Teruntuk Teman yang Paling Aku Segani

Fariz Agung
Naladhipa Narasanjaya
3 min readNov 4, 2016

Sudah lama sekali aku tidak menulis disini. Berliterasi melalui diskusi kemudian mengekstrak informasi yang aku anggap penting di buku kecil yang ada di saku belakang celanaku lebih menyenangkan daripada menulis. Kalau bukan hal yang penting sepertinya tidak akan aku menulis seperti apa yang sekarang aku lakukan, namun ada hal yang berbeda kali ini. Ini semua bukan tentang tugas interaksi seperti kali terakhir aku menulis, melainkan tentang apa yang terus mengalir di pikirianku.

Selama ini, hingga menginjak usia ke dua puluh tahun, baru kali ini aku begitu segan dengan teman sendiri. Bukan karena postur tubuh yang besar, wajah yang seram, ataupun karena kemampuan mengintimidasi yang tak segan untuk berkelahi. Bukan pula karena aku tahu jika “berurusan” dengannya nasibku akan malang, ini semua karena budi pekerti dan tata karma yang tertanam dalam dirinya.

Dia adalah seorang teman yang tidak banyak bicara, tetapi sekalinya bicara sungguh berbobot apa yang disampaikannya. Ketika semasa rangkaian osjur banyak tugas yang harus kami kerjakan, tak pernah sekali pun aku mendengar dia mengeluh. Ketika group di social media sempat panas karena banyak hal yang harus dikerjakan, sedangkan banyak diantara kami yang masih berlibur di kampung halaman masing-masing, tanpa banyak bicara dia mengambil banyak peran dan menyelesaikan apa yang harus dikerjakan disaat yang lainnya sibuk berargumen. Dia mengajarkan kami makna dari quotes “Work hard in silence, let your success make the noise!” tanpa banyak basa basi.

Pada suatu hari ketika rangkaian osjur, aku ingat betul saat itu jam sudah menunjukkan pukul 2 pagi. Aku melihat dia masih layouting majalah yang ketika itu menjadi salah satu tugas interaksi. Ketika itu aku ingin sekali membantunya, tapi sedihnya aku tidak tahu bagaimana caranya karena tidak pernah melakukannya sebelumnya. Akhirnya, aku hanya bisa duduk menemaninya hingga dia selesai mengerjakan tugasnya. Kali itu aku merasa malu kepada dia dan diriku sendiri dan bertekat untuk belajar layouting supaya jika ada kejadian serupa, aku bisa membantunya.

Beberapa hari yang lalu, aku mendengar kabar duka yang menimpa temanku yang satu ini. Ayahandanya telah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Ketika mendengar kabar itu hatiku bergetar dan pikiranku kosong untuk sejenak. Kenagan yang ada di dalam memori membawa aku kembali pada suasana ketika saudara kandungku mengalami hal yang sama dengan apa yang temanku alami. Sudah tiga orang saudaraku mengalami hal yang seperti ini. Walaupun aku belum pernah mengalaminya, tapi aku yakin ini adalah bagian dari realita kehidupan yang sangat sulit untuk dilewati..

Sore itu, sebelum aku mendengar kabar duka tentang ayahnya, aku dan beberapa orang naldhip lain sedang berdiskusi tentang hearing 2 yang akan dilaksanakan pada malam hari itu. Ada beberapa hal yang membuat kami agak hectic karena ternyata ada materi yang belum termuat di power point yang akan dipresentasikan. Seketika suasana menjadi hening setelah kami mendengar kabar duka itu. Suasana duka menyelimuti kami yang ada disana. Lalu, kami memutuskan untuk segera menemui dia yang berada di kostnya.

Sesampainya disana, mulut ini terasa gagap tak tahu apa yang harus diucapkan. Entah mengapa, bahkan kala itu aku segan untuk menatap wajahnya. Begitu pula dengan temanku yang lain. Dia memang begitu hebat, masih bisa menyapa kami dengan senyuman hangatnya dikala suasana duka menyelimuti.

Ketika waktu shalat tiba, aku menjadi imam untuk temanku yang lain. Sebenarnya, aku sungguh bergetar waktu menjadi imam kala itu. Sekuat-kuatnya aku menahan diri untuk tidak meneteskan air mata dikala batinku menangis. Terlebih lagi ketika kita sama-sama berdo’a untuk almarhum ayahandanya selepas shalat berjamaah.

Perasaan yang sama ketika jam 2 pagi aku menemani dia layouting majalah kembali aku rasakan. Aku ingin sekali membantu, tetapi aku benar-benar buta apa yang harus aku lakukan, bahkan aku sangat bingung dengan apa yang harus aku ucapkan. Aku bersyukur pada malam itu mendapat kesempatan untuk ikut packing pakainnya ke dalam koper dan medapat kesempatan untuk berbincang dengannya sebelum dia pulang ke kampung halamannya.

Tulisan ini aku buat untuk temanku, Rizki Rayani. Rizki, maafkan aku belum bisa banyak membantu di kala situasi seperti ini. Aku belum terbiasa untuk menulis, tapi percayalah Ki, tulisan ini aku tulis menggunakan hati. Aku yakin bahwa Tuhan tidak akan memberi ujian kepada hambaNya kecuali mereka dapat melewatinya. Katanya, mereka yang dipanggil terlebih dahulu adalah orang yang dirindukanNya. Aku pun yakin bahwa Rizki adalah calon orang besar karena kepribadianmu berkata demikian. Jangan pernah sungkan untuk cerita tentang apapun itu Ki karena aku akan sangat senang ketika mendengarkan cerita atau apapun itu yang ada dalam pikiran atau mengganjal perasaanmu. Sebagai seorang teman, aku sangat ingin membantu apapun hal yang bisa aku bantu,namun kadang aku bingung darimana memulainya. Anggap saja aku adalah bagian dari keluargamu karena aku menganggapmu pun demikian. Aku pun yakin disini sangat banyak orang yang memiliki perasaan yang sama seperti apa yang aku rasakan.

Salam hangat,

Fariz Agung

4 November 2016

--

--