Second Account, Sebuah Pelarian dari Kecemasan dan Ekspektasi
Penggunaan media sosial di masa kini sudah tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Saking lekatnya, fungsi media sosial yang semula diciptakan untuk mempermudah proses komunikasi kini telah bertransformasi menjadi medium representasi diri penggunanya.
Media sosial seolah menjadi panggung tempat kita menunjukkan siapa diri kita. Atau lebih tepatnya, tempat kita menunjukkan bagaimana diri kita ingin dilihat oleh orang lain.
Ingin dilihat sebagai orang yang fashionable? Unggah foto diri sendiri dengan outfit kekinian. Ingin dilihat sebagai pecinta alam? Upload foto gunung, pohon-pohon hijau, atau suasana kemping di perbukitan.
Namun, sebagaimana aktor tidak selamanya berdiri di atas panggung, pengguna media sosial juga tidak selamanya menjalani kehidupan seperti yang ditampilkan kepada followers-nya. Inilah mengapa fenomena second account hingga akun alter menjadi sangat booming belakangan ini.
Second account dan akun alter adalah akun media sosial selain akun utama (first account) dari seorang pengguna. Jika dalam akun utama pengguna media sosial memelihara tampilan akunnya sesempurna dan semenarik mungkin, maka dalam second account pengguna bebas mengekspresikan diri dan mengunggah apa saja.
Kebebasan tersebut dilandasi oleh keprivasian dan anonimitas, sebab umumnya second account adalah akun private dan nama penggunanya tidak sesuai nama asli.
Tulisan kali ini akan mengulik alasan mengapa pengguna media sosial — khususnya perempuan — membutuhkan second account. Mengapa subjek pembahasan dikhususkan perempuan? Sebab berdasarkan penelitian, rata-rata pengguna media sosial berjenis kelamin perempuan menggunakan media sosial sebagai platform untuk terhubung dengan orang lain, sementara laki-laki menggunakan media sosial untuk mencari informasi (Atanasova, 2016).
Maka dari itu, tidak mengherankan jika perempuan cenderung lebih mudah cemas dan khawatir atas penilaian orang lain di media sosial ketimbang laki-laki, karena pola penggunaan media sosial perempuan erat dengan interkoneksi terhadap orang lain.
Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap anak muda di UK mengungkapkan bahwa perempuan muda merasa penggunaan sosial media membuat mereka seolah ditonton dan diawasi, selain itu mereka juga mengalami ketakutan ketika ingin mem-posting suatu foto (Rosalind Gill, 2021).
Seorang narasumber perempuan dalam survei penelitian tersebut mengatakan, “Kami terus-menerus diberitahu kalau kami kurang kurus, kurang cantik, terlalu banyak bekas jerawat, payudara dan bokong kami kurang (menarik), paha terlalu besar, dan banyak lainnya.”
Hal tersebut menjadi bukti, penampilan yang perempuan tampilkan ke publik seringkali mendapat penghakiman. Tidak mengherankan jika mereka berusaha keras menyajikan versi sempurna diri mereka ke hadapan publik di sosial media.
Second Account Sebagai Safe Space Perempuan di Media Sosial.
Berangkat dari kecemasan dan kekhawatiran terhadap penilaian orang lain di media sosial, perempuan kemudian menggunakan second account sebagai ruang aman untuk mengekspresikan diri.
Sebagaimana diungkapkan oleh Dela (bukan nama sebenarnya) yang memiliki dua akun Instagram, “Bagi aku, sih, second account itu sesuatu yang aku butuhin. Karena di second account kan, lebih private, dan kita milih siapa aja orang yang mau kita ikutin dan siapa aja orang yang bisa lihat akun kita. Jadi kita nggak takut orang-orang di second account itu bakal nge-judge kita.”
Pendapat serupa juga diutarakan oleh Lestari (bukan nama sebenarnya) bahwa memiliki dua akun Instagram itu penting, “Kalau punya second account itu ngerasanya kayak yang apa aja yang nggak bisa kita ceritain ke orang banyak, kita bisa cerita di situ. Foto apa aja yang mau kita upload tapi nggak bisa kita upload (di first account), ya kita upload di situ juga. Lebih leluasa aja, sih.”
Fitriani sebagai pengguna media sosial Twitter juga menyampaikan pentingnya memiliki dua akun Twitter. Dalam wawancara, Fitriani mengaku menggunakan akun utama Twitter-nya untuk fangirling sedangkan second account untuk menuangkan pikiran dan menumpahkan emosi sebagai stress relief. “Second account itu aku pakai untuk entah misuh, sambat, atau cerita. Karena audience-nya juga sedikit, dan mereka orang-orang yang aku kenal dekat, aku kenal secara baik di media sosial.”
Beberapa narasumber mengungkapkan bahwa rasa aman dan bebas yang dirasakan saat menggunakan second account tidak bisa ditemukan pada saat menggunakan akun utama atau first account.
“Aku kalau mau posting di main account itu pasti mikir berulang-ulang sampe kayak ‘ini caption-nya bener nggak, sih? Mengganggu nggak, sih? Cringe nggak, sih?’ gitu,” ungkap Dela.
Dia juga menceritakan pengalamannya mengunggah swafoto di Instagram lalu sehari setelahnya langsung diarsipkan karena merasa fotonya tidak bagus untuk dilihat orang lain.
Lestari juga menceritakan hal yang sama. “Kalau posting apapun di first account tuh pasti bakal mikir, duh dibilang jamet nggak ya nantinya, fotonya aneh nggak ya, caption-nya kenapa-kenapa nggak ya, aduh muka akunya jelek, lah. Pokoknya berkali-kali dilihat sampai akhirnya kalaupun udah di-posting, baru beberapa jam langsung dihapus lagi. Karena takut orang yang lihat (akan berpikir) ‘dih, apaan, sih?’”
Tidak hanya pengguna Instagram saja yang khawatir penampilannya di-judge oleh followers. Sebagai pengguna Twitter, Fitriani juga mengaku pernah merasa cemas dan takut untuk mencuitkan pendapatnya. “Aku sempat merasa kalau mau berpendapat itu harus mikir-mikir ulang karena aku takut banget (pendapatku) kena judge orang.”
Second Account untuk Melepaskan Diri dari Ekspektasi.
Dela yang bekerja sebagai guru sempoa menyatakan bahwa dengan memiliki second account Instagram dirinya tidak perlu memikirkan ekspektasi orang lain terhadap dirinya yang berlabel ‘seorang guru’.
“Orang berekspektasinya guru itu harus bijaksana, dewasa, dan sebagainya. Jadi aku juga bercermin gitu, masa iya aku guru tapi posting meme di first account. Kan, kayaknya kurang bijak aja, gitu. Makanya dengan punya second account itu aku merasa lebih santai, bisa jadi diri sendiri.”
Ekspektasi datang dari label yang melekat pada diri kita. Seperti halnya Dela yang berlabel seorang guru diekspektasikan untuk bersikap bijaksana, label ‘perempuan’ yang melekat pada diri seseorang juga memunculkan ekspektasi dari khalayak.
Perempuan diekspektasikan untuk memenuhi standar-standar yang ditetapkan oleh konstruksi sosial, entah itu standar dalam berperilaku atau standar kecantikan. Ekspektasi itu juga berlaku dalam media sosial.
Sebagai pengandaian, coba bayangkan seorang perempuan mengunggah foto dirinya sedang berpose dengan rokok terjepit di antara jari tangannya. Sudah bisa ditebak bukan, penilaian yang akan diberikan khalayak umum?
Lalu, ada pula standar kecantikan. Standar yang selalu ada untuk perempuan, dan standar ini semakin tinggi sekaligus membebankan seiring dengan kemunculan para influencer serta pengaruh mereka di media sosial.
Hasil polling yang dilakukan oleh lembaga Girlguiding di Inggris menunjukkan, 35% perempuan usia 11–21 menyatakan kekhawatiran terbesar mereka di media sosial adalah membandingkan diri dengan orang lain.
Bayangkan bagaimana kita hampir setiap hari membuka media sosial dan melihat bagaimana orang lain tampak begitu cantik dan sempurna. Kemudian tanpa sadar kita membanding-bandingkan diri kita dengan mereka, dan bertanya-tanya apakah penampilan dan kehidupan kita cukup menarik untuk diunggah di media sosial? Sungguh siklus yang melelahkan mental.
Tidak hanya sebatas penampilan saja, nyatanya sifat dan perilaku perempuan pun dibebankan ekspektasi. Masyarakat mengekspektasikan perempuan untuk berkelakuan lembut, penurut, dan tidak neko-neko. Hal ini mengakibatkan perempuan berpikir dua kali untuk berpendapat di ruang publik, terlebih jika pendapatnya bertentangan dengan konformitas.
Dalam second account, ekspektasi-ekspektasi yang membatasi perempuan dalam mengekspresikan diri tersebut tidak lagi ada. Karena second accout adalah ruang aman yang dibuat sendiri, dengan kontrol penuh atas siapa saja yang bisa mengakses dan melihatnya.
Fenomena perempuan yang menganggap memiliki second account adalah sesuatu yang penting secara halus mengindikasikan bahwa perempuan tidak sepenuhnya merasa bebas dalam mengekspresikan diri di media sosial.
Mengunggah foto ataupun pendapat di media sosial adalah hak dan kebebasan semua orang tanpa terkecuali. Akan tetapi, kebebasan tersebut tanpa disadari telah terkungkung oleh paranoia atas penilaian orang lain dan kekhawatiran akan ketidakmampuan memenuhi ekspektasi.
Penggunaan second account memang tidak pernah salah, selama sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Akan tetapi, fenomena maraknya penggunaan second account untuk dapat bebas menjadi diri sendiri ini menjadi sesuatu yang ironis. Mengingat salah satu tujuan awal diciptakannya sosial media adalah sebagai sarana untuk mengekspresikan diri dan menunjukkan siapa diri kita sebenarnya kepada publik.
Dengan demikian, publik dapat mengenali kita sebagai suatu entitas yang utuh meskipun terpisahkan jarak dan waktu. Sayangnya, ekspektasi sosial dan penghakiman publik menjadikan perempuan kesulitan untuk mengekspresikan diri di akun utama secara bebas.
Menghilangkan ekspektasi sosial yang menekan perempuan tentu bukanlah hal mudah. Namun marilah kita mulai dari hal kecil yang bisa dilakukan oleh diri sendiri, yaitu dengan membangun kepercayaan diri dan self-worth. Meyakini bahwa apa yang kita lihat di media sosial tidak sepenuhnya merefleksikan kehidupan nyata, dan kita tidak harus selalu tampil sempurna di media sosial.
Kehidupan sosial media juga bukanlah kompetisi, sehingga kita tidak perlu berusaha terlalu keras demi satu post sempurna di Instagram. Orang yang sungguh menyukai dan mengapresiasi akan tetap menghargai, kok, walau fotomu tidak sesempurna sampul majalah Vogue.
Selain itu, sebagaimana kita tidak menginginkan penilaian negatif orang lain di media sosial, kita juga perlu mengontrol diri untuk tidak men-judge postingan orang lain. Karena perubahan baik untuk khalayak selalu dimulai dari diri sendiri.
Sumber:
Aleksandra Atasanova. 2016. Gender-Specific Behaviors on Social Media and What They Mean for Online Communications. (https://www.socialmediatoday.com/social-networks/gender-specific-behaviors-social-media-and-what-they-mean-online-communications)
Sarah Marsh. 2017. Girls and social media: ‘You are expected to live up to an impossible standard’. (https://www.theguardian.com/society/2017/aug/23/girls-and-social-media-you-are-expected-to-live-up-to-an-impossible-standard)
Rosalind Gill. 2021. Being Watched and Feeling Judged on Social Media.
(https://www.tandfonline.com/doi/epub/10.1080/14680777.2021.1996427?needAccess=true)
Penulis: Nissa Amelia