Tekanan Berlipat Menghadapi Lawan Tak Terlihat

Perihal Perempuan
Perihal Perempuan
Published in
4 min readAug 11, 2021
Photo by Cedric Fauntleroy from Pexels

Pandemi menguji daya tahan perempuan, terutama mereka yang bekerja sebagai tenaga kesehatan, untuk menjalankan berbagai peran secara penuh. Tak hanya persoalan keluarga, namun juga tanggung jawab sebagai garda terdepan bagi masyarakat dalam penanganan wabah Covid-19 yang menguras waktu, tenaga, dan emosi.

Khawatir, begitulah Widya (28), menggambarkan kesehariannya selama lebih dari setahun ini. “Saya selalu memprioritaskan kebutuhan anak dulu. Jadi, tidak ada yang berubah setelah dan sebelum pandemi, hanya saya lebih protektif mengingatkan anggota keluarga untuk menerapkan protokol, apalagi anak saya masih kecil dan masih dalam masa exploring” jelasnya.

Adanya sang buah hati yang menunggu di rumah membuat Widya selalu mengusahakan sehabis melayani masyarakat, baik yang sakit dengan atau tanpa gejala untuk selalu bersih dari paparan kuman dan penyakit saat pulang. Jika biasanya sepulang kerja bisa bersantai dan berkomunikasi secara dekat dengan keluarga, kini harus membersihkan diri dulu sebelum mengobrol seperti biasa. Itu pun dengan tetap menjaga jarak.

Bahkan, yang dilakukannya sehabis membersihkan diri, bukanlah istirahat, namun memasak makanan yang bernutrisi tinggi agar keluarganya memiliki daya tahan tubuh optimal di tengah pandemi.

Sementara itu, ikhtiar yang berbeda dilakukan oleh Cholid (26) yang bekerja di RS Wava Husada Kepanjen, Malang. Ia memilih opsi berpisah rumah dari sang Ibu beserta adiknya untuk menurunkan risiko menularkan ke keluarga.

“Saya sudah baca-baca di berita luar negeri, tentang persentase kematian yang hanya 3% dari total kasus, dan mayoritas yang meninggal adalah lansia, saya lebih mempertimbangkan kesehatan orang tua saya daripada diri saya sendiri” katanya.

“Jadi ketika pulang sampai rumah tuh saya selalu takut. Ya Allah, apakah aku membawa virus ini atau engga.”

Mengingat yang di rumah, memperjuangkan yang di lapangan

Widya dan suami memiliki kesepakatan dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga secara bersama-sama, begitupun saat menjaga anak. Namun, tidak bisa dipungkiri olehnya bahwa selama bertugas, Widya terus memikirkan anaknya yang masih balita. Ia selalu memotivasi dirinya untuk sehat demi anak di rumah.

Apalagi beberapa waktu lalu, sang anak harus dirawat di rumah sakit. Mau tak mau Widya meminta bantuan kepada orang tuanya untuk menjaga dan mengurus anak, saat Widya dan sang suami memiliki jam kerja yang berdekatan.

Perasaan cemas juga menghinggapi Isna (25), seorang tenaga kesehatan yang masih tinggal bersama keluarganya. “Kita berjuang untuk raga yang lain tapi kita di rumah kan juga ada orang yang menunggu kita. Kalo di rumah kebetulan saya tinggal dengan kedua orang tua saya dan juga ada dua ponakan di rumah. Jadi ketika pulang sampai rumah tuh saya selalu takut. Ya Allah, apakah aku membawa virus ini atau engga,” ungkapnya.

Memikul dua beban sekaligus

Sudah jatuh tertimpa tangga. Selain mendapat kekhawatiran akan keselamatan keluarga, Hal utama yang tak terhindarkan adalah tekanan psikis lantaran tak bisa merawat semua pasien dan orang yang membutuhkan. Sebab, selama hampir dua tahun terakhir lonjakan kasus kian hari meningkat dan berbuntut pada minimnya tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan yang tersedia. Rasa bersalah yang mendalam ini, salah satunya dialami oleh Cholid

“Untuk saat ini, yang merasa stress paling besar menurut saya adalah tenaga kesehatan di bagian IGD, karena ketika kamar penuh, dengan berat hati harus menolak pasien masuk. Meskipun di Rawat Inap juga merasa stress muncul ketika banyak teman yang harus isoman, atau dirawat karena COVID, dan kondisi ketika sarana prasarana tidak ada. Misal oksigen habis. Sampai ada beberapa RS yang baru-baru ini harus meminta informed consent tentang kehabisan oksigen selama perawatan,”

Merespons ini, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPP PPNI), Harif Fadhilah, menyebutkan bahwa dengan fasilitas kesehatan yang minim, disertai lonjakan kasus yang terus meningkat, pasti akan menambah tingkat burnout para perawat dan tenaga kesehatan lainnya. Terlebih, para tenaga kesehatan perempuan yang masih harus mengurus suami, anak, dan keluarga lain sepulang ke rumah.

“Tenaga kesehatan telah berempati pada pasien-pasien yang mengantre di rumah sakit di mana-mana bahkan sampai dirawat, atau menunggu di tenda-tenda. Itu sangat menambah tekanan psikologis. Ingin sekali menolong, tapi apa daya, tidak punya kekuatan,” ujarnya.

Menjaga mental

Dengan banyaknya keterbatasan, maka para tenaga kesehatan harus pandai-pandai menjaga mental dan mencari support system.

Seperti yang dilakukan oleh Cholid untuk tetap menjaga warasnya dengan musuh yang tak terlihatnya, dua kegiatan favorit yang ia lakukan untuk meringankan stressnya adalah mendengarkan lantunan ayat kitab suci dan memusatkan perhatian pada pemberitaan positif saja, misal aksi soal masyarakat yang saling bantu untuk mencukupi kebutuhan oksigen

“Saya merasa semua orang sedang berjuang bersama. Support system yang saat ini ada, pastinya keluarga, dan teman kerja,” ujarnya.

Kebijakan Ramah Nakes

Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Emi Nurjasmi, membenarkan lewat artikel “Berlapis Tekanan Para Tenaga Kesehatan” milik Magdalene, bahwa minimnya sumber daya serta fasilitas kesehatan berdampak buruk pada kinerja nakes. Ia menyampaikan, per Juli 2021, 207 bidan meninggal akibat COVID-19.

Melihat beratnya beban yang harus ditanggung baik dari segi psikis maupun fisik, dibutuhkan beberapa kebijakan tambahan untuk memperbaiki nasib para tenaga kesehatan di Indonesia dalam menangani kondisi pandemi ini.

(1) Pertama adalah manajemen dan pengaturan kerja yang spesifik, sehingga tidak membuat tenaga kesehatan kelelahan. Hal itu juga harus disertai dengan dukungan terhadap imunitas yang kuat agar tidak mudah terpapar virus.

(2) Ada pembangunan rumah sakit khusus COVID-19 dan ada rumah sakit non-COVID-19, karena di sisi lain, ada pasien lain yang butuh perawatan dengan alasan berbeda

(3) Memperhatikan betul insentif para tenaga kesehatan

Hingga akhirnya…

Bicara tentang kelelahan, mungkin sudah banyak gambar dan cerita dari tenaga medis yang merawat pasien COVID-19 yang beredar di mana-mana.

Belum selang satu jam, sudah ada pasien lain yang menunggu untuk diberi pertolongan. Para rekan sejawat berselonjor di selasar rumah sakit dengan masih mengenakan APD. Mereka hanya mampu berdoa dan saling menguatkan satu sama lain agar tetap solid dan dapat mengesampingkan rasa khawatir tadi.

Melihat besarnya pengorbanan tenaga kesehatan utamanya perempuan dalam menghadapi pandemi yang telah berjalan, sudah semestinya setiap langkah dan kebijakan strategis yang diambil perlu mendengarkan pendapat tidak hanya menimbang dari sisi keselamatan dan kesehatan, tetapi juga kesejahteraan dan meringankan beban ganda yang dialami.

Kearifan mendengarkan ini merupakan bentuk penghormatan Perihal Perempuan atas pengorbanan dan gugurnya para pahlawan kesehatan ini.

Penulis: Tim Editorial Perihal Perempuan

--

--

Perihal Perempuan
Perihal Perempuan

Wadah diskusi dan publikasi alternatif untuk perempuan.