Rural vs Urban, Ketimpangan Tak Berkesudahan

Dwi Fitrianingsih
Perspektif Kota
Published in
4 min readSep 23, 2020

Pernah dengar anggapan bahwa terjadi ketimpangan ekonomi antara daerah di Pulau Jawa dan Non Pulau Jawa? Kalau iya, kita sama. Tapi apa benar demikian adanya?

Sumber: competeprosper.ca

Jika kita menelisik pemikiran dari Budy P. Resosudarmo, seorang Professor Australian National University (ANU) sekaligus Head of ANU Indonesia Project, terlihat bahwa pertumbuhan Gross Domestic Product (GDP) atau yang di Indonesia lebih dikenal Produk Domestik Bruto berbagai Pulau besar di Indonesia tidak mengalami ketimpangan.

Gambar 2. Growth of GDP Indonesia

Gambar diatas yang menunjukkan pertumbumbuhan GDP masing-masing Pulau besar di Indonesia selama 14 tahun. Dari angka-angka tersebut, pertumbuhan GDP setiap pulau besar di Indonesia tidak memiliki selisih yang besar, bahkan pertumbuhan GDP Pulau Sulawesi lebih tinggi di banding Pulau Jawa.

Gambar 3. Monthly Expenditure Per Capita 2015

Kemudian mari kita lihat data Monthly Expenditure per Capita tahuan 2015 atau pengeluaran bulanan per kapita. Apabila kita lihat dari gambar diatas, terlihat bahwa jika kita membandingkan pengeluaran perkapita penduduk di kawasan perdesaan Pulau Jawa vs Perdesaan di luar Pulau Jawa, tidak terjadi ketimpangan. Begitu juga dengan pengeluaran perkapita penduduk di kawasan perkotaan Pulau Jawa vs di Luar Pulau Jawa, tidak terjadi ketimpangan antar keduanya.

Apabila kita melihat perkotaan di Pulau Papua, pengeluaran bulanan per kapita bahkan melebihi nilai perkotaan di Pulau Jawa. Tetapi memang nilai pengeluaran bulanan per kapita di perkotaan Papua dua kali lipat dari nilai pengeluaran bulanan per kapita di perdesaan Papua. Sehingga dapat dikatakan bahwa ketimpangan yang terjadi di Indonesia justru terjadi antara kawasan perdesaan dan kawasan perkotaan. Rural vs Urban, Hal ini yang menjadi permasalahan.

Gambar 4. Poverty Rural and Urban Areas 2014

Terakhir, coba perhatikan data kemskinan pada gambar di atas. Meskipun angka kemiskinan di Indonesia turun perlahan setelah masa reformasi, tetapi gap antara kemiskinan di perdesaan dan di perkotaan sangat tinggi. Hampir diseluruh wilayah di Indonesia tingkat kemiskinannya dua kali lipat dari tingkat kemiskinan di perkotaan. Sehingga apabila ada argument yang menyatakan bahwa di Indonesia Timur mengalami permasalahan ekonomi, ini bukanlah Urban problem, melainkan Rural Problem.

Pembangunan perdesaan harusnya menjadi perhatian utama. Apabila kita berbicara mengenai equity dalam beberapa aspek, aspek utama yang perlu diperhatikan adalah bagaimana mengangkat kehidupan di perdesaan.

Salah satu argumen umum adalah bahwa daerah pedesaan tidak memiliki modal yang diperlukan untuk mengembangkan ekonomi mereka (Harris-Todaro, 1970), sehingga sejak tahun 1950-an pemerintah Indonesia mulai melakukan upaya pembangunan perdesaan, diantaranya:

  • Kredit, seperti Padi Sentra (1959–1965), BIMAS (1965–1985), KUT (1985–1999), KKP (2000-sekarang): Kredit mikro di tingkat petani individu
  • Inpres Desa Tertinggal (IDT) tahun 1993–1997: Kredit mikro di tingkat desa untuk individu
  • KDP (Kecamatan Development Program) (1998–2006): Hibah di tingkat kecamatan untuk inisiatif dari desa-desa di dalam kecamatan

Dalam upaya pembangunan desa yang dilakukan pemerintah dari dulu hingga sekarang mengalami beberapa trend perubahan dalam cara dan strategi yang dilakukan, diantaranya:

  1. Beralih dari kredit mikro ke hibah
  2. Individu ke komunitas,
  3. Beralih dari dibatasi sesuai target, sekarang memberi kebebasan pengembangan
  4. Top-bottom dalam seleksi ke menjadi buttom-up
  5. Meningkatkan akuntabilitas

Kenyataan bahwa pembangunan perdesaan yang selama ini dilakukan memiliki hasil yang tidak efisien dan gap antara perdesaan dan perkotaan selalu ada menunjukkan kegagalan program yang dilakukan pemerintah. Dalam hal ini terjadi beberapa perdebatan para ahli, pemikiran yang ada diantaranya adalah:

  1. Kemajuan pembangunan perdesaan tidak dapat diciptakan, sehingga lebih baik mengurangi dana yang digunakan dan membatalkan village law (UU 6 tahun 2014).
  2. Pembangunan perdesaan tetap dilakukan tetapi perlu memperbaiki formula distribusi. Ketidakmerataan di setiap perdesaan itu bervariasi karena kebutuhan setiap desa berbeda, sehingga daerah yang memang membutuhkan bantuan lebih banyak diberikan dana lebih besar. Hal ini akan mengakibatkan efisiensi penggunaan dana.
  3. Meskipun formula dalam pembangunan perdesaan telah diubah tetapi dalam formulanya tetapi terdapat salah satu aspek (baik dalam lingkup makro maupun mikro) yang tidak dilakukan dengan baik, maka pembangunan perdesaan tetap tidak akan efisien dan bekerja. Contohnya adalah aspek dimana tidak mungkin lembaga yang top-down menangani project yang sifatnya bottom-up, ini tidak akan berhasil, contohnya adalah PNPM dahulu dilaksankan oleh Kemendagri.

Terlepas dari segala kekurangan pelaksanaan program yang direncanakan, mengurai permasalahan ketimpangan ini harus menjadi prioritas yang tidak bisa dikesampingkan.

Pembangunan di Desa di seluruh Indonesia merupakan pondasi dasar bagi kemajuan bangsa. - Joko Widodo

Sumber:

Fatkhuri. 2013. Menakar Ketimpangan Desa dan Kota

Harris, John R. & Todaro, Michael P. 1970. Migration, Unemployment and Development: A Two-Sector Analysis. American Economic Review.

Resosudarmo, Budy P. 2017. Rural Development in Indonesia

--

--