Relasi Kuasa dan Rumah Tangga: Dilema Ibu Tunggal dan KDRT di Indonesia

Perihal Perempuan
Perihal Perempuan
Published in
4 min readMar 26, 2022
Ilustrasi Ibu Tunggal. (Photo by Dragon Pan on Unsplash)

Ibu tunggal atau single mom adalah sebutan yang diberikan bagi ibu yang telah menjanda, dan menjadi penanggung jawab tunggal untuk memelihara anaknya setelah kematian atau perceraian dengan pasangannya (Hurlock, 1999).

Ibu tunggal di Indonesia sendiri dapat ditemukan dalam berbagai macam setting baik di kota besar maupun desa. Alasan untuk menjadi ibu tunggal pun beragam bagi para wanita tersebut, ada yang memilih untuk tetap sendiri setelah kepergian suami atau menikah lagi sesuai dengan kebutuhan keluarga masing-masing.

Narasumber kami, HT, seorang ibu tunggal menyatakan bahwa tidak jarang stigma buruk datang kepada ibu tunggal baik yang memilih untuk menikah lagi ataupun tidak, beliau menyebutkan bahwa pilihan tersebut datang dari diri masing-masing dan sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

“Memang masih ada pandangan negatif yang saya terima dari lingkungan sekitar. Saya sendiri memiliki pandangan ingin mempertahankan status janda hingga meninggal. Karena saya tidak bisa melupakan beban ketika pertama kali harus berpisah karena maut dengan suami.”

Apapun penyebabnya, menjadi ibu tunggal merupakan tantangan tersendiri bagi perempuan. Segala hal dalam kehidupan berubah, mulai dari soal merawat anak, mengurus masalah finansial, dan menghadapi stigma masyarakat. Namun, yang tak kalah penting adalah bagaimana seorang perempuan yang menjadi ibu tunggal menerima dirinya sendiri.

Menurut Maureen Hitipeuw, pendiri Komunitas Single Moms Indonesia yang sudah berdiri sejak 8 September 2014, penyebab seorang perempuan bisa menjadi ibu tunggal bukan hanya yang menjanda karena pilihan atau kematian, melainkan perceraian karena kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Hal ini dapat dilihat dari laporan Komnas Perempuan pada tahun 2021. Kasus KDRT yang berfokus pada kekerasan terhadap istri (KTI) berada pada angka 3.221 dari keseluruhan kasus KDRT dan ranah personal dengan total 6.480 kasus yang dapat dicatat dan masuk ke dalam ranah hukum.

Angka ini tentu saja bisa lebih tinggi pada pengaplikasiannya, karena pencatatan serta advokasi terkait kekerasan dalam rumah tangga masih sangatlah minimal dan dapat dilakukan oleh beberapa lembaga saja. Dari keseluruhan kasus tersebut, 70% kasus yang tercatat dan ditangani adalah kasus kekerasan terhadap istri.

KDRT pada umumnya memang sulit sekali untuk diatasi karena stigma masyarakat yang masih melekat terkait “mencampuri urusan orang lain” pada kasus-kasus KDRT yang ada disekitarnya.

Sejak dibuatnya UU №23 tahun 2004 memang pelaporan terkait kasus KDRT sudah meningkat dan memiliki bukti konkret. Namun, jarang sekali kasus tersebut menjadi kasus pidana atau secara lumrahnya pelapor dan terlapor akan dihimbau untuk berdamai dan menyelesaikan masalah tersebut dalam lingkup “kekeluargaan”.

Hingga tahun 2021, kasus KDRT di Indonesia semakin marak terjadi terutama sejak pandemi seperti yang ditemukan oleh Komnas Perempuan dan LBH APIK.

KDRT tidak pernah berakhir baik bagi pemegang kuasa terendah dalam sebuah keluarga di lingkungan yang patriarkis, yaitu ibu atau istri dan anak-anaknya. Relasi kuasa memegang peranan penting dari langgengnya KDRT dalam keluarga di tatanan sosial masyarakat di Indonesia. Karena relasi kuasa dalam keluargalah yang membuat para korban enggan atau bahkan takut untuk melaporkan kejadian serta masalah yang mereka alami sehari-hari. Sehingga walau menjadi salah satu kasus KTP yang paling banyak dilaporkan, jumlahnya dalam data masih berbanding jauh pada kenyataannya di lapangan.

Relasi kuasa adalah faktor sosial budaya yang terjadi karena ketidakadilan dalam bermasyarakat yang didasarkan oleh gender seseorang, antara laki-laki dan perempuan.

Menurut penelitian oleh Farid (2019) ditemukan bahwa faktor prediktor utama terjadinya kekerasan dalam rumah tangga adalah ketimpangan relasi kuasa dan ketidakadilan gender yang dimiliki oleh kedua pemimpin keluarga tersebut, yaitu ayah dan ibu.

Ilustrasi Ibu Tunggal Membesarkan Anak Sendirian. (Photo by kevin liang on Unsplash)

Ketidakadilan gender ini bisa terjadi dalam banyak hal di keluarga konvensional. Di keluarga ‘tradisional’, ayah akan memiliki andil lebih dalam membuat keputusan dibandingkan dengan ibu. Pada masyarakat yang masih berpegang teguh pada budaya patriarki terdapat pelemahan terhadap derajat perempuan dibanding derajat laki-laki.

Hal tersebut akan melanggengkan relasi kuasa dan memberikan tempat untuk kekerasan dalam ranah privat yang juga dilanggengkan oleh masyarakat sekitar. Karena itu, tidak heran jika masyarakat memiliki stigma buruk terhadap ibu tunggal yang memilih untuk tetap menjadi ibu tunggal saja dan tidak menikah lagi, baik dalam kasus KDRT ataupun ibu tunggal karena perceraian.

Penyelesaian kasus KDRT dan penghapusan stigma terhadap ibu tunggal tidak dapat dilakukan dalam satu malam. Masih banyak yang harus dilakukan oleh pemerintah, badan advokasi, kepolisian dan juga tenaga kesehatan terkait pemberian support dan resource yang mumpuni untuk penyintas KDRT dan ibu tunggal. Pendampingan serta peran aktif harus selalu diberikan untuk penyintas tersebut.

Grup Facebook Single Moms Indonesia adalah salah satu contoh komunitas yang mengkampanyekan pemberdayaan perempuan sebagai orang tua tunggal dan menghilangkan stigma negatif masyarakat terhadap ibu tunggal.

Organisasi lain yang juga aktif memberikan bantuan terhadap ibu tunggal dan penyintas KDRT berasal dari pemerintah, yaitu Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Mereka secara aktif memberikan pelayanan seperti pelayanan informasi, konsultasi psikologis dan hukum, pendampingan dan advokasi, serta pelayanan medis.

Selain aspek yang sudah disebutkan diatas, bantuan reintegrasi ke kehidupan sosial juga tentunya harus diberikan kepada para penyintas untuk membantu mereka kembali menjadi anggota masyarakat yang produktif. Hal ini akan semakin mudah dilakukan jika kita secara aktif melawan stigma dari single moms yang selama ini menjadi penghalang bagi para penyintas untuk meminta pertolongan.

Referensi

  1. CATAHU Komnas Perempuan 2020.
  2. Tsarina Maharani. “Sepanjang 2004–2021, Komnas Perempuan Catat 544.452 Kekerasan dalam Rumah Tangga.” Kompas. 2021.
  3. Sidiq Aulia Lilik. “Penanganan Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) oleh Badan Keluarga Berencana Pemberdayaan Masyarakat dan Pemberdayaan Perempuan (BKBPMPP) Kabupaten Sleman. 2019.
  4. CNN Indonesia. “DPR Klaim RUU TPKS Mudahkan Aparat Usut Kekerasan Seksual.” 2021.
  5. Muhammad Rifa’at Adiakarti Farid. “Kekerasan terhadap Perempuan dalam Ketimpangan Relasi Kuasa: Studi Kasus di Rifka Annisa Women’s Crisis Center.” Sawwa: Jurnal Studi Gender. 2019.

Penulis: Yasmine Syifa Budi

--

--

Perihal Perempuan
Perihal Perempuan

Wadah diskusi dan publikasi alternatif untuk perempuan.