Intan Paramaditha: Hegemoni Harus Dikritik

Permata Adinda
Permata Adinda
Published in
8 min readApr 12, 2020

Kritik film di Indonesia masih dilakukan sporadis. Di tengah keterbatasan itu, kritik film harus melawan status quo.

Foto: Gramedia Digital Nusantara

Penulisan kritik film di Indonesia masih didominasi oleh laki-laki. Begitulah faktanya. Para kritikus film yang kredibilitasnya sudah diakui dalam perfilman negeri ini kebanyakan adalah laki-laki. Mulai dari Salim Said, J.B. Kristanto, Marselli Sumarno, Seno Gumira Ajidarma, Eric Sasono, Hikmat Darmawan, Ekky Imanjaya, hingga Adrian Jonathan Pasaribu.

Hal ini bikin gusar Intan Paramaditha dan Lily Yulianti Farid. Selain dikenal luas sebagai penulis buku Sihir Perempuan (2005) dan Gentayangan (2017), Intan juga seorang akademisi. Ia mengajar kajian film dan media di Universitas Macquarie, Sydney. Sementara Lily adalah pendiri Makassar International Writers Festival. Karena kegusaran itu, mereka lantas menggagas lokakarya sastra dan film bertajuk Period yang diadakan pada 17–18 Desember 2018 lalu di Jakarta.

Dalam lokakarya ini, Intan dan Lily ingin menekankan bahwa nyatanya masih ada kritikus perempuan yang patut diperhitungkan. Itulah sebabnya mereka mengajak Lisabona Rahman (kritikus film, juru program Kineforum, dan pengarsip film) untuk menjadi salah satu pengajar lokakarya ini. Bersama Lisa, materi Period tak sekadar berkutat pada dasar penulisan dan kritik film, tetapi juga menanamkan perspektif gender, kelas, dan relasi kuasa.

Karena itu, para peserta lokakarya diwajibkan menonton dan mengulas salah satu dari lima film yang disodorkan pengajar, yakni Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak (2017), Sekala Niskala (2017), Perempuan Punya Cerita (2007), Madame X (2010), dan Letter of Unprotected Memories (2008). Selain itu, mereka juga diberikan sejumlah referensi bacaan, salah satunya adalah Visual Pleasure and Narrative Cinema karya Laura Mulvey. Di buku tersebut, Mulvey menyatakan pandangannya tentang sinema Hollywood yang masih menempatkan perempuan sebagai objek male gaze.

Berbekal pilihan film dan referensi bacaan ini, tak mengagetkan jika Lisa mengawali sesi lokakarya dengan mengatakan bahwa kritikus film adalah pekerjaan yang sangat politis. Intan pun mengamininya. Kepada Ruang, doktor lulusan New York University ini mengelaborasi makna dari pernyataan Lisa. Intan juga mengutarakan pentingnya bagi kritikus film untuk mempunyai kepekaan dan keberpihakan terhadap permasalahan sosial. Simak kutipan wawancaranya berikut ini.

Mengapa workshop kritik film penting diadakan di Indonesia?

Indonesia memerlukan ekosistem seni dan budaya yang lebih kritis dan beragam. Karena itu, kita butuh lebih banyak kritik film yang berkualitas. Saat ini banyak sekali workshop yang fokus ke produksi, semisal workshop menulis fiksi atau workshop membuat film. Tapi workshop kritik seni dan budaya (seperti yang dilakukan Period, kritik film dan sastra) belum terlalu banyak.

Dengan mengadakan workshop kritik film, kami ingin membangun budaya menonton film secara kritis. Sebab, penonton yang kritis akan menciptakan iklim produksi dan konsumsi yang lebih sehat dan dinamis.

Ada beberapa film yang mesti ditonton oleh peserta sebelum workshop berlangsung. Sebagian besar karakter utama film-film itu adalah perempuan dan berbicara tentang perlakuan diskriminatif berbasis gender dan etnis yang dialami mereka. Apa alasan di balik pemilihan film-film tersebut?

Ini terkait dengan intervensi yang ingin dilakukan Period. Kami ingin turut serta menciptakan generasi baru kritikus yang tidak hanya memiliki pengetahuan secara teknis, tapi juga — dan ini lebih penting — punya kesadaran soal struktur kekuasaan dan bagaimana ia memengaruhi identitas gender, etnis, kelas, maupun agama.

Jadi, seorang kritikus film seharusnya enggak hanya jago melakukan shot-by-shot analysis atau bicara tentang sejarah film dunia. Ia juga harus peka terhadap permasalahan sosial di sekitarnya dengan tanggap menunjuk ideologi problematis dalam film-film yang dominan dan menghargai karya-karya yang menyuarakan isu-isu yang selama ini terpinggirkan. Itu alasannya mengapa sebagian besar film yang kami pilih dibuat oleh perempuan yang menyodorkan perspektif feminis.

Namun, kami juga melihat pentingnya melihat persoalan struktur kuasa secara intersectional — ada kelindan wacana dan identitas selain gender. Buat kami, diskriminasi kelompok minoritas adalah isu feminis juga.

Anda sempat menyinggung fenomena all male panel yang terjadi pada workshop, seminar, atau kegiatan-kegiatan sejenis. Mengapa hal ini menjadi bermasalah?

Saya sering sekali melihat forum seni dan budaya yang narasumbernya laki-laki semua. Ranah film masih sedikit lebih baik dibanding sastra, misalnya, tapi bukan berarti tidak ada masalah. Buat saya, diskusi apa pun yang tidak melibatkan perempuan sebagai narasumber, ahli maupun pengambil keputusan berisiko kehilangan perspektif penting, yaitu perspektif feminis. Karena perspektif feminis menggarisbawahi pentingnya telaah kritis atas relasi kuasa, forum-forum yang mengabaikan perspektif ini cenderung mempertahankan status quo.

Memang bila ditelusuri lebih lanjut, tidak semua perempuan mewakili perspektif feminis. Namun, setidaknya di awal kita semua punya kesadaran untuk melibatkan lebih banyak perempuan dalam forum. Apakah memang tidak ada perempuan yang ahli untuk bicara soal topik tertentu?

Saya percaya persoalannya bukan karena tidak ada ahli perempuan, tapi banyak perempuan tidak diperhitungkan. Rekan-rekan perempuan punya beragam strategi menyikapi all male panel. Ada yang terus-terusan mengkritik secara langsung atau lewat media sosial.

Yang saya dan Lily lakukan lewat Period adalah menampilkan keahlian perempuan dengan mengundang pengajar-pengajar perempuan yang terdepan di bidang masing-masing. Bisa dikatakan ini adalah pertunjukan politik identitas sebagai cara kami untuk bilang bahwa all male panel itu omong kosong: “lihat, workshop ini untuk semua orang (laki-laki, perempuan, dan lainnya) tetapi ini diinisiasi oleh perempuan dan terdiri dari ahli-ahli perempuan. Kita tidak kekurangan cendekiawan perempuan, dan Melani Budianta (pengisi lokakarya kritik sastra) dan Lisabona Rahman adalah yang terbaik di bidangnya.

Bicara soal kritik film, bagaimana perkembangannya di Indonesia menurut Anda?

Kritik film di Indonesia terbilang jarang dan dilakukan secara sporadis. Saya pernah menulis soal ranah kajian film di Indonesia dan menyebutkan bagaimana kritik film muncul di luar universitas. http://intanparamaditha.org/film-studies-in-indonesia/ Kalaupun dia diajarkan di universitas, sifatnya juga sporadis dan tidak ada departemen khusus kajian film. Karena itu, kritikus film kita kebanyakan belajar secara otodidak.

Eric Sasono dan Ekky Imanjaya, misalnya, belajar secara independen dan membangun karier mereka di luar universitas sebelum akhirnya mendapat kesempatan meneruskan pendidikan ke program S2 dan S3.

Apakah perlu ada sertifikasi untuk kritikus film, seperti halnya para dokter?

Saya pikir tidak. Kalau si kritikus ingin mengajar di universitas, tentu dia butuh (gelar) Ph.D, karena itu persyaratan akademik. Namun, untuk menulis di media, menurut saya sertifikasi hanya akan menambah persoalan birokrasi yang enggak perlu.

Kalau tidak ada sertifikasi, bagaimana seseorang bisa terlegitimasi disebut kritikus film?

Menurut saya legitimasi dibangun berdasarkan konsistensi dan kualitas ulasan yang dihasilkan si kritikus. Dan di dalam sebuah bidang, dalam hal ini film, semua orang saling terhubungkan dan mengawasi.

Mereka sama-sama tahu kredibilitas setiap orang di dalam bidang tersebut. Begitulah sifat dasar sebuah bidang dan cara quality control berfungsi di dalamnya. Kritikus film, dan kemungkinan juga pembuat film, tahu siapa yang punya kapabilitas menjanjikan dan siapa yang membuat review asal-asalan.

Kini setiap orang bisa beropini tentang film dengan mudahnya dan gaya nonformal, entah lewat media sosial atau blog. Apakah perlu diberi batasan untuk membedakan mana tulisan yang bisa disebut kritik dan mana yang bukan?

Buat saya enggak perlu. Kita tahu kok perbedaan kritik yang dilakukan secara serius, seperti di Cinema Poetica, dengan tulisan di blog yang tidak mendalam dan dibaca untuk seru-seruan saja. Kalau orang enggak tahu bedanya, maka itu bukan inti masalahnya, tetapi jadi gejala dari permasalahan yang lebih besar.

Kita punya Kafein (Asosiasi Pengkaji Film Indonesia). Apa bedanya pengkaji film dan kritikus film?

Sebetulnya kritik film itu bisa akademis (yang lebih in-depth) dan bisa juga bergaya jurnalistik. Namun, sering kali kritik film memang dipahami sebagai journalistic film criticism. Kafein adalah sebuah kelompok akademis. Namun, seperti yang saya singgung di artikel saya, karena bidang kritik film itu sendiri punya akar dari luar dunia akademik, karakter Kafein cukup longgar.

Sebenarnya apa fungsi pengkaji film dalam perfilman?

Kajian film bisa macam-macam fungsinya. Beberapa di antaranya adalah memetakan sinema tertentu dalam peta sejarah sinema yang lebih luas, mengidentifikasi eksperimentasi-eksperimentasi estetik dan eksplorasi tematik, menelaah praktik sinema sebagai bagian dari praktik sosial (dan politik) masyarakat tertentu, hingga memberikan insights ke industri film dan institusi negara untuk mengembangkan strategi maupun kebijakan.

Apakah menurut Anda terdapat perbedaan antara film reviewer dan film critic?

Kritik film adalah analisis kritis sebuah film menggunakan berbagai perspektif teoritis dan pendekatan metodologis. Kritik film ini dapat berdasarkan analisis formal (gaya dan struktur film — jadi kalau ada seseorang yang melakukan shot-by-shot analysis, maka dia sedang melakukan analisis formal) atau perspektif sejarah, sosiologi, antropologi, atau filosofi. Beberapa sarjana juga menempatkan film sebagai media dan memandangnya dari perspektif ekonomi-politik.

Ada sejumlah perbedaan antara kritik film dan review film, tetapi ada pula kesamaannya. Review film memberikan penilaian guna membantu penonton dalam memilih film-film untuk ditonton atau membantu festival dan investor untuk melihat nilai dari film-film tertentu. Review film juga cenderung lebih bersifat jurnalistik.

Sementara itu, kritik film bisa mengambil bentuk review dan didukung dengan teori yang biasa digunakan dalam kritik film secara akademik. Biasanya, kritik film tidaklah terikat pada waktu, yaitu dapat dipublikasikan beberapa tahun setelah film dirilis. Kritik film sering kali pula dipublikasikan di jurnal film (yang bersifat akademis, seperti Film Quarterly, Cinema Journal, dan Screen) maupun yang nonakademis, seperti Cineaste atau Cahiers du Cinema.

Namun, lagi-lagi ada kesamaan antara kritik dan review film. Cinema Poetica terkadang mempublikasikan kritik film dalam bentuk review: lebih pendek, terikat pada waktu, tidak terlalu in-depth. Di Indonesia, media-media yang mempublikasikan kritik film adalah Cinema Poetica, Rumah Film (sudah almarhum), Rumah Sinema, dan Jurnal Footage.

Menariknya, walaupun kritik film bisa berupa artikel akademik dan jurnalistik, kritikus film sering diasosiasikan dengan seseorang yang menulis untuk media yang mudah diakses publik dan juga punya ikatan lebih kuat dengan publik. Oleh karena itu, kebanyakan kritikus film adalah para jurnalis film yang mengulas film. Mereka mungkin juga menulis kritik film secara akademik, seperti Ekky Imanjaya, atau tidak, seperti Leila S. Chudori. Kritik film yang ditulis Roger Ebert kerap tidak akademik.

Jika kita mengartikan “kritikus film” seperti itu, maka saya pikir siapa pun dapat menjadi kritikus film selama mereka mempunyai pembaca, platform, dan pekerjaan yang terkait dengan industri dan lanskap budaya. Mereka membantu pembaca dalam memilih tontonan film, membantu mempromosikan film, berkontribusi terhadap lanskap seni dan budaya secara umum, serta berpengaruh dalam komunitas film. Hal lainnya yang harus dimiliki oleh mereka adalah konsistensi — karena mereka biasanya menulis secara regular untuk media.

Beberapa kritik film bisa diutarakan secara serius dan teoritis, seperti yang dilakukan oleh Jonathan Rosenbaum (https://www.jonathanrosenbaum.net). Selain buku, ia juga menulis review untuk Chicago Reader. Jika kita memakai definisi ini, maka saya tidak menganggap diri saya sebagai kritikus film. Namun, saya turut berpartisipasi dalam kritik film yang sifatnya akademis.

Kritik film yang dimuat di media massa kerap dipakai untuk marketing film. Misal, mencuplik satu-dua kalimat bernada positif dari tulisan kritik film untuk dimuat di materi promosi. Upaya-upaya itu sebenarnya mencederai fungsi kritik film atau tidak?

Tidak. Dengan pendidikan yang baik, kita tahu kok yang mana kritik yang mendalam dan yang mana yang sekadar promo. Lagi pula pelaku perfilman juga butuh marketing. Mouly Surya, misalnya, butuh dong mengumpulkan blurbs dari media-media internasional?

Kini, akses menonton film sudah lebih mudah dengan adanya platform, seperti HOOQ, Iflix, Netflix. Ada pula film maupun webseries yang dirilis di YouTube. Dengan begitu, apakah masih ada batasan antara film mainstream dan sidestream?

Saya lebih peduli pada bagaimana hegemoni nilai-nilai problematis dilanggengkan lewat film. Memang kebanyakan yang melanggengkan ini film-film mainstream, misalnya masalah poligami dalam Ayat-ayat Cinta 2. Namun, bukan berarti film sidestream enggak pernah mencerminkan nilai patriarkis.

Dengan semakin derasnya jumlah dan jenis film tersebut, bagaimana menyortir apa yang penting untuk dikritik?

Itu tugas kritikus film yang bertanggung jawab. Apa sih nilai karya tertentu sehingga dia patut dibicarakan? Apakah ada film pendek yang menyuarakan kritik penting tapi luput dari perhatian kita? Who’s telling the story? Apakah ada karya dari komunitas queer yang memberikan perspektif penting terhadap pengalaman mereka? Itu yang penting ditulis. Buat saya, kritikus harus berpihak pada suara-suara yang resisten dan mengkritik hegemoni, bukan justru melanggengkan status quo.(*)

***Tulisan ini pertama kali diterbitkan di situs Jurnal Ruang pada Januari 2019.

--

--