Nasib Pedagang Kaki Lima di Kota Kembang

Fariz Agung
Naladhipa Narasanjaya
5 min readJul 4, 2016

Dua puluh tahun hidup dan besar di Kota Bandung membuat saya mencintai kota ini. Setiap sudut kota ini memiliki daya tariknya tersendiri. Dari mulai kawasan Bandung Utara yang dihiasi oleh pohon-pohon rindang yang membuat siapapun yang berada disana nyaman dengan segarnya udara disana, hingga kawasan Bandung Selatan yang merupakan salah satu pusat dari industri yang mengharumkan nama kota ini. Salah satunya adalah daerah Cibaduyut yang termasuk dalam kawsaan Bandung Selatan merupakan pusat dari sepatu dan berbagai macam aksesoris yang berbahan dasar kulit. Tak jarang masyarakat dari luar Kota Bandung atau bahkan dari luar Pulau Jawa sengaja berkunjung ke daerah tersebut untuk membeli barang yang menggunakan bahan dasar kulit.

Jika berbincang mengenai Kota Bandung dengan teman yang berasal dari luar kota, seringkali kota ini identik dengan taman-taman kekinian yang memiliki tema tersendiri. Adapula yang mengidentikan kota ini dengan pusat perbelanjaan besar yang menjual barang-barang dengan brand ternama. Tempat seperti Paris Van Java (PVJ), Trans Studio Mall (TSM), dan beberapa mall lain adalah beberapa tempat yang ramai dikunjungi baik oleh masyarakat. Sebenarnya, Kota Bandung itu bukan hanya tentang taman, mall, dan gedung bertingkat yang menjadi pusat perbelanjaan. Setiap elemen masyarakat yang tinggal di kota ini merupakan bagian dari Kota Bandung yang harus mendapatkan perhatian dan perlakuan yang sama, tak terkecuali dengan para pedagang kaki lima.

Pedagang kaki lima atau yang lebih sering kita dengar dengan sebutan PKL merupakan masyarakat yang melakukakan kegiatan perdagangan di pinggir jalan. Lantas, apakah di setiap pinggir jalan itu selalu ada PKL? Tentu saja jawabannya tidak. Mereka cenderung berada di sekitar daerah yang ramai dikunjungi masyarakat, seperti di sekitar pusat perbelanjaan, pasar, pusat rekreasi, pusat perkantoran, dan pusat pendidikan. Saat ini Kota Bandung yang memiliki julukan sebagai Kota Kembang sedang melsayakan penertiban PKL yang dianggap berjualan tidak pada tempat yang semestinya.

Penertiban PKL di berbagai titik di Kota Bandung tentunya didasari dengan tujuan mulia demi terciptanya kondisi ideal untuk masyarakat kota ini. Lantas muncul pertanyaan dalam pikiran saya, untuk masyarakat yang seperti apa? Saya melihat bahwa sebenarnya ada pula masyarakat yang merasa “tertolong” dengan kehadiran para PKL ini. Sebagai seorang mahasiswa, saya akan memberikan ilustrasi sederhana yang dapat kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Ketika mahasiswa harus berkegiatan sampai dengan malam hari, keberadaan PKL dapat “menolong” mereka untuk mendapatkan makanan yang layak dengan harga yang terjangkau. Bagi saya, PKL itu bukan hanya seorang pedagang, melainkan juga sebagai seorang teman. Tak jarang saya berbincang dengan mereka ketika sedang asyik menikmati santapan yang mereka siapkan. Dilihat dari segi ekonomi, keberadaan PKL pun sebenarnya menguntungkan. PKL dapat menyerap tenaga kerja dan mengurangi angka pengangguran. Dilihat dari segi sosial dan budaya, PKL dapat menghidupkan suasana suatu kota. Beberapa kelompok masyarakat dapat menikmati euphoria konsumsi dengan kehadiran PKL. Di lain sisi, ada anggapan bahwa PKL adalah salah satu citra buruk yang merusak ketertiban dan keindahan suatu wilayah perkotaan.

Beberapa waktu lalu ketika mengunjungi PKL di Jalan Purnawarman yang telah direlokasi dari tempat mereka biasa berdagang, saya mendengar kisah dibalik relokasi tersebut. Ternyata, tidak semua PKL mendapatkan tempat untuk berjualan sebagai mana mestinya yang telah dijanjikan oleh pihak yang merelokasi. Selain itu, fasilitas seperti air dan listrik pun tidak memadai. Seorang PKL bercerita bahwa laba yang diperoleh pun turun secara signifikan. Prinsip “dimana ada keramaian, disana ada PKL” tidak bisa berlaku di tempat relokasi ini karena tempat relokasi ini bukan tempat yang ramai dilalui masyarakat. Salah seorang PKL bercerita bagaimana sulitnya mencari nafkah setelah relokasi ini dilakukan. Jangankan berbicara untuk membiayai pendidikan anak-anaknya, berbicara untuk membeli makan untuk kehidupan sehari-hari pun terasa sulit pasca relokasi ini dilakukan. Beliau menambahkan bahwa nasib beliau yang seperti ini masih lebih beruntung dibandingkan dengan nasib temannya yang tidak mendapatkan tempat untuk berjualan pasca relokasi. Lokasi awal para PKL ini berjualan memang termasuk kedalam zona merah yang harus bersih dari para PKL.

Fenomena lain yang berkaitan dengan PKL dan kota kembang baru saja terjadi beberapa hari lalu di Kawasan Alun Alun Kota Bandung. Kawasan ini tentunya adalah kawasan yang sangat strategis mengingat lokasinya dekat dengan Mesjid Agung yang menjadi salah satu ciri khas Kota Bandung dan dekat dengan Kawasan Dalem Kaum yang merupakan salah satu kawasan perbelanjaan yang ramai dikunjungi masyarakat, terutama jika sudah dekat dengan hari raya seperti ini. Aktivitas publik yang ramai di sekitar kawasan ini menjadi daya tarik tersendiri untuk para PKL melakukan kegiatan perdagangan di sekitar area ini. Beberapa hari yang lalu, PKL di Kawasan Alun Alun ditertibkan dan barang dagangan mereka pun disita. Merasa tidak terima dengan perlakuan seperti ini, para PKL menyerang Posko Satpol PP. Ketika itu, Kericuhan pun tak dapat lagi terhindarkan untuk terjadi. Padahal, di kawasan tersebut banyak masyarakat yang sedang berbelanja. Tak lama kemudian, diturunkan personel pengamanan dari militer yang bersenjata lengkap. Kondisi yang terjadi saat itu sangatlah menakutkan karena baru kali ini saya melihat militer membawa senapan laras panjang di ruang publik.

Fenomena yang berkenaan dengan PKL ini bukanlah hal yang pertama kali terjadi di Indonesia, bahkan di dunia. Kota Bandung dapat mengambil pembelajaran dari kota lain yang pernah mengalami fenomena yang serupa. Relokasi PKL bukanlah hal yang dapat dilakukan dengan cepat. Berkaca pada relokasi PKL di Kota Solo pada saat Pak Jokowi menjadi walikota, upaya pembinaan PKL dilakukan secara bertahap. PKL tidak diposisikan sebagai objek perencanaan kota, tetapi dilibatkan dalam diskusi yang dilakukan bersama dengan pihak lain, seperti praktisi akademisi, komunitas terkait, hingga warga sekitar. Diskusi ini merupakan kajian mengenai pembinaan PKL yang meliputi lokasi yang sesuai sebagai tempat relokasi serta pengawasan zona merah. Aspek seperti kesesuaian lingkungan, dekatnya kawasan dengan target konsumen, dan estetika tentunya menjadi aspek yang harus dipertimbangkan dalam memilih lokasi akhir. Hal ini ditujukan supaya lokasi dari relokasi dapat menguntungkan berbagai macam pihak, dari mulai PKL yang bersangkutan, masyarakat sebagai konsumen, termasuk keberlanjutan dari suatu perencanaan yang telah dibuat di kota tersebut. Proses perencanaan dari diskusi panjang yang telah berlangsung setidaknya dapat menghasilkan suatu denah yang berisi penempatan para PKL di lokasi setelah relokasi.

Paparan yang dimuat dalam paragraf diatas merupakan alternatif solusi yang saya pikir dapat mengentaskan permasalahan yang berkaitan dengan PKL di Kota Bandung. Memang benar adanya, jika saya bukanlah seorang pakar yang telah memiliki pengalaman dan kelimuan yang mumpuni untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di suatu kota. Saya hanya seorang pemuda yang peduli akan fenomena yang terjadi di Kota Bandung. Meskipun demikian, bukan berarti diam itu lebih baik daripada mengasah kemampuan berpikir solutif terkait permasalahan yang terjadi di suatu kota. Selepas solusi yang telah diungkapkan dapat benar-benar menyelesaikan permasalahan tersebut ataupun tidak, setidaknya kita telah mencoba untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Ketika kita gagal, disana kita mendapat pembelajaran tentang kekurangan diri yang menyebabkan permasalahan tersebut tidak terselesaikan. Sebagai seorang pemuda, aware dengan lingkungan sekitar merupakan hal yang mutlak untuk dimiliki dan terus diasah. Karena nasib Indonesia dua puluh tahun mendatang bergantung pada pemuda yang hidup pada masa kini.

--

--