Lina
Personal Perceived
Published in
2 min readMar 25, 2016

--

Hari ke-86 di tahun 2016.

Kalau boleh jujur, aku bukan orang yang mudah menangisi suatu hal. Lima tahun belakangan, aku telah lupa bagaimana cara menangis hingga tergugu hampir tiap malam akibat kata-kata dan kelakuan manusia. Tapi entah bagaimana, saat ini aku benar-benar merasa begitu ringkih dan kecil. Aku pikir benteng yang ku bangun selama beberapa tahun belakangan telah cukup kokoh untuk menghadang penyelinap. Namun nyatanya… Ha-ha-ha-ha.

Aku pikir apa-apa yang kita lalui cukup berarti dan bermakna lebih bagi diri kita masing-masing. Bahwa aku dan kamu tidak pernah saling terbuka begitu cepat dan intens pada orang lain. Bahwa aku melihat kamu seperti kamu melihat aku, membuat kita sama-sama tahu bahwa kita mampu memahami satu sama lain dalam waktu singkat dan begitu sederhana — benar-benar apa adanya. Tapi seperti kata-katamu; semua hanya khayalan pikiranku. Kamu tidak pernah benar-benar (?) turut andil dalamnya.

Kamu datang, kamu pergi, kamu memaki — sesuka hati. Semua yang telah terceritakan, tampaknya tidak berarti lebih. Benar kata kamu. Semua hanya imaji otakku. Aku yang memerangkap diri dalam memori khayal. Kamu tidak pernah benar-benar (?) turut andil dalamnya.

Dan seketika, aku rindu Allah. Rindu sekali hingga rasanya dadaku begitu sesak.

Aku rindu bercakap dengan teman-teman yang mengingatkan aku pada kekekalan akhirat. Bahwa semua kegilaan, kepenatan, dan ketidak jelasan ini akan sirna bila dilalui dengan sabar dan ikhlas. Bahwa bagaimana pun juga, semua akan berakhir. Karena tanda kuasaNya telah tampak begitu jelas bagai matahari di siang bolong bagi mereka yang mau berpikir. Karena tinta telah kering dan pena telah terangkat.

Dan meski aku bukan apa-apa dalam duniamu yang ramai dan samar, aku masih memiliki Dia yang tetap mencintaiku apa adanya. Meski kamu begitu membenci dan tidak suka terhadap yang telah lalu serta harus selalu lebih benar dengan segala perilakumu, Dia akan tetap berusaha membenahiku dengan caranya yang lembut dan bijak. Meski aku begitu tidak berharga dan bermakna dalam kepingan-kepingan hatimu dan memorimu, Dia akan tetap selalu ada dan mendengar keluh kesahku di hari-hari dan malam-malam yang panjang. Karena Dia berjanji dan selalu menepati janji. Karena peringatan telah disampaikan dan ampunan telah dijanjikan.

Dan seperti kata-katamu; kita hanya melihat tanda-tanda yang kita inginkan. Dan apa yang lebih menyedihkan dari ditinggalkan tanpa alasan — karena memang tidak ada yang perlu dijelaskan? Terlebih bila segalanya hanya khayalan pikiran — seperti yang kamu tukaskan?

Dan begitulah. Sekali lagi, sesuai kata-katamu; semua memori yang lalu hanya khayalan imaji otakku — kamu tidak pernah benar-benar (?) turut andil dalamnya.

Toh segala hal di langit dan di bumi memang milik Dia dan berada di bawah kuasa Dia. Semua akan datang dan pergi, bila Dia telah berkehendak. Semua hanya titipan, tidak ada kepemilikan.

Tapi bagaimana pun juga, aku sungguh berterima kasih. Terima kasih ya. Segalanya benar-benar pelajaran berharga bagiku. Mulai besok, aku tidak akan main-main di sana sampai entah kapan.

Moga suatu saat, kita dapat bercakap atau bersua dalam keadaan lebih baik. Aku sungguh berharap kita dapat menemukan bahagia hakiki seutuhnya.

Sampai nanti.

--

--

Lina
Personal Perceived

On therapeutic writing. Urban & community enthusiast. I sometimes do journaling in here.