Pertemuan

Lina
Personal Perceived
Published in
5 min readAug 31, 2018

Setelah beberapa insiden, aku cukup paham bahwa aku jarang sekali menangis perihal perasaan sedih atau kejadian buruk. Apalagi tentang perpisahan atau kematian. Aku pikir, hal tadi seperti circle of life yang sudah sewajarnya terjadi — cepat atau lambat.

Tiba-tiba, aku jadi ingat bahwa terkadang otakku memang lemot menangkap atau merespon maksud tersirat dari seseorang atau situasi. Sekitar dua tahun yang lalu, ada orang asing dari internet pernah berkata secara eksplisit, “Kamu itu punya perasaan atau tidak sih?”. Ketika itu, butuh waktu lama bagiku untuk menangkap maksud tadi. Itu saja setelah ngobrol dengan teman internet lainnya yang memiliki latar belakang psikologi.

Jadi pagi tadi cukup ‘begitulah’. Setelah mendapat telfon dari bos bahwa lebih baik mengerjakan dokumen-dokumen (yang seharusnya dibenahi oleh orang lain) agar ketika tenggat waktu datang kerjaan sudah beres, siang ini rasanya mendadak jadi ‘begitulah.. baiklah..’ sampai tidak tahu harus berpikir apa. Lalu karena bingung sendiri, akhirnya aku memutuskan ke café agar merasa sedikit bahagia sambil berusaha mengerti apa maksud dari kejadian-kejadian kebetulan yang terjadi selama beberapa kurun waktu terakhir.

Saat ini, di pinggir ruangan ini, aku dapat mendengar barista sedang meracik kopi melalui mesin espresso-nya, melihat dua wanita sedang asyik bercerita tentang hari yang mereka lalui — satu dari mereka baru saja datang menghampiri temannya yang sudah menunggu di pojok ruangan selama 30 menit, serta kehadiran pemilik café bersama kedua anak lelakinya — yang satu gemuk menggemaskan sedangkan yang satu lagi tampak kurus dan (maaf) tampak berkebutuhan khusus tapi tetap ceria.

Waktu aku masih remaja, aku tidak pernah berpikir bahwa hidup di penghujung umur dua puluh empat tahun akan (terasa?) hambar begini. Bukan aku bermaksud untuk tidak bersyukur, tidak peka terhadap keadaan dan kondisi orang di sekitar atau sebagainya — bukan itu. Terus apa? Mid-life crisis? Depresi? Well… Aku tersenyum getir ketika menulis ini. Dahulu kala, aku pernah berpikir bahwa orang yang memiliki agama dan mempraktekan ajaran agamanya tidak akan merasakan kehampaan atau perasaan kosong seperti ini. Tapi ternyata, banyak sekali hal-hal di luar nalar dan keyakinan yang masih belum aku ketahui dan pahami.

Sejak kecil, aku telah belajar bagaimana memberi batasan dan bersikap atas perilaku orang lain (anggota keluarga, teman sepermainan, kakak tingkat, abang-abang cleaning service sekolah, sopir jemputan), terlebih dari orang asing — mereka yang benar-benar memiliki kehidupannya sendiri. Mereka yang bekerja, memiliki keluarga, baru menamatkan kuliahnya, mendapat promosi di kantornya, atau mungkin tengah menghadapi bayang-bayang masa lalu atau yang lainnya. Sampai beberapa tahun lalu, aku yakin bahwa mereka semua tidak memiliki peran penting terhadap tingkah laku dan perilakuku, karena toh pada akhirnya, sebagai makhluk dengan akal, manusia memiliki kontrol penuh terhadap sikapnya masing-masing.

Namun suatu saat, pola pikir tersebut berubah ketika aku mengalami kesepian dan kepanikan yang tidak dapat dijelaskan. Semacam penyakit kasat mata yang membutuhkan obat agar dapat normal dan conscious. Orang-orang yang sebelumnya tidak memiliki kontrol tentang bagaimana-sebaiknya-dan-seharusnya-aku-bersikap, mendadak memiliki peran penting yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Seakan membawa pesan bahwa manusia tidak mungkin bertahan dengan cara soliter. Pada suatu titik, manusia akan saling bertemu di suatu persimpangan dan saling membawa pesan dan alasan masing-masing.

Lalu entah bagaimana, sampai juga ketika aku menangis-entah-karena-apa setelah mengenal seseorang kurang dari satu minggu dari realm yang isinya penuh sesak dengan berbagai persona fana. Sebuah realm ketika padu padan huruf, kata, kalimat dan sifat dapat dipilih sesuka hati hingga membentuk persona yang sempurna. Tempat yang-dulu-aku-bersumpah-tidak-akan-ku-kunjungi sebab terlalu banyak memori yang sanggup meluluh lantakkan nalar dan logika. Tapi hanya karena satu insiden kecil yang saling mempertemukan dua sosok dari sekian ribu jiwa, rasanya bagaikan plot twist dan ironi. Ketika satu jiwa memiliki banyak pertanyaan tentang manusia yang hadir dalam hidupnya beberapa waktu belakangan, sedangkan jiwa lain memiliki beberapa isu yang selalu dihindari selama beberapa tahun terakhir dan memaksa untuk diselesaikan. Kemudian insiden kecil pun menjawab problematika masing-masing. Huft. Aku, sebagai orang yang selalu memberi jarak terhadap masa lalu dan orang-orang sekitar mendadak tidak lagi berpikir taktis dan berubah impulsif.

Entah mengapa manusia saling bertemu di saat paling tak terduga, aku tidak tahu. Bahkan apakah alasan-alasan itu benar-benar ada atau tidak, aku juga tidak tahu. Seakan-akan kita dan mereka bertemu hanya sebagai adegan dari sebuah skenario. Sang pelaku tidak tahu persis bagaimana alur peristiwa kecuali di penghujung cerita.

Atau mungkin seperti menaiki commuter-line dengan lalu-lalang orang-orang. Beberapa dari mereka meninggalkan sesuatu secara sengaja atau tidak, entah berharga atau sepele: curahan kisah dari relung hati paling dalam, dompet berisi kartu-kartu penting, sampah makanan, struk belanja minuman ringan dari mini-market, surat kabar terbaru atau yang telah berlalu. Kemudian orang-orang akan melanjutkan perjalanan setelah turun di stasiun tujuannya masing-masing.

Bagaimana pun juga, aku akan selalu bersyukur atas hal-hal klise yang terjadi dan kesempatan yang diberikan — entah kasat mata atau tidak. Aku ingin berterima kasih karena bagaimana pun juga, seluruhnya membuatku menjadi sedikit lebih paham bagaimana cara kerja takdir (it’s written!). Sebelum perjalanan usai, aku ingin merekam semua ini dalam bentuk tulisan, ingatan, memento (apapun itu) untuk aku simpan baik-baik.

Bahwa kita saling bertemu di ruang tunggu rumah sakit kemudian bercakap dan berbagi gurauan sarkasme, awalnya aku pikir tidak akan punya arti banyak. Hal-hal kecil sederhana yang terkesan konyol ternyata mampu memberi makna lebih. Bahwa terkadang kita cenderung terpaku di masa depan pun masa lalu dan lupa untuk ‘ada’ di masa ini. Untuk menghargai sekelebat keajaiban yang hanya dapat dipahami di akhir waktu; aku sedang berusaha mencerna ini.

Keajaibanku adalah dapat merasakan dopamine, endorphin, serotonim, atau zat-zat kimiawi lainnya kembali meningkat, kemudian aku belajar ketika ketertarikan telah berubah menjadi kebersamaan dan kenyamanan, yang perlu dilakukan adalah memberi ruang dan kebebasan berkembang serta komunikasi. Keajaibanku adalah panggilan telfon dari Bapak hampir setiap malam, omelan Bude ketika pulang malam tanpa mengabari, teguran untuk fokus karena kecerobohan ketika kunci kontak terjebak di bagasi motor, teman-teman yang memberi kabar untuk tetap stand by di dekat telfon ketika masa-masa pencarian kerja, serta yang tetap hadir dengan cara-caranya sendiri — I love and appreciate you guys so much. Keajaibanku adalah ketika menyadari bahwa terkadang hal-hal tadi mungkin harus dirasakan dengan seksama untuk memahami ketulusannya yang amat sangat samar.

Sebelum perjalanan benar-benar usai (kematian), rasanya aku ingin menikmati berbagai momen dan merasakan banyak hal lebih lama lagi—karena meski telah berobat aku kerap masih merasa hampa. Untuk mengakui dan menerima bahwa aku butuh pertolongan serta butuh berobat lebih serius lagi — serta aku tidak menjadi lemah maupun worthless dengan menerima bantuan dan kembali berobat. Karena ini adalah titik balik untuk jadi lebih baik.

--

--

Lina
Personal Perceived

on therapeutic writing. Urban & community enthusiast. I sometimes do journaling in here.