Kaderisasi Kampus Abad XXI: Suatu Seni Mempermainkan Perasaan

Michael H. Utomo
Pers Mahasiswa ITB
Published in
7 min readSep 1, 2017

--

(Tulisan ini adalah hasil kontemplasi saya sebagai pelaku kaderisasi pasif)

Apa yang ada di benak Anda ketika mendengar kata “ospek”? Saya percaya ospek sudah mendapat stigma negatif di masyarakat. Terutama karena masih ada saja berita yang beredar bahwa korban-korban ospek masih bertebaran. Dari yang terluka ringan, terluka berat, sampai meregang nyawa.

Sekalipun masih ada yang separah demikian, kita harus menyadari bahwa proses ospek sudah “diringankan” sedemikian rupa sehingga kader-kadernya “terjamin keselamatannya”. Para “senior”, khususnya yang menamakan diri mereka “panitia” yang mengatur materi dan “metode” telah berpikir dan berkajian berhari-hari (bahkan berbulan-bulan) untuk memikirkan cara-cara yang tepat agar nilai-nilai yang ingin mereka “turunkan” bisa tersampaikan dengan baik.

Seringan apapun ospek itu, para pengkader pun juga berusaha mengantisipasi hal-hal negatif apapun yang bisa terjadi. Mereka yang bertugas memarah-marahi (sering disebut keamanan) banyak, tetapi mereka yang memberi pertolongan pertama ketika ada “apa-apa” (sering disebut medik) juga banyak. Mereka yang bertugas menjadi “kompor” danlap tetap ada, tetapi mereka yang menjadi penyelamat dari “semprotan” danlap juga tetap ada. Tiap kader selalu ditanyai terlebih dahulu penyakit apa saja yang mereka derita dan bagaimana penanganannya.

Sejauh ini cukup baik.

--

--