Menilik Transportasi dari Dua Sisi : Sebuah “Disekuilibrium” Moda Angkutan Umum

Hasil wawancara dengan dua orang pengendara ojek online dan dua orang pengendara angkutan kota.

Anam, Rifqi Khairul
Pers Mahasiswa ITB
10 min readOct 15, 2017

--

sumber ilustrasi

Sejak Senin, 9 Oktober 2017 silam, pihak Dinas Perhubungan Jawa Barat, bersama dengan Wadah Aliansi Aspirasi Transportasi Jawa Barat melakukan press conference untuk membacakan Surat Pernyataan Bersama, yang salah satu poinnya adalah imbauan angkutan sewa khusus online (Grab, Uber, Go-Car dan Gojek) untuk melakukan pemberhentian operasi sementara sebelum diterbitkannya peraturan baru tentang angkutan sewa khusus / taksi online (baca disini). Mengikuti keputusan Dishub Jawa Barat tersebut, demo (mogok massal) pengemudi angkutan kota (angkot) Kota Bandung yang awalnya dilaksanakan pada tanggal 10–13 Oktober 2017, batal dilaksanakan. Isu ini tentu menjadi hangat di kalangan mahasiswa ITB yang kebanyakan memiliki ketergantungan dengan ojek dan taksi online.

Syukurnya, sampai saat ini, imbauan pelarangan tersebut hanyalah menjadi imbauan. Pada kenyataannya, sejak dikeluarkannya imbauan pelarangan tersebut, saya masih sering naik ojek online, kok. Hehe.

Tapi, saya sedikit penasaran mengenai respon dari masing-masing pihak: pengendara ojek online dan pengemudi angkot, terkait keputusan Dishub dan WAAT Jawa Barat tersebut. Hal ini membawa saya untuk merenjeng lidah dan melakukan sedikit wawancara dengan kedua pihak yang “saling oposisi” tersebut, dan mendapatkan sebuah sintesis.

Perspektif Pengendara Ojek Online

Narasumber pertama saya adalah seorang pengendara perusahaan taksi dan ojek online yang berbasis di Singapura, sebutlah namanya Pak Ari (nama disamarkan). Percakapan dengan Pak Ari saya lakukan semalam yang lalu (14/10/2017), dalam perjalanan pulang selepas kegiatan di kampus, kurang lebih pukul sepuluh malam. Menurutnya, peraturan Dishub dan WAAT Jabar tersebut hanyalah sebuah trigger agar demo yang rencananya dilakukan oleh pengemudi angkot pada Senin hingga Rabu (10–13/10/2017) batal dilaksanakan (saya pun sebenarnya memikirkan hal yang sama, hehe). Pak Ari mengklaim, tidak ada tanggapan resmi dari kantor pusat perusahaan ojek onlinenya di Bandung mengenai imbauan pelarangan dari Dishub dan WAAT Jabar — atau setidaknya, Pak Ari tidak mendengar hal tersebut.

Pak Ari beranggapan bahwa pengemudi angkot dan ojek pangkalan (opang) harusnya mengikuti perkembangan jaman. Beberapa rekan-rekan Pak Ari sesama pengemudi ojek online dahulunya merupakan pengemudi opang.

Menurut Pak Ari lagi, tidak sepantasnya opang bertindak semena-mena terhadap ojek online. Daerah Ujung Berung, Bandung Timur, adalah daerah yang sangat rawan bagi pengendara ojek online.

“Opang disana lumayan beringas,” begitu ungkapnya. Opang bahkan memiliki pos-pos tertentu untuk memantau apakah ada ojek online yang beroperasi di daerah Ujung Berung. Jika tertangkap basah, tak segan-segan, opang akan menghancurkan handphone pengendara ojek online, melempar helmnya, dan separah-parahnya, melakukan kontak fisik untuk “memberi pelajaran” bagi ojek online yang berani macam-macam di wilayah “kekuasaannya”.

Informasi penting yang saya dapat dari Pak Ari adalah, pengendara ojek dan taksi online akan melaksanakan aksi damai di depan Gedung Sate, Senin (17/10/2017). Aksi damai tersebut diadakan untuk menuntut “keadilan” terhadap para pengemudi ojek online, karena mereka juga sama dengan pengemudi angkot dan opang; menarik ojek dan taksi online untuk mencari nafkah. Aksi tersebut diadakan hampir seharian. Pak Ari berencana untuk mengikuti aksi tersebut.

Narasumber kedua bernama Pak Eko (nama disamarkan), masih satu company dengan Pak Ari. Saya mengobrol dengan Pak Eko pada hari ini (15/10/2017), kurang lebih pukul setengah sebelas siang, dalam perjalanan ke BEC. Dahulu, sebelum menjadi pengendara ojek online, Pak Eko bekerja sebagai buruh konveksi, dan penghasilan yang ia dulang tidaklah seberapa. Semenjak menjadi pengendara ojek online, ia merasa penghasilan yang ia dapat sangatlah cukup untuk kebutuhan sehari-hari, karena Pak Eko serius dalam menjalani profesinya sebagai pengendara ojek online.

Pendapat Pak Eko mengenai imbauan dari Dishub dan WAAT kurang lebih sama dengan pendapat Pak Ari, namun ia menambahkan bahwa ojek dan taksi online tidak mungkin sampai ditutup, karena PT. Liga Indonesia bersponsor salah satu perusahaan ojek online — menandakan betapa masif dan luar biasanya perusahaan-perusahaan ojek online di Indonesia.

Serupa dengan Pak Ari, Pak Eko juga mengeluhkan betapa beringasnya pengendara opang di Ujung Berung. Ia beranggapan hal yang sama dengan Pak Ari: opang dan pengemudi angkot tidak seharusnya menyalahkan ojek online sepenuhnya. Lagipula, jumlah pengemudi ojek online yang sangat masif dan tidak terbendung tentu didasari oleh dua subjek penting: konsumen dan penyedia jasa, dalam hal ini pengemudi. Konsumen menginginkan jasa angkutan yang comfortable, convenience, dan dengan harga yang terjangkau, dan hal-hal tersebut sulit ditemukan ketika menaiki angkot; bahkan yang acapkali didapat ketika menaiki angkot adalah kesan buruk atau keluhan. Penyedia jasa menginginkan income yang lebih dari pekerjaannya dahulu — dan pada kenyataannya, jika serius menekuni profesi menjadi pengemudi ojek online, penghasilan yang didapat sangatlah lumayan.

Perspektif Pengendara Angkot

Selepas dari BEC dan BIP, saya sengaja tidak pulang menggunakan ojek online. Dengan aplikasi kiri.travel, saya dapat dengan mudah mengetahui angkot trayek apa yang harus saya lalui untuk pulang ke kos. Angkot pertama adalah angkot trayek Margahayu Raya - Ledeng. Saya sengaja menunggu angkot yang kursi samping pengemudi di depan kosong, supaya lebih bebas berinteraksi dengan pengemudi. Nama pengemudi angkot pertama yang saya wawancara adalah Pak Rohim (nama disamarkan). Beliau sudah menjadi pengemudi angkot sejak jaman Orde Baru (beliau tidak ingat tahunnya), dan merasa bahwa sejak ojek dan taksi online menjadi masif, penghasilan yang ia dapat menurun secara drastis. Namun baginya, tidak banyak hal yang dapat ia lakukan mengenai hal ini. “Yasudah, paling cuma rencana,” begitu anggapannya ketika saya tanyai mengenai imbauan dari Dishub dan WAAT Jabar.

Ketika ditanya mengenai keluhan masyarakat terhadap angkot yang sering ngetem lama, pengemudinya yang sering merokok sembarangan, keamanannya yang kurang, dan panas, Pak Rohim menjawab, “orang mah bebas mau naik opang-angkot, atau ojek-taksi online. Tinggal pilih.

Yang ia tahu, ojek-taksi online lebih mahal dari angkot (padahal yang saya rasakan, yang online keseringan lebih murah lho pak), dan dengan tarif angkot yang lebih murah, ada konsekuensi-konsekuensi yang harus ditanggung, salah satunya ketidaknyamanan. “Lagipula saya ngetem lama karena nunggu penumpang biar cukup buat setoran, bensin, segala macem. Kalau penumpangnya banyak mah, saya ga akan ngetem lama-lama kali.”

Setelah kurang lebih 1.8 kilometer, saya turun dari angkot Margahayu Raya-Ledeng dan melanjutkan perjalanan dengan menaiki angkot Cisitu-Tegalega. Saya sangat beruntung dapat mewawancari pengemudi kali ini. Namanya Hendi Aripudin (tidak disamarkan). Beliau pernah diwawancarai oleh TvOne terkait aksi mogok angkot yang dilakukan beberapa waktu silam (tapi saya lupa bertanya beliau diwawancara di aksi mogok yang mana), dan informasi Pak Hendi mengenai dunia perangkotan sangatlah luas.

Pak Hendi sudah menjadi pengemudi angkot sejak tahun 1985. Beliau menjadi perintis trayek angkot Cikudapateuh-Ciroyom. Cerita mengenai proses perintisan trayek angkot Cikudapateuh-Ciroyom oleh Pak Hendi sangatlah menarik. Jadi, persaingan antar moda angkutan umum rupanya sudah terjadi sejak jaman dahulu! Kala itu, Pak Hendi menimbang berkali-kali mengenai trayek yang dipilih dan jalan-jalan apa saja yang dilalui trayek. Jika terlalu berbahaya, maka rute diubah, atau separah-parahnya, trayek diganti.

“Bahaya gimana, pak?” tanya saya.

“Ya bahaya rawan gitu lah. Banyak kang becak, banyak kang ojek. Ntar rebutan. Akhirnya kita juga ngasih duit ke kang becak, ke kang ojek.”

Kini, Pak Hendi menjadi satu dari tiga Komisi Pengawas Angkot (KPA) trayek Cisitu-Tegalega. Saya baru tahu dari Pak Hendi, jika setiap trayek angkot di Kota Bandung berada dalam kontrol Kelompok Pelayanan Usaha (KPU) angkot, dan KPU angkot membawahi Komisi Pengawas Angkot (KPA), semacam perpanjangan tangan KPU di lapangan. Ada 82 unit angkot Cisitu-Tegalega, dan ada 3 orang KPA yang menjadi pengontrol 82 unit angkot tersebut. Jika ada keluhan, supir angkot dapat melaporkan ke KPA, dan KPA meneruskan ke KPU. Jika KPU mengontrol satu trayek, Koperasi Bandung Tertib (Kobanter) Baru mengontrol angkot di seluruh trayek.

“Anak-anak buah” para KPA akan melapor kepada KPA jika terjadi sesuatu di jalan, misalnya gesekan. Biasanya, ada pengemudi angkot merasa emosi dan berkata kasar jika pengemudi ojek-taksi online tetap rebel untuk menarik penumpang, padahal ada imbauan pemberhentian operasi sementara. KPA bertindak sebagai penengah antara “anak buahnya” dan pengemudi ojek-taksi online yang bersiteru.

“Biasa aja. Paling gak nurut (pengendara ojek-taksi onlinenya).” Begitu respon Pak Hendi ketika ditanyai mengenai imbauan penundaan operasi ojek-taksi online oleh Dishub dan WAAT Jabar.

Rupanya, berdasarkan kesaksian Pak Hendi, para supir angkot batal melakukan mogok dan demo pada 10–13 Oktober lalu atas imbauan dari KPU dan Kobanter. Jadi, segala aksi dan aktivitas angkot harus berdasarkan arahan dari KPU dan Kobanter, walaupun pada awalnya KPA ingin demo. Tanggal 10 Oktober lalu, rupanya angkot Cisitu-Tegalega sempat bandel dan tetap mogok di Terminal Tegalega atas intruksi dari KPA, namun karena tidak sesuai dengan arahan KPU, KPA ditegur dan akhirnya angkot tetap beroperasi.

Pak Hendi mengungkapkan bahwa penghasilannya terpangkas setengahnya sejak ojek dan taksi online masif di Bandung.

“Ya tapi mau gimana lagi ya mas, soalnya teman sendiri juga ada yang sekarang narik taksi online,” ujarnya.

“Wah… respon teman-teman bapak yang lain gimana tuh?”

“Paling yang sekarang pilih online diblacklist, kalau mau balik jadi pengemudi angkot, gak boleh diterima di trayek manapun.”

“Lalu kan banyak keluhan dari masyarakat nih pak mengenai angkot yang suka ngetem kelamaan, merokok sembarangan, ugal-ugalan, mabuk, suka berhentiin penumpang di tengah jalan… nah menurut bapak gimana? Apa dari KPA pernah mengimbau (supaya tetap jaga etika)?” tanya saya.

“Kalau ngetem, kita butuh waktu supaya penumpangnya cukup mas. Kalau teman-teman emosi, saya pernah meredam teman-teman dan bilang, ‘udah lah, jalanin aja dulu’. Untuk kasus ugal-ugalan, merokok, mabuk, saya kadang ngumpulin teman-teman (buat nasihatin mereka), ‘harus gini-gini-gini (berperilaku baik), jangan gini-gini, (berperilaku buruk)’, sehabis dari ngumpul mah udah gatau, tiba-tiba saya dipanggil (KPA) dan diomelin kalau anak buah saya bertingkah. Saya mah susah mantau mereka, karena udah beda mobil.”

“Lalu, harapan Bapak tentang ojek-taksi online, gimana Pak?”

“Bapak kasih tanggapan buat roda empat aja ya. Ada bagusnya malah kalau taksi online masuk ke Bandung, itu bukan masalah bagi Bapak. Yang Bapak ingin, angkot dan taksi online disetarakan. Misalkan kalau plat harus sama-sama kuning. Masa ada taksi online yang pakai plat merah?

Supir angkot pengen kita (angkot dan taksi online) bersaing secara sehat. SIM mereka juga beda, SIM pribadi. Ada izin usaha? Nggak ada. Ada KP (kartu pengawas) nggak? Nggak ada. Kenapa angkot begini (angkot mobilnya kurang bagus)? Banyak beban! Harusnya angkot diremajakan, Bapak mau kalau begitu.

Masalah persaingan atau demo-demo gitu ya…. bagi saya ya, hati kecil berkata, pembawa taksi online teh punya anak, punya istri. Ga tega saya. Apalagi kalau sampai adu fisik, ga mau saya mah. Udah aja lah, gausah demo-demoan, kalau akhirnya malah begitu (adu fisik, perusakan mobil).”

Saya terdiam. Bahkan untuk sebuah pekerjaan yang sama namun berbeda, yang sudah merenggut setengah dari pendapatannya, Pak Hendi masih bisa berpikir seperti itu.

“Harapan bapak, seperti tadi ya, bisa ditertibkan onlinenya sementara dulu untuk proses penyetaraan, jangan lama-lama buat ngurus-ngurus SIM, KP, segala macem, kasihan merekanya juga kalau lama-lama.” begitu jawaban Pak Hendi ketika diminta mengungkapkan harapannya mengenai taksi-ojek online kedepannya.

Semangat terus, Pak.

Saya tentu merasa keberatan ketika membaca berita pelarangan operasi tersebut, karena hampir setiap hari saya menggunakan jasa ojek online, entah itu untuk pulang dan/atau pergi dari kampus, atau sekali-sekali untuk jalan-jalan, pergi ke suatu tempat, atau memesan Go-Food.

Dapat dikatakan, saya memiliki ketergantungan dengan ojek dan taksi online. Bagaimana tidak? Saya belum memiliki kendaraan pribadi di Bandung. Jadi kalau mau pulang pergi kampus ya jalan kaki, nebeng teman, naik angkot, atau yang paling sering ya naik ojek online. Ojek online memiliki fleksibilitas yang sangat tinggi. Angkot dari kampus ke daerah kos-kosan saya hanya beroperasi sampai maksimal pukul sembilan malam. Tapi kalau pulang kampus tengah malam bukanlah sebuah masalah, ada ojek online. Selain convenience, beberapa perusahaan ojek online juga menawarkan promo yang membuat pengeluaran bulanan untuk transportasi berkurang. Juga, karena rating pengendara harus tinggi, pengendara ojek online berusaha membuat penumpangnya senyaman mungkin. Efisiensi waktu ojek online juga terbilang cukup tinggi.

Berbeda dengan ojek online, angkot pada umumnya tidak menawarkan berbagai benefits yang ditawarkan oleh angkutan online. Berbagai hal yang membuat jengah dan was-was pernah saya alami selama berangkot ria di Bandung. Kang angkotnya ugal-ugalan, pernah. Kang angkotnya memaksa saya untuk membayar tidak sesuai tarif, pernah. Kang angkotnya merokok seenak jidat, pernah. Kang angkotnya ngetem lama sehingga waktu tidak efisien, sering. Bahkan, hal serandom kang angkot yang berantem dengan istrinya sampai pukul-pukulan di dalam angkot, pernah saya alami. Pun opang, harganya menurut saya terlalu mahal, dan tingkat keamananya jauh dibawah ojek-taksi online.

Telah banyak inovasi yang dilakukan untuk memperbaiki citra angkot Bandung. Misalnya, ada angkot yang dilengkapi dengan WiFi dan CCTV. Ada angkot yang dilengkapi dengan stiker yang tulisannya kurang lebih “Angkot ini tidak ngetem”.

Untuk mengimbangi persaingan dengan ojek online, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Bandung menyiapkan sistem jasa transportasi berbasis aplikasi khusus bagi para pengemudi ojek pangkalan dengan nama Lojek, alias Lokal Ojek. Teknisnya mirip dengan ojek online, namun Lojek tidak perlu menggunakan smartphone. Pengguna jasa Lojek cukup menentukan lokasi tujuan pengantaran untuk kemudian mendapat estimasi tarif yang mesti dibayar. Dalam sistem Lojek, pengemudi ojek tidak terhubung langsung dengan pengguna jasa.

Pengemudi Lojek hanya dibekali kartu untuk disentuhkan di mesin yang ditempatkan di pangkalan ojek wilayah. Dengan menyentuhkan kartu pintar khusus pada papan pembaca kartu di pangkalan, pengemudi Lojek dinyatakan bersedia untuk mengantar penumpang dan langsung masuk antrian kerja. Dengan begitu, pengemudi Lojek akan mendapat giliran untuk mengantarkan penumpang. Sebanyak 10 pangkalan ojek akan dijadikan wilayah percontohan pada akhir Oktober ini. [1]

Apakah saya kapok naik angkot? Jujur saja, sedikit kapok. Bukannya tidak ingin membantu ekonomi kang angkot atau kang opang, namun di mata saya, angkutan umum konvensional memiliki banyak sekali kekurangan. Jika tidak ada opsi lain, barulah saya menaiki angkot atau opang untuk berpergian (atau dalam kasus ini, saya ingin wawancara, hehe).

Apakah saya sekarang terpikir untuk menaiki opang? Jujur saja, belum. Opang masih jauh lebih mahal daripada ojek online. Di dekat kos saya ada pangkalan ojek, tapi sangat jarang ada ojek di sana.

Lalu saya berpikir… apakah saya kurang berempati dengan masyarakat menengah kebawah — dengan pengemudi angkot dan opang? Saya masih berkesimpulan bahwa waktu dan teknologi sedang dan akan terus berjalan, jika kita tetap jalan di tempat, artinya kita akan tertinggal. Jangan memaksakan ojek dan taksi online untuk menurunkan “standar”, namun yang konvensional harusnya (dibantu untuk) menaikkan “standar”nya, ikut menyesuaikan harga dengan mekanisme regulasi tertentu dari pemerintah.

--

--

Anam, Rifqi Khairul
Pers Mahasiswa ITB

HMS ITB, Kuya Hantam | Recently a civil engineering student who's attracted to urban & mass transportation design and transportation behavior | LINE: anamrifqi