RUU PKS — Diskon Besar-Besaran para Wakil Rakyat

Perihal Perempuan
Perihal Perempuan
Published in
3 min readDec 27, 2021
Photo by Anete Lusina from Pexels

Sejak pertama kali dibuat pada 26 Januari 2016, RUU PKS membawa banyak opini pro dan kontra di khalayak ramai.

RUU ini dibuat dengan dasar perlindungan terhadap hak asasi perempuan dan upaya negara untuk memberikan dan menghadirkan perspektif korban di meja hijau. Regulasi terkait penghapusan kekerasan seksual ini pertama kali dicetuskan oleh Komnas Perempuan setelah mendapatkan data bahwa perempuan di Indonesia setidaknya mengalami satu jenis kekerasan seksual seumur hidupnya.

Pada survei yang dilakukan oleh KRPA pada tahun 2018, dari 62.224 responden yang terdiri dari perempuan dan laki-laki, setidaknya 60% wanita dan 10% laki-laki pernah mengalami pelecehan seksual.

Pelecehan dan kekerasan seksual yang dialami pun beragam, secara keseluruhan menurut KOMNAS Perempuan ada 15 jenis kekerasan seksual yang paling sering terjadi di Indonesia, mulai dari ancaman, intimidasi percobaan dan tindakan pemerkosaan, pelecehan seksual, pemaksaan perkawinan, kehamilan aborsi hingga eksploitasi seksual (sexual trafficking).

Sebelum adanya draft RUU PKS, hanya dua dari seluruh 15 jenis kekerasan seksual yang diatur dalam undang-undang. Pengawalan hukum untuk para korban pun sangatlah minimal di meja hijau tanpa adanya perlindungan oleh undang-undang.

RUU PKS dengan tegas menjelaskan upaya pencegahan, pemenuhan hak korban, pemulihan korban hingga mengatur tentang penanganan kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia. Namun, pembahasan RUU PKS baik di masyarakat ataupun dewan perwakilan sering sekali diputar balikkan oleh banyak instrumen masyarakat mulai dari organisasi ataupun para wakil rakyat.

Tidak sedikit yang beranggapan bahwa RUU PKS akan melanggengkan praktik seks bebas dan aborsi yang menurut beberapa kelompok akan merusak jati diri bangsa.

Dok: Wikimedia Commons

Perjuangan perempuan dan kaum rentan Indonesia menuntut keadilan dalam konteks kekerasan seksual harus kembali dihambat dan dihalangi oleh negara.

Pada tanggal 7 September 2021, anggota DPR akhirnya kembali mengkaji kembali RUU PKS setelah desakan para warga, organisasi, dan KOMNAS Perempuan.

Pengkajian ini kembali menghapus lima dari sembilan substansi RUU PKS dan mengganti namanya menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dengan alasan penggunaan bahasa yang kurang patut dan terlihat agresif. Tidak hanya itu, ada 85 pasal yang hilang dalam rancangan baru ini dan tidak dibarengi dengan alasan yang jelas.

Dari 9 substansi yang berisikan tentang pelecehan seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, eksploitasi seksual, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual, yang tersisa setelah pengkajian ulang di bulan September 2021 hanyalah pelecehan seksual, pemaksaan alat kontrasepsi, pemaksaan hubungan seksual, dan eksploitasi seksual.

Beberapa bab krusial seperti bab II, III dan IV yang menyoroti fenomena kejadian tindakan kekerasan seksual dalam sektor pendidikan, ruang publik dan lembaga pemerintahan serta upaya aktif untuk menghapuskan kejadian tersebut, secara sepihak dihilangkan dalam versi baru RUU PKS saat ini.

Begitu juga dengan pasal-pasal krusial lainnya seperti; Pasal 11 tentang kategorisasi kekerasan seksual, Pasal 15 tentang pemaksaan aborsi, Pasal 17 tentang pemaksaan perkawinan, Pasal 18 tentang pemaksaan pelacuran, Pasal 19 tentang perbudakan seksual, dan Pasal 20 tentang penyiksaan seksual.

Unsur preventif pada bab IX yang menjelaskan tentang kewajiban pemerintah untuk memberikan pendidikan dan pelatihan terkait kekerasan seksual juga dihapus dalam draf RUU PKS yang terbaru.

Kini RUU PKS, yang diganti menjadi RUU TPKS, gagal masuk rapat paripurna wakil rakyat akibat kendala teknis. Perbedaan-perbedaan di dalamnya pun tetap menuai kontroversi di masyarakat karena pembahasan yang semakin tidak jelas dan tidak mengandung unsur yang pertama kali dicetuskan oleh KOMNAS Perempuan.

Hal ini sangatlah disayangkan karena draf RUU TPKS hasil revisi DPR tidak memberikan perubahan yang berarti pada iklim kejahatan seksual di Indonesia. Pada kondisi di mana perspektif korban tidak pernah diatur dengan jelas dalam kitab KUHP dan sempitnya lingkup ruang yang diberikan oleh RUU PKS versi baru ini, tentunya perjuangan perempuan dan kaum rentan Indonesia menuntut keadilan dalam konteks kekerasan seksual harus kembali dihambat dan dihalangi oleh negara.

Penulis: Yasmine Syifa Budi

--

--

Perihal Perempuan
Perihal Perempuan

Wadah diskusi dan publikasi alternatif untuk perempuan.