KEADAAN INFRASTRUKTUR KOTA BANDA ACEH PASCA GEMPA BUMI DAN TSUNAMI
Pada tanggal 26 Desember 2004 yang lalu, musibah gempa bumi dan tsunami menghancurkan dua belas daerah kabupaten/kota di Aceh. Banyak sekali dampak yang disebabkan oleh musibah tersebut diantaranya banyaknya korban tewas dan luka-luka, hilangnya harta benda dan tempat tinggal, serta kerusakan berbagai fasilitas umum. Untuk mengembalikan keberjalanan roda pemerintahan, perekonomian, dan berbagai sektor lainnya perlu pembangunan kembali segala infrastruktur di Aceh. Rekonstruksi infrastruktur di Aceh pasca tsunami 2004 diantaranya pembangunan gedung-gedung sarana dan prasarana yang merupakan tahapan jangka panjang dengan target penyelesaian proyek kurang lebih 5 tahun.
Dalam menangani pembangunan kembali tersebut, banyak relawan dari dalam negri maupun luar negri yang menyumbangkan dana hingga milyaran rupiah. LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) maupun NGO (Lembaga Nonpemerintah) asing memiliki kontribusi dalam pergerakan bangkitnya Aceh kembali, sejak awal tahun 2005. Seiring berjalannya waktu, dari tahun ke tahun perbaikan infrastruktur selalu masuk bagian dalam rencana pengalokasian dana yang diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat untuk menunjang segala kebutuhan. Tapi permasalahannya, ada hasil pembangunan yang tidak dapat dinikmati secara maksimal oleh masyarakat yang mengakibatkan infrastuktur terbengkalai dan mengalami kerusakan dengan sendirinya akibat tidak adanya perawatan yang berkelanjutan.
Bencana tsunami tersebut menimbulkan kerusakan Wilayah sepanjang sekitar 1.000 km dengan total luas kerusakan mencapai 12.345 km persegi. Untuk memalakukan perbaikan dengan luas daerah yang besar tersebut, tentu saja pengalokasian dana untuk perbaikan infrastruktur tidaklah memiliki nominal uang yang kecil. Total ruas jalan yang rusak mencapai 300 km, 120 jembatan rusak berat, 120.000 rumah yang rusak, dan 14 pelabuhan laut tidak berfungsi (Bappenas). Hal itu mengakibatkan akses menuju daerah kabupaten/kota yang terputus akibat kerusakan tersebut terhambat dan pendistribusian kebutuhan material terganggu. Banyak dana yang dialokasikan untuk pembangunan dan perbaikan infrastruktur Kota Banda Aceh , terutama, setelah tsunami namun pada tahun 2005–2010 ada hasil pembangunan yang tidak dapat dipergunakan secara maksimal.
KEADAAN INFRASTRUKTUR BANDA ACEH PASCA TSUNAMI
Bencana gempa bumi dan tsunami yang mengguncang Aceh menyebabkan berbagai dampak dalam kehidupan masyarakat maupun pemerintahan Aceh. Dalam hitungan menit, rumah-rumah, perkantoran, pertokoan, pasar, bangunan sekolah, dan fasilitas lainnya semua rata dengan tanah, seperti yang ditunjukkan pada gambar di samping. Akibat musibah tersebut, aktivitas perekonomian Aceh mengalami kelumpuhan. Gempa dan tsunami memakan korban jiwa sebanyak 110.229 orang meninggal dunia, 12.132 orang yang hilang, dan 703.518 orang kehilangan tempat tinggalnya (Bappenas). Hilangnya sumber daya manusia dan pelaku ekonomi turut memperberat laju perekonomian.
Sebelum terjadinya bencana tersebut, pembangunan di Aceh terus ditingkatkan. Pembangunan gedung-gedung lebih dipusatkan di perkotaan. Meskipun pembangunan Aceh terus ada, hanya saja tergolong lambat dan pembangunannya masih terpusat di wilayah perkotaan saja. Setelah terjadinya tsunami, mata dunia seakan terpusat ke Aceh. Bantuan silih berganti datang dari dalam negri maupun luar negri. Karena tidak adanya harapan untuk melanjutkan kehidupan dari daerah sendiri yang sudah tidak memiliki apa-apa lagi, masyarakat Aceh sangat bergantung pada bantuan donasi dari pihak manapun.
Kerusakan yang terjadi akibat bencana dahsyat ini memang tidaklah sedikit. Kota Banda Aceh yang merupakan salah satu daerah yang memiliki kerusakan infrastruktur yang parah. Kerusakan dan kerugian cukup besar dan jelas terlihat karena Kota Banda Aceh merupakan ibukota provinsi Aceh yang tentunya memiliki banyak fasilitas umum, perkantoran, sekolah-sekolah, dan rumah-rumah penduduk. Pembenahan dan perbaikan sangat diperlukan sesegera mungkin agara roda kehidupan dapat berjalan normal kembali.
REKONSTRUKSI INFRASTRUKTUR DI BANDA ACEH PASCA TSUNAMI
Tsunami yang terjadi di Aceh terjadi bersamaan dengan kepulauan Nias sehingga pemerintah membuat rencana pembangunan kembali Aceh dalam Perpres beriringan dengan Nias. Secara sistematis rencana pembangunan kembali Aceh dan Nias pascabencana alam tsunami diatur dalam Perpres No. 30 Tahun 2005 yang berisi Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat NAD-Nias yang pelaksanaannya dilaksanakan oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD dan Nias, yang diketuai oleh Kuntoro Mangkusubroto. Dalam Perpres tersebut, cakupan rehabilitasi dan rekonstruksi diantaranya adalah aspek fisik, aspek hukum, serta pengembalian hak sipil dan martabat masyarakat (Bappenas). Upaya penyelesaian segala kendala adalah dengan cara meningkatkan koordinasi agar dapat tercapai Rencana Induk, lalu penyusunan berbagai peraturan untuk mempercepat rehabilitasi dan rekonstruksi, mengedepankan aspek keadilan terhadap semua pihak yang terkait, tata kepemimpinan yang baik, dan peningkatan kelembagaan dan sumber daya manusia.
Pembenahan dalam aspek fisik yang berupa perbaikan-perbaikan kembali fasilitas-fasilitas umum, rumah-rumah bantuan, sekolah-sekolah, dan kantor-kantor pemerintahan. Fasilitas umum yang terkait sektor perhubungan seperti jalan, jembatan, pelabuhan, dan bandar udara merupakan sektor vital karena setelah tsunami untuk akses keluar Aceh maupun antar kabupaten/kota sangatlah sulit akibatnya pendistribusian bantuanpun menjadi terhambat. Pembenahan pada aspek hukum yaitu dalam penyelenggaraan administrasi pemerintah, hak keperdataan, perwalian, pertanahan, dan perbankan. Permasalahan dalam bidang hukum ini merupakan aspek yang harus cepat mendapat penangan agar dapat mengembalikan roda perekonomian, kondisi psikologis masyarakat, dan normalisasi pemerintahan.
Agar proses rekonstruksi dapat berjalan, tentunya membutuhkan biaya yang sangat besar karena jangkauan pembangunan meliputi keseluruhan provinsi Aceh. Sumber dana yang didapatkan berasal dari multi donor, NGO, APBN, dan APBD. Berdasarkan Perpres, BRR memiliki tahapan-tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi. Pada tahap awal yaitu tahun 2005 dan 2006 sumber dana dialokasikan untuk pemulihan kondisi darurat kebencanaan. Pada tahun 2005 sumber dana APBN (DIPA 2005) dan keberlanjutan pada tahun 2006 sumber dana APBN-DIPA 2005 yang diluncurkan (DIPA-Luncuran 2006) dengan total dana sebesar Rp2.492.371.292.055 atau sebesar 62,83 persen dari keseluruhan APBN 2005. Sedangkan untuk kegiatan tahun 2006 sumber dana (DIPA 2006), dana yang diserap sebesar Rp639.261.158.729 atau sejumlah 6,65 persen dari total keseluruhan APBN 2006. Kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi yang dapat terselesaikan diantaranya untuk daerah Kota Banda Aceh adalah rumah baru, gedung sekolah, penambahan guru, penambahan fasilitas kesehatan, penambahan fasilitas ibadah, tersalurkannya kredit mikro untuk usaha kecil dan menengah (UKM), pembuatan kapal nelayan, rehabilitasi tambak yang rusak, pembuatan sawah dan kebun yang rusak, pembangunan jalan yang rusak, pembangunan jembatan, rehabilitasi pelabuhan laut, dan pembangunan bandara udara.
Kemudian untuk tahun 2007 sampai dengan 2009 berfokus pada upaya penyelesaian perumahan, pembangunan kembali sarana dan prasarana wilayah, pemulihan kondisi perekonomian dan peningkatan kesejahteraan masyarakat korban bencana, serta penguatan kelembagaan pemerintah daerah dan masyarakat. Pada 2007 penargetan selesainya pembangunan rumah dan pengungsi dapat dipindahkan ke rumah hunian sementara tidak di tenda lagi dan melanjutkan pembangunan infrastruktur fisik. Pada tahun 2008 terus dilanjutkan pembangunan infrastruktur fisik dan infrastuktur wilayah lainnya agar dapat mengembangkan sektor-sektor industry dan jasa, serta dimulai pembangunan dan revitalisasi kawasan-kawasan potensi wisata, serta penataan kawasan-kawasan bisnis dan komersial. Pada tahapan terakhir yaitu tahun 2009, penyelesaian seluruh pembangunan kembali sarana dan prasarana fisik serta proses pemantapan pengembangan kapasitas (capacity building) dan proses transfer dalam rangka penyerahan kembali tugas dan fungsi pelaksanaan pembangunan pada pemerintah (succession strategy).
KEADAAN MASYARAKAT DAN PEMERINTAH KOTA BANDA ACEH DALAM MENYIKAPI INFRASTRUKTUR YANG DIBANGUN
Upaya pembangunan kembali Aceh menjadi lebih baik setelah bencana alam dahsyat tersebut diupayakan keras oleh berbagai pihak dari dalam negri maupun luar negri. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, pemerintah pusat mengutus BRR untuk mengoordinasikan segala kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di Provinsi Aceh. Namun ternyata sumber dana dari pemerintah tidak semudah itu cair. Kepala BRR Kuntoro Mangkusubroto menyatakan, untuk sementara BRR menggantungkan biaya operasional dari pinjaman ditambah bantuan dari luar negri (Tempo 2005). Namun pada saat yang bersamaan ternyata Menteri Keuangan Jusuf Anwar menyatakan, pemerintah sudah mencairkan dana sebesar Rp 30 milyar untuk BRR (Tempo 2005). Dalam hal ini menandakan koordinasi antara pemerintah pusat dan BRR kurang memiliki koordinasi yang baik untuk mendanai segala proyek-proyek di Aceh maupun Nias.
Dalam bidang perekonomian, yang juga merupakan salah satu aspek rehabilitasi dan rekonstruksi, Ketua BRR, Kuntoro Mangkusubroto, menyatakan bahwa terdapat hambatan dalam pengembangan ekonomi masyarakat Aceh selama masa rehabilitasi dan rekonstruksi yaitu tingginya tingkat kredit seret (Tempo 2005). Kredit seret yang diminta oleh pihak perbankan sangat menyulitkan masyarakat karena harta benda yang telah habis terhanyut oleh gelombang tsunami. Hal ini pun diakui oleh Walikota Banda Aceh, Mawardi Nurdin, yang menambahkan penghambat pergerakan okonomi juga diakibatkan minimnya kucuran kredit perbankan bagi pengusaha kecil (Tempo 2005). Keadaan yang demikian seharusnya dapat ditangani segera oleh pemerintah pusat karena hal ini dapat menghambat pembangunan di Aceh.
Infrastruktur yang dibangun pada masa pengerjaan oleh BRR telah dibangun 8.947 unit rumah yang dibangun di Kota Banda Aceh dari jumlah 41.734 unit rumah di seluruh Aceh pada tahun 2005–2006 (Bappenas) ,yang tentunya terus bertambah hingga akhir kepengurusan BRR, namun ternyata terbengkalai dan tidak dipergunakan sampai saat ini (Heru Prasetyo, Direktur Hubungan Internasional BRR, 2014). Ungkapan ini disampaikan dapat terjadi diakibatkan masyarakat Aceh cenderung lebih memilih untuk tinggal di daerah datarang rendah sedankan rumah-rumah bantuin banyak dibangun di daerah perbukitan untuk mengantisipasi terhadap bencana yang dapat datang secara tiba-tiba. Meskipun demikian, masyarakat berhak untuk menentukan pilihan hidupnya sendiri tanpa paksaan dari pihak manapun.
Tak hanya rumah-rumah bantuan yang terbengkalai, di Desa Lambung, Kecamatan Meuraksa, Banda Aceh terdapat Puskesmas pembantu sumbangan dari Bulan Sabit Merah yang tidak dipergunakan. Kondisinya pun sudah buruk akibat tidak ada perawatan. Enam kilometer dari puskesmas pembantu tersebut, terdapat sebuah gedung berlantai dua yang didepannya tertulis “Samsung IT Lerning Centre”. Gedung tersebut juga tidak mendapat perhatian oleh pemerintah daerah. Gedung tersebut merupakan bantuan dari perusahaan teknologi Korea Selatan yang diresmikan pada November 2009. Padahal apabila digunakan dan di rawat dengan baik kedua gedung tersebut dapat membantu masyarakat banyak.
Izza Yusriyah
Planologi 2015
Sumber :
Ameera. 2014. ‘Galeri foto tsunami Aceh dulu dan sekarang’. Arrahmah. http://www.arrahmah.com/news/2014/12/26/galerti-foto-tsunami-aceh-dulu-dan-sekarang.html
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. <n.d.>. Bab 34: Rehabilitasi dan Rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias, Sumatra Utara, serta Daerah Pasca Bencana Lainnya. Indonesia.
Bonasir, Rohmatin. 2014. ‘Banyak gedung bantuan tsunami Aceh’mubazir’’. BBC. http://www.bbc.com/indonesia/berita_
indonesia/2014/12/141222_aceh_tsunami_gedung.
Lubis, A, Sari, H, P, Haptasari, D, T, Suriani, O, & Supraptini . 2007. ’Perubahan Lingkungan Perumahan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Setelah Tsunami’. Media Litbang Kesehatan. vol. XVII, hal. S64.
Perpres No. 30 Tahun 2005 tentang Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat NAD-Nias yang pelaksanaannya dilaksanakan oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD dan Nias
Priharnowo, Thoso. 2005. ‘Dana untuk badan rekonstruksi cair Rp30 Miliar’. Tempo. https://bisnis.tempo.co/read/news/2005/05/18/05661159/dana
-untuk-badan-rekonstruksi-cair-rp-30-miliar.
Priharnowo, Thoso. 2005. ‘Kredit perbankan macetkan pembangunan di Aceh’. Tempo. https://bisnis.tempo.co/read/news/2005/10/04/05667530
/kredit-perbankan-macetkan-pembangunan-di-aceh.
Suprapto, H, & Husein, Z. 2014. ’10 Tahun Tragedi Tsunami, Jangan Terulang Lagi’. Vivanews. http://m.news.viva.co.id/news/read/ 572064–10-tahun-tragedi-tsunami-jangan-terulang-lagi.
Afif. 2014. ‘Melihat Pembangunan Aceh Pasca Tsunami’. Mongabay. http://www.mongabay.co.id/2014/12/28/melihat-pembangunan-aceh-pasca-tsunami/