Aku Cinta Hujan

Riandzaki Hafiz
Planologi ‘16
Published in
1 min readAug 25, 2017

Sumpah,
aku tak menghiraukan
insan mana pun
yang mengatakan hujan
sangat mendistraksi
senja ini.

Hujan
yang selalu saja disalahkan
atas masa lampau mereka
yang menghampiri masa kini.

Hujan
yang selalu dimaki karena ia jatuh
dan membuat hati harus berteduh.

Terkutuklah,
jiwa yang menghujat hujan
dan semoga jiwa tersebut
diberkati oleh tuhan.

Hujan adalah kawan sebaya bagiku.
Kawan yang selalu menemani
dalam kesedihan juga kerinduan.
Kerinduan akan seseorang
yang pernah duduk di dekatku;
berdua menikmati secangkir kopi.

Bertukar pengalaman untuk pembelajaran, menggoreskan mimpi dan angan akan masa depan, serta berbagi tawa yang terselimuti kehangatan.

Seseorang itu tak pernah gagal menjalankan tugasnya dalam membuatku tersenyum.

Dua cangkir kopi pun menjadi saksi akan dua angan sepasang insan yang tercipta bersama hangatnya hujan.

Namun,
bagaimana mereka berdua
dapat terbang; mencapai angan
ketika
salah satu bagian sayap
masih memendam luka?

Mungkin hanya Icarus yang bisa terbang dengan satu sayap.

Ah sudahlah.

Mungkin aku hanya bergumam.

Mungkin juga suatu saat kita dapat menikmati secangkir kopi lagi berdua.

Eh maaf bertiga maksudku.
Maaf hujan aku melupakanmu. Mungkin, aku terlalu asik berimajinasi.

Bandung, 25/08/17

Pemuda yang masih terguyur
hujan dari masa lalu.

--

--

Riandzaki Hafiz
Planologi ‘16

Sastra hanyalah alat, jangan biarkan ia memperalat kita.