Menyebrang Lewat Stasiun
Fasilitasku kini berbayar
Menyusuri jalur KRL Kota Jakarta, sempat saya mendengar kontroversi di Stasiun Universitas Pancasila. Ada apa? Nampak normal, seperti stasiun-stasiun lain yang tetap beroperasi di hari liburan sekolah. Namun, entah bisa dibilang unik atau menyebalkan, stasiun ini menghadang jembatan penyebrangan orang (JPO) dan menyebabkan masyarakat umum harus membayar jika ingin menyebrang. Fasilitas free out sudah dihapus sejak Desember 2015 karena pihak PT KAI menganggap pengguna Commuter Line tidak butuh pengantar sampai ke pintu kereta.
Pilihannya hanya dua: membayar untuk menyebrang, atau membayar naik angkutan umum yang tarifnya lebih tinggi karena harus memutar jalan. Mau tidak mau, pejalan kaki harus menggunakan JPO dan membayar sebesar Rp2.000,00. Pilihan lainnya ialah menyebrangi jalan Lenteng Agung yang selalu padat. Pilihan ketiga tidak direkomendasikan karena membahayakan pejalan kaki dan pengguna jalan.
Hanya dua ribu, apa salahnya membayar?
Ya tentu salah. Fasilitas semacam JPO seharusnya bisa digunakan gratis, namun berbayar. Jika dalam sehari satu orang pergi dan pulang melewati stasiun sudah Rp4.000,00, maka dalam sebulah ia bisa menghabiskan Rp96.000,00 hanya untuk menyebrang jalan. Pun yang melewati jembatan bukan hanya pegawai kantoran, anak sekolahan juga menggunakannya. Dana bulanan akan cepat habis hanya untuk menyebrang.
Mengutip dari Media Indonesia, salah seorang pengguna JPO mengutarakan memang lebih baik membayar melewati stasiun karena lebih dekat dan praktis. Namun jika sedang terburu-buru memang menjengkelkan, karena kartu tiket masuk stasiun baru bisa dipakai lagi untuk akses keluar minimal tiga menit setelah digunakan untuk akses masuk. Masalahnya, tidak semua orang rela membayar dua ribu rupiah hanya untuk menyebrang.
Tidak hanya Stasiun Universitas Pancasila, Stasiun Tanjung Barat dan Stasiun Lenteng Agung juga membuat penyebrang jalan yang akan menggunakan JPO membayar. Mengutip dari Media Indonesia, Wali Kota Jakarta Selatan Tri Kurniadi sudah mengajukan usul kepada dinas perhubungan untuk membuat JPO lain. Namun hal ini baru bisa terlaksana tahun depan.
Membuat JPO harus memperhatikan banyak hal dan tidak bimsalabim langsung selesai. Supaya tidak menjadi masalah yang lebih besar, lebih baik kembalikan kebijakan free out oleh PT KAI. Memang beresiko karena wilayah stasiun penuh karena dimasuki orang yang bukan penumpang. Namun memperhatikan daerah sekitar yang tidak memiliki JPO diluar stasiun, seharusnya membuat pihak KAI empati. Tidak masuk akal jika beralasan penumpang tidak perlu diantar, namun penyebrang harus membayar dan menetap di stasiun minimal tiga menit.
Referensi:
http://mediaindonesia.com/news/read/49844/nyeberang-jalan-kok-bayar/2016-06-09