dari realitas yang terjadi di lapangan. Hasil survei daring Magdalene dan Lentera Sintas Indonesia pada 2016 menunjukkan bahwa 93 persen penyintas kekerasan seksual tidak melaporkan kasus yang mereka alami. Hal itu menunjukkan masih banyak sekali kasus kekerasan seksual yang tidak tersorot dan terlapor.

Kehadiran Permendikbud 30 dalam Intervensi Kekerasan Seksual di Kampus

Kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi bukanlah sesuatu yang baru, meskipun kesadaran dan kepedulian khalayak atas isu tersebut baru marak belakangan ini. Namun, jauh sebelum isu kekerasan seksual di kampus banyak digaungkan, telah ada lembaga-lembaga advokasi kekerasan seksual di kampus yang vokal dalam menyuarakan keresahan serta berupaya melindungi korban.

Universitas Jenderal Soedirman, contohnya, telah memiliki Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) PIK-R (Penyiapan Kehidupan Berkeluarga Bagi Remaja) Aksiologi yang bergerak sebagai pusat informasi serta konseling remaja. Ada juga komunitas Girl Up di Universitas Padjadjaran (UNPAD) yang giat mengampanyekan pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender. Kedua lembaga tersebut sama-sama memberikan perhatian dan advokasi terhadap mahasiswa penyintas kekerasan seksual.

Sebelum Permendikbud Nomor 30 disahkan, dua lembaga tersebut menghadapi berbagai hambatan dalam mengadvokasi korban kekerasan seksual. Isnaini, Ketua PIK-R (Penyiapan Kehidupan Berkeluarga Bagi Remaja) Aksiologi, menjelaskan kasus kekerasan seksual di kampus jarang mendapatkan penanganan tuntas.

“Kadang ada yang langsung menutup kasus, ada yang cuma sekedar sharing, jadi tidak bisa penanganan langsung secara tuntas sampai ada sanksi dan segala macam. Atau justru hanya diselesaikan secara kekeluargaan,” ungkap Isnaini.

Isnaini menyatakan hambatan justru datang dari korban yang enggan untuk menceritakan apa yang mereka alami, sehingga menyulitkan PIK-R Aksiologi dalam melakukan advokasi.

“Sering kasus-kasus yang terjadi tuh berhenti di tengah jalan, karena kalau pihak yang bersangkutan memilih menyelesaikan dengan jalan kekeluargaan kita bisa apa. Semuanya kembali kepada keputusan korban, karena kita tidak bisa memaksa,” tuturnya.

Revina, Head of Research and Advocacy in Girl Up UNPAD menyatakan hal yang senada. Seringkali kasus kekerasan seksual tidak mendapatkan penanganan tuntas dari kampus. Selain itu, korban justru meluapkan kisahnya lewat sosial media.

“Banyak banget kasus kekerasan seksual yang nggak selesai, gitu. Ujung-ujungnya, korbannya spill-nya di Instagram, di Twitter. Dan menjadikan si korbannya ini jadi korban lagi, gitu. Jadi kayak dia mendapatkan ancaman, dia jadi under pressure karena dimaki-maki sama netizen. Dapet victim blaming dan pelakunya masih bebas aja.”

Kendati demikian, resminya Permendikbud Nomor 30 dinilai telah menghasilkan perubahan positif pada penanganan kasus kekerasan seksual oleh lembaga advokasi kampus. Revina mengakui Permendikbud Nomor 30 telah memberikan definisi dan batasan kekerasan seksual di kampus secara jelas.

“Pertama lebih mudah menjelaskan (mengenai kekerasan seksual) dan batasannya jelas langsung disesuaikan untuk konteks kampus. Karena definisi kekerasan seksual dalam Permendikbud 30 itu tuh udah jelas banget, gitu. Disesuaikan sama lingkungan kampus lah.”

Sehubungan dengan itu, definisi kekerasan seksual dalam Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 dijelaskan dalam Bab 1 Pasal 1 Nomor 1 tentang definisi. Sementara jenis-jenis kekerasan seksual dijabarkan dalam Bab 1 Pasal 5 Nomor 1–2.

Revina menambahkan, pasal-pasal dalam Permendikbud Nomor 30 juga sudah mengakomodasi realitas ketimpangan gender dan relasi kuasa dalam kasus kekerasan seksual. Dalam Bab 1 Pasal 5 Nomor 3, dijelaskan secara detail dan spesifik bahwa suatu tindakan seksual dianggap sebagai kekerasan apabila tidak ada persetujuan dari korban.

Penjelasan tersebut jelas menunjukkan Permendikbud Nomor 30 berperspektif korban dan menjamin kasus kekerasan seksual di kampus dalam kepastian hukum.

Tidak hanya menindak kasus kekerasan seksual yang telah terjadi di kampus, Permendikbud 30 juga menjelaskan langkah pencegahan kekerasan seksual dalam Bab 2.

Pencegahan tersebut dilaksanakan melalui pembelajaran, penguatan tata kelola, dan penguatan budaya komunitas mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan. Poin pencegahan kekerasan seksual melalui pembelajaran dinilai Revina sebagai jawaban atas keresahannya terhadap Peraturan Rektor UNPAD tentang Kekerasan Seksual yang belum menyentuh ranah kurikulum.

Kemudian, bagian terpenting dalam implementasi Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 di lingkungan perguruan tinggi adalah dibentuknya Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di setiap kampus. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, menargetkan semua perguruan tinggi baik negeri maupun swasta selesai membentuk Satgas hingga Oktober 2022.

Revina, mewakili Girl Up UNPAD, mengatakan bahwa salah satu keresahan mahasiswa terhadap isu kekerasan seksual selama ini adalah kebingungan dalam mencari penanganan.

“Karena kalau misalnya, naudzubillahimindzalik nih, misalnya aku gitu dapet kekerasan seksual, gitu. Terus aku bukan anak Girl Up, bingung gak, sih? Maksudnya, harus ngadu ke mana? Pertama, harus ngadu ke mana. Sedangkan nggak ada sosialisasi juga mengenai peraturan rektor mengenai kekerasan seksual. Bahkan kalau misalnya aku bukan anak Girl Up aku nggak bakal tahu, kalau ada peraturan rektor tentang kekerasan seksual, karena nggak ada sosialisasi sama sekali,” ungkap Revina.

Selain itu, keengganan korban dalam bekerja sama untuk menyelesaikan kasus juga menjadi hambatan dalam proses advokasi. Meskipun lembaga advokasi dan kampus telah bersedia membantu, tetapi keraguan korban untuk speak up menjadikan kasus kekerasan seksual akhirnya terbengkalai.

“Betul, itu suatu hambatan besar, sih. Karena kita tidak mendapatkan akses yang tepat dan langsung kepada korban atau pelaku yang bersangkutan dengan kejadiannya. Sering kasus-kasus yang terjadi tuh berhenti di tengah jalan, karena kalau pihak yang bersangkutan memilih menyelesaikan dengan jalan kekeluargaan, kita bisa apa? Semuanya kembali kepada keputusan korban, karena kita tidak bisa memaksa,” ungkap Isnaini, menceritakan keterbatasan lembaganya dalam membantu korban.

Kejelasan dan kepastian hukum yang diberikan Permendikbud Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) ini juga diharapkan mampu membuat korban kekerasan seksual tidak lagi takut atau ragu dalam mengungkap kasus yang dialami.

Sebab, peraturan ini cukup memberikan solusi nyata atas keresahan-keresahan tersebut dengan mewajibkan seluruh kampus membentuk Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Anggota Satgas tersebut terdiri atas unsur pendidik, tenaga kependidikan, dan mahasiswa.

Keterlibatan mahasiswa dalam Satgas ini merupakan poin yang sangat penting, sebab Permendikbud Nomor 30 dibuat untuk menjamin keamanan mahasiswa. Oleh karena itu, representasi mahasiswa dan perempuan sangat dibutuhkan dalam proses pengimplementasiannya.

Melawan Budaya Menyalahkan Korban dalam Kasus Kekerasan Seksual di Kampus

Kekerasan seksual hampir selalu berkaitan dengan ketimpangan gender dan relasi kuasa antara korban dan pelaku. Dalam lingkungan perguruan tinggi, kasus kekerasan seksual yang melibatkan relasi kuasa — misalnya antara dosen dan mahasiswa — mengakibatkan korban berada pada posisi tidak berdaya. Kondisi tersebut menjadikan korban ciut untuk melapor kepada pihak yang berwenang seperti kampus, kepolisian, ataupun Komnas Perempuan.

Belum lagi adanya stigma bernada misoginis dari masyarakat yang menganggap korban kekerasan seksual sebagai aib serta langgengnya budaya menyalahkan korban. Alhasil, korban pun memilih bungkam sebab khawatir menjadi korban ganda apabila melaporkan kasus yang dialami.

Berangkat dari realitas pelik yang dialami oleh para korban kekerasan seksual tersebut, regulasi ini hadir sebagai solusi yang tidak sekadar teoretis tapi juga praktis dan konkret. Tidak hanya memberikan kejelasan definisi kekerasan seksual dan langkah hukum menanganinya, regulasi tersebut juga membantu dalam melawan stigma masyarakat, dalam hal ini di lingkungan kampus, yang kerap menyalahkan korban.

Sebagaimana dituturkan oleh Revina dalam wawancara bersama Perihal Perempuan, “Jadi bener-bener dari Permendikbud 30 ini menjelaskan kalau kekerasan seksual tuh, hadir bukan karena korbannya yang ‘gimana-gimana’, tapi emang (karena) dua hal: ketimpangan relasi dan/atau ketimpangan gender.” Revina sangat mengapresiasi Permendikbud Nomor 30 yang mengatur kasus kekerasan seksual secara komprehensif, mulai dari definisi, pencegahan, sampai pemulihan dan perlindungan korban.

Revina juga menyampaikan kehadiran Permendikbud Nomor 30 sangat membantu dalam mengedukasi khalayak tentang keburukan budaya tersebut. Dia menjelaskan bahwa adanya kejelasan hukum tentang kekerasan seksual mempermudah dirinya dan teman-temannya dalam melakukan advokasi.

“Kita bisa menjelaskan mengenai victim blaming culture, kenapa hal ini nggak bener. Kalau dalam advokasi, karena sudah ada peraturan ini ngerasa secure, pasti lebih aman.”

Pendapat senada juga diungkapkan oleh Isnaini, setelah Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 diresmikan, dirinya serta lembaga yang dipimpinnya semakin giat mendorong semua mahasiswa untuk peduli terhadap isu kekerasan seksual dan berhenti menyalahkan korban.

“Sekecil apapun, kekerasan seksual dan pelecehan seksual itu merupakan hal yang salah dan perlu untuk diberikan sanksi pada pelakunya. Tapi di sini kembali lagi, kita juga harus aware dan juga jangan malah victim blaming kepada korban. Itu salah banget.”

Perjalanan dan Perjuangan Panjang Masih Harus Diupayakan

Sudah sejak lama kita mendengar jargon atas isu kekerasan seksual: LAWAN! Namun, sesungguhnya perlawanan tanpa disertai perlindungan bagaikan terjun ke medan perang tanpa membawa perisai.

Selama ini, semua pihak yang memperjuangkan isu kekerasan seksual di kampus telah mengupayakan yang terbaik bagi korban. Akan tetapi, ketiadaan kepastian hukum atas kasus kekerasan seksual di kampus menjadikan perjuangan tersebut gagal mencapai hasil terbaiknya. Ketakutan-ketakutan yang dihadapi oleh korban tidak mampu terakomodasikan sebab tidak ada perlindungan yang benar-benar kuat.

Sekarang, mari kita sedikit menghela nafas lega. Karena kehadiran Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 telah menjadi perisai hukum untuk melawan kasus kekerasan seksual di kampus. Meskipun perjalanan untuk menjadi perisai yang sempurna masih panjang, namun Permendikbud 30 telah menjadikan perlawanan kita atas kekerasan seksual di kampus lebih maju beberapa langkah.

Masih menjadi tugas kita semua dalam mengawal dan mengupayakan implementasi Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 untuk menjadi pelindung yang sebenar-benarnya melindungi.

Jangan sampai amanat dari peraturan ini hanya berakhir sebagai hukum tertulis tanpa terimplementasikan dengan benar di lapangan. Akhir kata, jangan patah harapan dan putus perjuangan untuk senantiasa melawan kekerasan seksual, di manapun tempatnya dan siapapun korbannya.

Penulis: Nissa Amelia Salicha

Editor: Joice Tentry Wijaya

--

--

Perihal Perempuan
Perihal Perempuan

Wadah diskusi dan publikasi alternatif untuk perempuan.