DAMPAK NEGATIF KETIDAKSESUAIAN PASAR SANTA SEBAGAI SARANA PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF

Adelia Karamina Putri
Naladhipa Narasanjaya
7 min readAug 22, 2016
Pasar Santa (Sumber: https://anakjajan.files.wordpress.com/2015/03/dscf2822.jpg)

Menurut Departemen Perdagangan RI (2009:5), Industri kreatif adalah industri industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, bakat, serta keterampilan dari seorang individu untuk menciptakan kesejahteraan dan lapangan kerja dari faktor — faktor tersebut, tanpa melupakan daya kreasi dan daya cipta seorang individu. Ekonomi kreatif sendiri merupakan sebuah konsep ekonomi di era ekonomi baru, yang mengandalkan kreativitas dan keterampilan dari Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai faktor utama dalam kegiatan ekonominya. Departemen Perdagangan (2008) dan Instruksi Presiden No 6 Tahun 2009 tentang Ekonomi Kreatif menjelaskan bahwa ekonomi kreatif di Indonesia mencakup 14 faktor: periklanan, arsitektur, pasar barang seni, kerajinan, desain, fesyen, film, permainan interaktif, seni pertunjukan, penerbitan dan percetakan, layanan computer, radio dan televisi, dan yang terakhir adalah riset dan pengembangan.

Pasar Santa sudah berdiri sejak Tahun 1971 dan selesai dibangun pada Tahun 2007. Bangunan yang terletak di Jalan Cipaku, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan ini pada awalnya memiliki konsep yang tidak jauh berbeda dengan pasar pada umumnya. Dibuka untuk publik sejak tanggal 19 Mei 2007, memiliki tiga lantai, dan 1151 tempat usaha di dalamnya tidak membuat pasar ini ramai pengunjung. Hingga Tahun 2012 pun hanya 312 kios yang terisi. Akibatnya, para pedagang yang sudah terlanjur membeli kios dengan status Hak Guna Pakai (HGP), terpaksa menutup kiosnya. Akhirnya, pada Tahun 2014 Pak Bambang Sugiarto selaku Kepala Pasar Santa mengubah konsep dari pasar tersebut dan mengundang komunitas — komunitas industri kreatif, yakni komunitas kopi, teh, hingga piringan hitam. Satu persatu kios yang kosong pun terisi dengan berbagai jenis toko piringan hitam, kedai — kedai kopi kecil, toko laundry sneakers, berbagai jenis toko makanan unik, hingga toko kamera dan barang — barang vintage. Tak jarang Pasar Santa disebut sebagai pasar untuk para pemuda hipster karena jenis — jenis toko yang ada di dalamnya.

Hadirnya Pasar Santa dengan konsep baru tentu mengundang banyak massa karena daya tarik yang dimilikinya. Terkesan unik dan berbeda dengan pasar modern pada umumnya, membuat pasar di bilangan Jakarta Selatan ini selalu penuh dengan pengunjung. Tentu perkembangan Pasar Santa yang terbilang pesat berdampak baik pada perkembangan ekonomi kreatif di Indonesia. Tapi, belakangan ini keadaan Pasar Santa cukup mengecewakan. Kios — kios banyak yang terkadang buka dan terkadang tutup dengan jadwal yang tidak jelas, banyak toko yang tutup, dan menurunnya jumlah pengunjung. Keadaan Pasar Santa tidak sehidup sebelumnya, keramaian dan padat pengunjung Pasar Santa dianggap hype semata. Oleh karena itu, kehadiran Pasar Santa lama kelamaan tidak sesuai dengan konsepnya sebagai fasilitas pengembangan ekonomi kreatif, ditandai dengan beberapa contoh tersebut, yang akan dibahas lebih detil dibawah ini.

KIOS — KIOS PASAR SANTA DENGAN JADWAL BUKA TIDAK PASTI

Tak terbilang sedikit kios — kios di Pasar Santa yang buka dengan jadwal yang tidak menentu. Seperti contohnya, salah satu toko yang menjual makanan andalan nasi lidah cabe hijau, Mommadon. Kios kecil yang terletak di sudut belakang lantai dua Pasar Santa ini memiliki banyak pelanggan setia. Bahkan, seringkali semua makanan habis terjual dalam waktu beberapa jam saja. Namun, yang sangat disayangkan adalah kios makanan yang dikelola oleh sekelompok anak muda ini memiliki jadwal buka yang tidak pasti. Banyak alasan yang dikemukakan, seperti contohnya karena alasan kuliah, mengingat sekelompok pemuda tersebut masih duduk di bangku universitas. Hal yang sama terjadi dengan beberapa kios makanan lainnya. Kios — kios yang terdapat di Pasar Santa banyak dikelola oleh para remaja, kebanyakan masih dalam dunia perkuliahan. Ini tentu membuat beberapa kios hanya buka pada jumat dan hari libur saja. Itupun tidak sejak pagi, melainkan mulai sore bahkan malam hari. Pada awalnya, sebagian besar kios masih buka sesuai jadwal yang mereka janjikan. Namun lama kelamaan, kios hanya buka pada saat pemilik memiliki waktu saja, atau saat tidak ada kesibukan lain. Usaha yang dikelola pun hanya dijadikan sampingan semata, bukan suatu hal yang menetap dan utama.

Jadwal buka kios yang tidak pasti ini menyebabkan banyaknya pelanggan khususnya pelanggan setia tiap kios dikecewakan. Para pengunjung yang tadinya ramai pun mulai berkurang satu persatu karena banyak kios favorit yang tutup ketika dikunjungi. Kios — kios yang menutup rapat rolling door nya tidak secara permanen tutup, namun tidak ada pemberitahuan resmi mengenai kapan toko akan buka kembali. Bukan hanya merugikan pengunjung, kios yang tidak digunakan secara optimal tentu akan merugikan pemilik usaha, karena biaya penyewaan kios dibayar pertahun, tidak memandang seberapa sering penyewa kios menggunakannya.

Untuk memperbaiki masalah diatas, ada baiknya apabila para pemilik usaha lebih berkomitmen dalam menjalankan usahanya. Usaha yang dibuka bukan sekedar hype dan hanya mood — moodan saja. Walau banyak pengunjung yang hanya membeli karena alasan penasaran dan ingin tahu, tidak terbilang sedikit pelanggan setia yang akan terus kembali untuk menyantap dan mengunjungi kios — kios favorit mereka. Perlu dipercayai, bahwa Pasar Santa adalah pasar bagi para remaja hipster, nyentrik, dan unik. Tentu, kalangan tersebut akan datang kembali untuk menengok kios — kios favorit mereka.

KIOS — KIOS PASAR SANTA YANG TELAH TUTUP

Sekitar setengah dari kios — kios yang ada di Pasar Santa telah tutup secara permanen. Tutupnya kios — kios dan tidak berjalannya lagi usaha — usaha tersebut di pasar santa dikarenakan biaya sewa kios pertahun yang tiap tahun kian bertambah. Pada 2015 kemarin bahkan biaya sewa pertahun mencapai kisaran enam belas juta rupiah. Padahal pada Tahun 2014 harga penyewaan kios hanya tiga juta rupiah. Selain itu, alasan lain yang membuat keadaan Pasar Santa kini tidak sehidup sebelumnya adalah karena sedikitnya pengunjung yang datang.

Melonjaknya harga penyewaan kios dan berkurangnya pengunjung membuat banyak pemilik usaha yang menyewa kios — kios di gedung berlantai tiga ini hengkang dan gulung tikar. Bahkan, banyak kios yang terbengkalai begitu saja, berantakan, dan tidak terurus. Ketika ditanya keberlanjutan usaha — usaha yang tidak lagi membuka kios nya di Pasar Santa, ternyata banyak dari mereka yang berpindah melanjutkan usahanya di event — event food festival, seperti contohnya local food market dan beberapa festival makanan lain yang biasa digelar di Mall — mall bilangan Jakarta dan sekitarnya. Keputusan para penjual beralih dari lokasi penjualan tetap ke sebuah lokasi penjualan yang bersifat temporer dan nomaden memiliki alasan tersendiri. Beda lokasi maka berbeda pula pengunjung yang akan datang. Tanggal food festival yang dapat dikatakan tak berlangsung lamapun membuat banyaknya pengunjung yang rela mendatangi ajang acara tersebut dan pada akhirnya banyak massa yang datang.

Untuk mengatasi masalah ini, pihak Pasar Santa sendiri telah menurunkan harga sewa menjadi enam hingga delapan juta pertahunnya. Walau tidak semurah harga sewa pada dua tahun silam, namun penurunan harga hingga lebih dari setengah harga sewa pada Tahun 2015 ini bisa dibilang drastis. Penurunan harga yang diputuskan oleh pihak Pasar Santa membawa kabar baik kepada para pengusaha dan komunitas kopi, teh, hingga piringan hitam, baik yang telah menutup usahanya di Pasar Santa maupun yang belum menggelar tikar, untuk berbisnis dan membuka tokonya kembali.

BERKURANGNYA JUMLAH PENGUNJUNG

Sebagai salah seorang penggemar dan pengunjung setia Pasar Santa, penurunan jumlah pengunjung tentu sangat dirasakan. Hal ini pun disadari oleh para penjual yang membuka gerainya di gedung yang berlokasi di bilangan Kebayoran tersebut. Pada tahun 2014, dimana Pasar Santa dengan ‘wajah baru’ nya baru dilahirkan, hampir seluruh warga Jakarta hingga masyarakat luar kota berbondong — bondong menyerbu pasar tersebut, baik untuk mencoba makanan dan minuman unik yang ada di dalamnya, hingga sekedar iseng melihat — lihat koleksi piringan hitam yang dimiliki berbagai toko yang tersedia di sana. Lama kelamaan, sensasi dan kegembiraan dari Pasar Santa mulai menyurut. Ketenaran Pasar Santa kini telah redup dan dianggap tidak lagi booming. Pada awalnya, dipercaya bahwa pada hari kerja mungkin memang sepi tak padat pengunjung, pengunjung akan banyak berdatangan pada hari jumat dan hari libur lainnya. Namun spekulasi tersebut kurang tepat, pada hari libur pun tak banyak yang mengisi ruang — ruang pada gedung tersebut. Masyarakat mengunjungi Pasar Santa hanya karena perasaan penasaran. Setelah sekali mengunjungi dan mencicipi makanan serta melihat — lihat toko yang ada, rasa penasaran pun hilang dan banyak yang tidak lagi mengunjungi pasar tersebut. Selain itu, akses menuju Pasar Santa yang sulit serta lahan parkir yang kurang membuat masyarakat malas untuk menghampiri Pasar Santa.

Dampak dari berkurangnya jumlah pengunjung adalah tutupnya kios — kios di Pasar Santa. Beberapa toko yang masih buka juga karena mereka telah memiliki pelanggan setia. Wajah — wajah yang memasuki gedung pertokoan tersebut adalah wajah yang tidak lagi asing bagi para penjual dan masyarakat sekitar Santa. Semakin menurunnya jumlah pengunjung lama kelamaan membuat keadaan Pasar Santa tidak lagi ramai dan hingar bingar. Pasar Santa tidak sehidup sebelumnya.

Mengatasi permasalahan diatas, solusi yang dapat dilakukan adalah dengan mempublikasikan kios — kios yang ada di Pasar Santa dengan lebih luas lagi. Tidak hanya menggunakan akun usaha itu sendiri di media sosial, alternative yang dapat dilakukan adalah dengan mempublikasikannya lewat akun artis atau public figure ternama. Dengan testimoni dan endorsement yang dilakukan oleh orang — orang ternama tersebut, akan menarik perhatian para followers dan pengguna media sosial tersebut untuk segera mengunjungi dan mencoba langsung produk yang dipublikasikan oleh public figure tersebut.

Pasar Santa adalah sebuah Pasar di daerah Kebayoran yang ‘disulap’ menjadi sebuah pasar unik, dengan mengundang berbagai komunitas kreatif, bertujuan untuk memajukan ekonomi kreatif di Indonesia. Perkembangan ekonomi Pasar Santa di awal tahun 2014 begitu pesat dan jauh lebih baik daripada tahun — tahun sebelumnya. Namun ketenaran Pasar Santa tidak berlangsung lama. Di penghujung 2015, Pasar Santa kembali kehilangan ketenarannya, ditandai dengan tutupnya kios — kios, kios — kios yang buka dengan jadwal tidak menentu, dan juga berkurangnya jumlah pengunjung. Hal tersebut sangat disayangkan, mengingat tak banyak pasar yang memiliki konsep hipster dan merupakan pasar berisikan komunitas khusus kopi, teh, hingga piringan hitam dan kamera — kamera jadul seperti Pasar Santa.

Permasalahan — permasalahan di atas dapat diatasi dengan beberapa solusi. Untuk kios dengan jadwal buka yang tidak pasti, kembali lagi kepada komitmen para pengusaha yang membuka usahanya pada kios — kios tersebut. Akan sangat disayangkan apabila pembayaran sewa kios yang dilakukan pertahun tidak dioptimalkan penggunaannya. Untuk kios — kios yang telah tutup dan terbengkalai, dapat diatasi dengan penurunan biaya sewa kios, mengingat banyaknya toko yang tutup dikarenakan harga sewa yang begitu mahal. Berkurangnya pengunjung Pasar Santa dapat diatasi dengan mempublikasikan kios — kios yang ada di Pasar Santa baik melalui akun media sosial kios — kios tersebut, maupun melalui akun public figure ternama, guna mendapat perhatian dari masyarakat dan mengundang daya tarik agar pada akhrinya banyak masyarakat yang mengunjungi Pasar Santa kembali.

--

--