Tidak Ada yang Lucu dari Bercandaan Tentang Tubuh Perempuan

Perihal Perempuan
Perihal Perempuan
Published in
2 min readAug 7, 2020

“Cuy, liat gak cuy, tuh, susunya gede banget! Sehat kali ya kalau gue jadi pacarnya?” ujar salah satu lelaki yang kemudian diikuti dengan riuh rendah tawa oleh beberapa teman di sekitarnya.

Menemukan yang lucu dari candaan tersebut? Tidak? Sama, Perihal Perempuan juga tidak menemukan letak humor di dalam komentar tersebut.

Sayangnya, komentar-komentar bernada seksis masih seringkali mencuat di berbagai lini masyarakat. Kami bisa jamin kalau komentar seperti ini mudah ditemukan di group chat dengan teman, saat nongkrong di kafe, saat belajar di kelas, bahkan di lingkungan pekerjaan.

Apa yang dianggap sebagai guyonan ini sejatinya merupakan tindakan yang melanggengkan perilaku seksis bahkan pelecehan seksual. Apalagi jika yang dijadikan topik adalah tubuh perempuan. Pernyataan-pernyataan bernada seksis seperti inilah yang sudah seharusnya dienyahkan dari pergaulan sehari-hari.

Pasalnya, komentar atas nama ‘bercanda’ namun bernada seksual dan misoginis ini memiliki kekuatan terutama jika dilakukan di ruang publik.

Pernyataan yang dilontarkan di ruang publik, termasuk media sosial dapat menjangkau banyak orang terutama bila dilakukan oleh publik figur⁠ — yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi dan menginspirasi orang lain untuk melakukan hal yang sama.

Namun, mengapa bercandaan bernada seksual dan misoginis masih sering kali terdengar? Komentar-komentar atas nama ‘bercanda’ masih terlontar di ruang publik termasuk media sosial karena masih banyak orang yang mentoleransi perilaku seperti ini.

Mari kita bahas akar dari munculnya perilaku seperti ini. Menurut teori identitas sosial, identitas gender diciptakan untuk menciptakan perbedaan di antara laki-laki dan perempuan, salah satu alat yang digunakan adalah humor code yang hanya dapat dimengerti oleh kelompoknya.

Pada umumnya bercandaan bernada seksis ini bersifat ofensif karena mengobjektifikasi individu yang bukan dari kelompoknya, dalam hal ini perempuan sebagai gender yang sering menerima objektifikasi.

Dilihat dari poin diatas, maka dapat dipahami bahwa humor seksis bukan hanya sekedar candaan.

Humor ini memiliki efek langsung bagi yang mendengarnya dan mampu mengubah perspektif tentang seksisme itu sendiri. Candaan seksisme bisa menumpulkan sensitivitas mengenai permasalahan seksual, bahkan mengecilkan bahaya pemerkosaan.

Sudah banyak studi yang menunjukan bahwa orang yang lebih sering terpapar dengan sexist humor yang digunakan sebagai ‘penyalur’ prasangka gender memiliki kemungkinan lebih besar untuk melakukan diskriminasi langsung berbasis gender.

Di luar segala asal mula teoretis dan dampaknya yang diukur secara akademik, rasanya kita sebagai manusia juga harus mulai memahami bahwa bercanda dan merendahkan seseorang adalah dua hal yang berbeda.

Mereduksi urgensi permasalahan seksual menjadi sekedar bahan memancing tawa tidak menunjukan kepemilikan humor yang dark, melainkan ketidakmampuan untuk berempati kepada sesama.

Perilaku seperti ini dapat melanggengkan kekerasan terhadap perempuan baik secara verbal maupun fisik. Mengutip dari judul artikel ditulis Rebecca Reid yang diterbitkan oleh Metro UK, “if you have to be offensive to make someone laugh, maybe you’re just not very funny?”

Maka, rasanya kita semua bisa sepakat bahwa tidak ada yang lucu dari tubuh perempuan. Tidak dulu, tidak kini, apalagi di masa depan.

--

--

Perihal Perempuan
Perihal Perempuan

Wadah diskusi dan publikasi alternatif untuk perempuan.