UNTUK BAKSIL

Kenyataan tidak seindah taman kota

Nabila Nurul Maghfirah
Naladhipa Narasanjaya
3 min readSep 12, 2016

--

Hari ini hari Minggu. Seperti biasa, bangun tidak terlalu pagi, berharap hari ini tidak akan pernah berlalu. Hingga akhirnya ku memutuskan berangkat menjelang tengah hari dengan sedikit berat hati. Kulaju sepeda motorku dengan esekali nyaris menabrak karena kantuk tak tertahankan. Beruntung, aku tidak pernah benar - benar jatuh.

— — —

Tanggung jawab mengobservasi lapangan telah menarikku >14km dari rumahku menuju Ganesha dan sekitarnya pada H-1 Lebaran ini. Tanggung jawab yang bisa saja kutinggalkan, seandainya aku tidak peduli. Ah, jika saja aku pergi mudik. Itu pikiran nakalku.

Deliniasi wilayah observasi kami kali ini meliputi empat daerah yang notabene kawasan permukiman padat penduduk di sebelah timur hingga utara kampus. Lebak Siliwangi menjadi bagianku untuk diobservasi bersama empat orang lainnya. Jujur, ini pertama kalinya aku menjadi seorang surveyor yang benar — benar berinteraksi dan berkomunikasi dengan warga secara langsung.

Lebak Siliwangi, sebuah kawasan permukiman di bantaran Sungai Cikapundung, telah ada sejak puluhan tahun lalu. Di atas lahan yang luasnya tak seberapa, hidup ratusan warganya baik yang merupakan penduduk asli maupun pendatang. Lebar jalan ‘utama' di gang Jalan Siliwangi Dalam hanya dapat memuat satu sepeda motor dan selebar itu pulalah jarak antar rumah yang berseberangan. Terus berjalan, berhenti untuk mewawancarai, atau kembali secepatnya adalah pilihan — pilihan yang kubuat saat mengitari kawasan ini. Karena untuk mondar — mandir tanpa tujuan di sini membutuhkan rasa percaya diri tinggi mengingat akan selalu ada warga yang dapat melihat langsung pergerakan kita dari jarak selangkahan kaki.

Kepadatan tempat tinggal di sini menjadi hal yang paling menyita perhatianku. Rumah — rumah yang dibagun beberapa di antaranya hanya seukuran kamar kos dan menjadi tempat tinggal bagi 3–4 orang anggota keluarga. Sungguh ironis. Beberapa bahkan tampak ‘dipaksakan' di bangun di antara dua bangunan sehingga membuat semakin sumpek saja. Seketika aku merasa betapa hinanya aku jika tidak bersyukur kepada-NYA atas nikmat tempat tinggal seutuhnya yang jauh berbeda dengan kondisi mereka.

Lalu, apakah kondisi yang memprihatinkan tersebut menjadi masalah besar untuk warga?Nyatanya tidak satu pun dari empat responden menyebut bahwa kepadatan itu menjadi masalah bagi mereka.

“Nyaman — nyaman aja Neng.”

Udah dari dulu ini mah gini, jadi biasa.”

Ya ampuuuun. Aku hanya dapat mengangguk — ngangguk tanda sepakat sebagai kamuflase dari hatiku yang memberontak.

Namun, disadari atau tidak, di sini terdapat sebuah dampak konkret dari padatnya permukiman di Siliwangi Dalam ini, yaitu MCK (mandi, cuci, kakus) umum. Dengan kondisi bangunan rumah yang ukurannya sangat minim, sebagian warga memanfaatkan fasilitas tersebut untuk kebutuhan sehari — hari karena ketiadaan MCK pribadi di rumahnya. Seorang responden menyebutkan bahwa hampir setiap pagi warga harus mengantri untuk bergiliran menggunakan MCK umum tersebut. Tanpa melalui pendeskripsian oleh narasumber, dengan melihatnya langsung, MCK tersebut tampak tidak memiliki indikator kesehatan maupun kebersihan. Gelap dan kotor. Letaknya yang berada di bawah bangunan mesjid dengan penerangan yang minim bahkan membuat saya bergidik melihatnya.

Di sini setiap pagi warga mengantri

Entah berapa jumlah pasti warga yang menggunakan MCK ini setiap harinya. Yang pasti, kesadaran penggunanya dalam memelihara dan merawat fasilitas ini masih kurang. Padahal, MCK sebagai kebutuhan utama sehari — hari pemeliharaannya perlu diperhatikan karena menyangkut kebersihan dan kesehatan manusia yang beraktivitas di dalamnya.

Hmmm.

Barangkali, keterbiasaan hidup dalam kondisi seperti itu telah membuat mereka lupa akan hak mereka untuk mendapat kondisi permukiman yang lebih baik. Atau para warga sebenarnya menjerit dalam hati tanpa mau mengungkapkannya pada kami?Tidak mau, karena menganggap kami hanya mahasiswa yang suka bertanya fenomena tanpa beraksi nyata?

Oleh karena itu, aku merasa kita sebagai mahasiswa ITB yang notabene merupakan ‘tetangga' para warga Baksil ini diharapkan dapat berkontribusi dalam menciptakan sebuah kehidupan yang lebih layak bagi masyarakat. Melalui pengembangan masyarakat yang akan dilakukan, kita dapat melakukan berbagai tindakan yang berdampak bagi mereka meski hanya sekedar berupa sosialisasi. Minimal, mereka nantinya akan memiliki pengetahuan dan kesadaran yang berkelanjutan.

Semoga saja, kesejahteraan warga kampung Baksil ini dapat membaik sebaik desain Teras Cikapundung yang asri dan menyejukkan.

— — —

Dengan segala kekurangan tulisan ini dibuat di Bandung,

menjelang bakar sate

Oleh manusia Riung Bandung

--

--