Tentang Dingin

Rifqi Syahrial
Planologi ‘16
Published in
2 min readAug 10, 2017
Aku Ingin Engkau Baca Pelan-Pelan. -perapian.-

Aku rebahkan tubuh ini di dekat sofa ditemani hangatnya perapian di ruang tengah. Tubuhku menggigil, menyerah dengan keadaan yang mungkin malam terdingin yang pernah kurasakan selama ini. Aku mencoba untuk lebih mendekatkan tubuhku ke perapian itu. diriku mencoba tuk mengistirahatkan diri, memejamkan mata, melemaskan tubuh ini sambil berharap agar malam terdingin yang pernah kurasakan ini segera berlalu.

Namun kenyataannya dingin ini mengalahkanku, aku sama sekali tidak dapat terlelap, dingin ini menusukku hingga sukmaku, aku menggigil tidak karuan, walaupun hangatnya perapian ini masih terasa tetapi dingin ini dapat dengan mudah mengalahkannya. Kulihat sekitarku, apakah ada benda untuk membantuku melalui malam paling dingin yang pernah terjadi padaku sampai saat ini.

Kutemukan sebuah selimut, sebuah buku lama oleh pengarang terkenal, dan sebuah album foto lama berwarna hijau dengan logo sebuah perusahaan kamera terkenal pada masanya. Aku pakai selimut itu di tubuhku, aku dekapkan pada diriku layaknya bagian dari tubuhku sendiri. Kehangatan yang diberikan oleh selimut itu sangat mengurangi dinginnya malam hari ini. Sembari ku mendekatkan lagi diriku ke perapian, aku bingung memilih antara buku lama karya pengarang terkenal atau album foto lama yang berwarna hijau dengan logo perusahaan. Aku tidak tahu pasti kenapa aku memilih album lama itu, tetapi yang kuketahui hatiku lah yang mengarahkanku untuk menggapai album lama itu.

Kubuka halaman pertama, aku tersenyum sendiri melihat betapa bahagianya aku saat itu, berada di dekapan kedua orang tuaku, masih tidak dapat membedakan angka dan huruf. Aku lanjutkan ke halaman kedua di mana saat itu aku sudah mulai dapat berjalan, aku melihat orang-orang di sekitarku bahagia melihatku dapat melakukan itu, kubuka halaman demi halaman perlahan-lahan dengan tersenyum ditemani perasaan sendu juga beberapa air yang menetes dari atas. Aku larut dalam perasaan itu, perasaan yang hangatnya mengalahkan dingin yang aku rasakan yang bahkan perapian pun tidak bisa menghangatkanku.

Pada halaman-halaman terakhir aku membaca album itu, dingin itu tak terasa, hanya rasa kesejukan yang ada. Aku tidak sadar bahwa dingin itu telah berlalu, kulihat garis di cakrawala masih tetap berwarna biru tetapi tampak lebih cerah. Aku baru sadar jika sekarang sudah pagi, malam dingin yang awalnya sangat terasa panjang dan sangat dingin serasa cepat ku lalui hanya dengan membuka kembali album lama. Album lama yang disana terdapat memori-memori lama bersama orang-orang terdekatku yang hanya bisa aku kenang.

Dari situ aku sadar, aku sadar bahwa dingin dan hangat adalah dua kondisi dimana dua kondisi itu melengkapi satu sama lain.

Dingin bukan ada karena hangat tidak ada, atau hangat itu lemah.

Tetapi, Dingin ada karena menginginkan rasa hangat, begitu pula sebaliknya.

Dan bagiku dingin tak selalu memuakkan.

Dingin mendorongku untuk bertahan dan melatih jiwa dan ragaku.

Dingin yang notabene lekat dengan gambaran yang kaku dan tak acuh.

Malah mendorongku memunculkan sisi hangatku.

Lagi pula…

Pagi selalu mengajarkan bahwa dingin tak selalu memuakkan, bahwa dingin juga bisa memberi kesejukan dan kenyamanan.

--

--