Terhambatnya Keadilan bagi Korban, Akibat Mandeknya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Perihal Perempuan
Perihal Perempuan
Published in
5 min readDec 27, 2021
Photo by Anete Lusina from Pexels

Dewasa ini, diskursus publik mengenai pelecehan seksual masih sangat diperlukan. Upaya tersebut bukan hanya ditujukan supaya masyarakat kita semakin percaya diri ketika harus melawan kejahatan ini. Melainkan juga menumbuhkan kesadaran bahwa pelecehan seksual bisa menimpa siapa saja, termasuk diri kita atau keluarga di rumah. Tanpa pandang bulu, sewaktu-waktu korban dapat diserang dari segala penjuru oleh pelaku dari berbagai status sosial masyarakat.

Dalam catatan Perihal Perempuan, hampir setiap minggu selalu terpantau ada warganet yang berani angkat bicara dengan membuat thread di Twitter untuk mengungkap kasus pelecehan seksual yang terjadi pada dirinya dan atau di lingkungan sekitarnya. Bahkan beberapa thread tersebut sempat menjadi topik yang sedang trend di Twitter.

Dari diskusi sederhana di media sosial itu saja bisa terungkap bahwa pelaku pelecehan seksual sangat mudah ditemukan di setiap lapisan masyarakat. Mulai dari pelaku dengan jenis pekerjaan yang sering masuk top of mind kita seperti pekerja kreatif, akademisi, mahasiswa yang terlihat aktif, hingga profesi sekelas anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan barista dari tempat nongkrong biasanya.

Ditambah menurut berita terkini, juga telah terkuak bahwa ada salah satu dari anggota Serikat Pekerja yang menjadi pelaku kekerasan seksual. Padahal selama ini ia gencar menyuarakan tentang pentingnya ruang aman bagi setiap anggota masyarakat, tanpa terkecuali.

Sehubungan dengan topik ini, beberapa pelaku pun bak superhero tanpa kenal malu menuntut balik korban atas dasar pencemaran nama baik, seperti yang dilakukan oleh RT dan EO kepada MS yang merupakan korban dari kasus kekerasan seksual yang terjadi di KPI.

Bermaksud Melawan Kekerasan Seksual, RUU-PKS Malah Sempat Dibiarkan Mengambang

Meningkatnya ragam kasus kekerasan seksual yang kerap ditemui di lapangan menjadi dasar kuat mengapa argumen mengenai urgensi pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) sepatutnya dipertimbangkan.

Sebab, poin dalam rancangan undang-undang tersebut tidak hanya mengatur ketertiban sosial masyarakat secara luas. Akan tetapi, juga memberikan jaminan perlindungan terhadap korban mulai dari proses pelayanan, pemulihan, hingga tahap memperjelas kepastian hukum untuk menjerat pelaku kekerasan seksual.

Selain itu, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) pun memiliki instruksi yang tegas agar korban diberikan pendampingan oleh profesional berperspektif korban hingga kasus tuntas alias tak hilang sampai korban mendapat keadilan dan ganti total pembiayaan untuk proses pemulihan karena cedera fisik maupun trauma psikologis yang dialami.

Dengan pendekatan secara menyeluruh, maka RUU-PKS dapat dinilai efektif meminimalisir budaya pemerkosaan seperti perilaku menyalahkan korban (victim blaming) yang sering terjadi di republik ini.

Sayangnya, hasil evaluasi para wakil rakyat Republik Indonesia tidak bersepakat dengan argumen masyarakat sipil yang sudah susah payah membuktikan hingga mengkaji, bahwa Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) memang lebih strategis memberi ruang aman bagi korban untuk menyuarakan hak dan menuntut keadilannya tanpa rasa tertekan.

Dengan dalih tambahan terbentur proses penentuan judul dan definisi yang belum rampung, pengesahan RUU PKS akhirnya sempat ditarik dari Prolegnas Prioritas 2020.

Padahal menurut Direktur Eksekutif Institute of Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus AT Napitupulu, RUU PKS sangat penting untuk segera dibahas dan ditetapkan sebagai RUU prioritas 2020. Sebab, penanganan korban kekerasan seksual tergolong kompleks sehingga butuh peran negara untuk memberikan jaminan perlindungan.

Hukum yang Sudah Ketinggalan Zaman

Pada mulanya, kekerasan seksual pernah didefinisikan secara terbatas sebagai bentuk pemerkosaan yang dibuktikan dengan adanya serangan seksual dari satu atau sekelompok orang kepada orang lain tanpa kesepakatan.

Artinya, metode pembuktian hukum dalam konteks tersebut dibebankan pada korban karena kata ‘kesepakatan’ menjadi standar penentu utama apakah pelaku penyerangan memang patut disalahkan atau diberi sanksi hukum.

Sehubungan dengan itu, Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Siti Aminah Tardi menyatakan bahwa hukum positif yang ada sekarang memang tidak progresif atau tidak pro rakyat dan berkeadilan dalam mendefinisikan kekerasan seksual beserta jenis kriminalisasinya. Sebab menurut hukum positif saat ini, kekerasan seksual hanya didefinisikan sebagai pemerkosaan, pencabulan, dan persetubuhan.

Sedangkan menurut naskah Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual Bab 1 Ayat 1 oleh KOMNAS Perempuan, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang dan atau tindakan lainnya, terhadap tubuh yang terkait dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual seseorang, dan atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang. Selanjutnya, secara detail pada Bab V Pasal 11 terdapat 9 jenis kekerasan seksual.

Hal itu meliputi peristiwa kekerasan seksual dalam lingkup relasi personal, rumah tangga, relasi kerja, publik, dan situasi khusus lainnya. Serta terdiri dari pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual dan/atau penyiksaan seksual.

Masalah Kekerasan Seksual Kian Kompleks, RUU PKS Dibutuhkan Segera

Secara teoritis, RUU PKS lebih cocok masuk dalam ranah hukum pidana khusus internal. Sebab, hukum pidana tersebut digunakan sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan terhadap tindak pidana akumulasi yang tidak dapat digantikan.

Misalnya, kasus perbudakan seksual yang berkelindan dengan penyiksaan seksual dan pemasangan alat kontrasepsi secara paksa. Dengan kata lain, kekerasan seksual itu tidak termasuk ke dalam hukum pidana administratif.

Selain itu, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada Edward OS Hiariej mengatakan, RUU PKS ini semakin mendesak karena banyak modus operandi atau cara operasi rencana kejahatan yang tidak tercakup dalam KUHP dan UU lainnya.

Ditambah, kecenderungan sanksi hukum positif yang menekankan pada penahanan bukan pencegahan dan tuntas mendampingi penanganan korban juga semakin memperumit budaya pemerkosaan serta proses keadilan di negeri ini.

Berdasarkan penelitian Komnas Perempuan, setidaknya ada sembilan bentuk kejahatan seksual yang terjelaskan dalam naskah RUU PKS telah dialami korban yang sebagian besar adalah kelompok rentan seperti perempuan dan anak. Yang mana mereka juga sering menjadi sasaran empuk untuk dirundung karena seksualitasnya.

Konstruksi hukum positif kita hari ini masih mengabaikan analisis terhadap peran gender dan identitas korban kekerasan seksual berbasis rasial, sosial, ekonomi, etnis, dan budaya yang menempatkan perempuan sebagai masyarakat kelas dua.

Dengan demikian, kasus kejahatan seksual sudah sepatutnya mendapatkan penanggulangan khusus karena hal ini bukan lagi persoalan individu, melainkan permasalahan sistem struktural.

Masalah kekerasan seksual kian kompleks, maka RUU PKS dibutuhkan segera. RUU PKS telah dengan jelas berniat mewujudkan regulasi penanggulangan masalah kekerasan seksual secara komprehensif dan berkeadilan dengan mempertimbangkan perspektif korban.

Selain itu, perlu kita ingat kembali, RUU PKS tidak hanya mengatur pemidanaan atas penyerangan pelaku kekerasan seksual saja, tetapi menjamin perlindungan, pendampingan, kompensasi, dan restitusi korban hingga tuntas.

Pada akhirnya, kehadiran RUU PKS pun akan mempermudah kerja jaksa dan polisi, terutama pada proses delik kualifikasi kasus, yang selama ini dibingungkan oleh aturan perundang-undangan yang tumpang tindih.

Di samping itu, sebenarnya proses perencanaan dan penyusunan rancangan undang-undang hanya dua dari lima tahap dari keseluruhan pembentukan UU. Namun peristiwa tarik ulur anggota dewan yang memakan waktu panjang, tanpa sadar membuat jumlah korban semakin membesar, lambat laun kasus kekerasan seksual menumpuk dan terbengkalai.

Beruntung kalau korban masih kuat bersabar memperjuangkan keadilan dan haknya sambil menunggu birokrasi yang nggak kelar-kelar. Kalau tidak, bagaimana?

Jadi, akankah kita terus berdiam diri melihat para korban berjuang sendiri? Karena menunggu negara melindungi masyarakat sipil macam kita itu rasanya seperti di ghosting orang yang sudah kita pilih untuk diajak komitmen.

Penulis: Arlina Laras

--

--

Perihal Perempuan
Perihal Perempuan

Wadah diskusi dan publikasi alternatif untuk perempuan.