Metamorfosis Ruang Publik Terhadap Nilai Indeks Kebahagiaan Warga Kota Bandung

Nadia Gissma K.
Naladhipa Narasanjaya
4 min readAug 9, 2016
Sumber : Dokumentasi Pribadi

Pembangunan kota yang terlalu mengarah pada kepentingan ekonomi telah menepikan kebutuhan masyarakat dalam berinteraksi. Di kota-kota besar di Indonesia masyarakatnya cenderung pasif dalam bersosialisasi karena tempaan pekerjaan yang mereka tekuni menyita lebih banyak waktu di banding untuk sekedar duduk santai bercengkrama. Selain tekanan ekonomi, pemicu lain dari tingkat stress masyarakat adalah penataan kota yang buruk.

Penataan buruk disini lebih ditekankan kepada kurangnya fasilitas ruang publik sebagai sarana interaksi masyarakat kota.

”Terbatasnya ruang publik, macet, atau baliho raksasa yang dipasang sembarangan justru meningkatkan stress masyarakat,” kata peneliti pada Pusat Kesehatan Mental Masyarakat Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Rahmat Hidayat.

Ruang publik secara umum adalah suatu ruang dimana seluruh masyarakat mempunyai akses untuk menggunakannya. Pada dasarnya merupakan suatu wadah yang dapat menampung aktivitas/kegiatan tertentu dari masyarakatnya, baik secara individu maupun kelompok (Hakim, 1987). Secara historis menurut Stephen Carr, dkk (1992), macam-macam tipologi ruang terbuka publik dalam perkembangannya memiliki banyak variasi tipe dan karakter antara lain :

a. Taman-taman publik (public parks),

b. Lapangan dan plaza(squares and plaza), yang termasuk lapangan dan

c. Taman peringatan

d. Pasar (markets),

e. Jalan (streets),

f. Lapangan bermain (playgrounds)

g. Ruang terbuka untuk masyarakat (community open spaces),

h. hijau dan jalan taman (greenways and parkways),

i. Atrium/pasar tertutup (atrium/indoor market place,

j. Tepi laut (waterfronts).

Beragam jenis ruang publik seharusnya memudahkan sebuah kota untuk menyediakan sarana tersebut. Pentingnya ruang publik sebagai salah satu sarana interaksi warga kota juga dibahas dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Secara spesifik, dalam pasal 28 disebutkan kewajiban kota menyediakan fasilitas Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH). Jadi jelas, setiap kota wajib memiliki kewajiban untuk menyediakan 30% dari luas kota untuk dijadikan ruang publik. Namun, fakta lapangan yang di dapat, kota-kota besar di Indonesia masih memiliki kesulitan untuk memenuhi hal tersebut sehingga tingkat stress pun kian meningkat melihat terbatasnya ruang publik.

Meninjau kota Bandung, kota ini merupakan salah satu kota yang dalam 3 tahun terakhir sedang gencar-gencarnya dalam pembangunan ruang publik. Semenjak terpilihnya Ridwan Kamil menjadi walikota, pembangunan ruang publik di Bandung sangat pesat. Hal ini merupakan salah satu program kerja pemerintah yang dilatarbelakangi oleh semangat menaikkan indeks kebahagiaan warga kota Bandung. Dilatar belakangi pendidikan sebagai arsitektur kota, Ridwan Kamil merealisasikan politic-willnya dalam menciptakan lebih banyak lagi ruang publik yang represntatif.

Masalah pertama yang teridentifikasi dari kota Bandung kala itu adalah warga kota Bandung mengarah kepada ciri-ciri kota yang sakit. Salah satu ciri kota sakit adalah warga kota enggan untuk berinteraksi di luar rumah atau bisa dibilang sibuk sendiri dengan urusannya masing-masing. Masalah tersebut lalu menggerakkan Kang Emil dkk begitu sapaanya, untuk memulai merealisasi program kerja dengan target kenaikkan indeks kebahagiaan warga kota Bandung.

Bandung salah satu kota yang sangat aktif di Jawa Barat tentunya tidak memiliki lahan yang cukup luas untuk pembangunan ruang publik baru berupa taman. Makadari itu, hal yang dilakukan oleh pemerintah adalah merevitalisasi ruang publik eksisting khususnya taman menjadi taman kota tematik. Metode pendekatan yang dilakukan pemerintah adalah dengan berdiskusi langsung dengan warga terkait dengan taman tematik apa yang warga kota Bandung butuhkan, sehingga keberadaan taman tematik tersebut dapat menarik warga kota untuk menghabiskan waktunya disana.

Beberapa bentuk revitalisasi taman eksisting yang dilakukan pemerintahan kota Bandung adalah, taman Alun-Alun Kota Bandung, Taman Vanda, Taman Balaikota, Taman Sungai Cikapayang, Taman Teras Cikapundung, Taman Pasupati, Taman Film dan masih banyak lagi. Hasil dari revitalisasi taman ini sangatlah menarik perhatian warga kota Bandung bahkan yang dari luar Bandung. Revitalisasi taman tidak hanya berupa penghijauan kembali tanaman namun juga dilengkapi dengan fasilitas jogging track, tempat menyalurkan hobi seperti area bermain skateboard, wahana anak, dan masih banyak lagi. Berikut beberapa cuplikan dari hasil revitalisasi ruang publik berupa taman di Kota Bandung

Dari cuplikan diatas, dapat dilihat antusiasme warga dalam menikmati taman sangatlah besar. Kini taman tidak lagi menjadi lahan kosong tempat daun berguguran, pemikiran negatif masyarakat terhadap taman yang kotor, pusat mangkal waria atau bahkan ladang berbuat dosa oleh pasangan muda kini sirna dengan penampilan taman yang lebih indah dan menyediakan beberapa sarana interaktif. Taman menjadi salah satu destinasi untuk menghilang penat, tidak hanya warga Bandung, warga dari daerah lain pun ikut serta dalam menikmati ruang publik ini.

Hasil dari revitalisasi ruang publik ini direspon baik oleh masyarakat kota Bandung. Hal ini dapat di buktikan dengan meningkatnya indeks kebahagiaan warga Bandung. Survey yang dirilis BPS Kota Bandung tahun 2014 menunjukkan angka indeks kebahagiaan warga kota bandung adalah 67,66 dari skala 0–100. Salah satu aspek yang merefleksikan substansi kebahagiaan warga kotanya adalah ketersediaan ruang publik yang baik.

Ruang publik merupakan hal yang sangat esensial untuk meningkatkan kebahagiaan warganya. Dengan adanya ruang publik, tingkat stress masyarakat bisa berkurang. Bersatu dengan alam sambil berinteraksi dengan keluarga merupakan cara ideal untuk menepikan fikiran dari penatnya rutinitas sehari-hari.

Nadia Gissma K.
15415093
Teknik Planologi, Institut Teknologi Bandung.

sumber : dokumentasi pribadi

--

--

Nadia Gissma K.
Naladhipa Narasanjaya

an urban planning scholar who shifted herself into agrarian studies.