Zonasi dan Polemiknya

Shafira Prameswari
Planologi ITB 2017
Published in
3 min readJul 14, 2018

Mereka yang bukan pengamat pun pasti sudah familiar dengan istilah ini: zonasi. Sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang baru diterapkan secara masif pada tahun ajaran 2018-2019 ini memang menjadi sorotan di berbagai media dan menuai banyak respon kontra dari kalangan masyarakat. Tadinya saya enggan berbicara tentang ini karena tidak terlalu mengamati perkembangannya—lagipula, tanpa saya tambah pun sudah cukup banyak protes yang tersampaikan dan amarah yang tersulut. Namun kemudian suatu wawancara dengan Menteri Kebudayaan dan Pendidikan (Mendikbud) Pak Muhadjir Effendy suatu pagi menggugah saya hingga akhirnya saya memutuskan untuk berkomentar juga, seperti warganet lainnya.

Sebelumnya saya hendak menggarisbawahi dulu kalau saya bukan siapa-siapa; bukan praktisi, bukan ahli, bukan juga pemberi solusi. Pendapat saya adalah murni pendapat orang awam, yang hanya mengamati dari kejauhan di sela-sela kesibukan kampus. Saya juga sangat terbuka akan sudut pandang lain yang mungkin berbeda dengan pandangan saya ini.

Ketika mendengar tentang sistem zonasi ini dan ketentuannya yang menyatakan bahwa 90% kursi di sekolah-sekolah menengah dipersembahkan untuk mereka yang tempat tinggalnya dekat dengan sekolah, jujur saya kaget. Wah, banyak sekali. Apalagi jika dibandingkan dengan ketentuan di tahun-tahun sebelumnya (setidaknya di Bandung, di wilayah lain saya kurang tahu), peningkatan ini terbilang cukup drastis. Apakah tidak berlebihan?

Saya sudah mendengar tujuan dari sistem ini sejak lama. Pemerataan pendidikan, katanya. Pencegahan kemacetan, katanya. Bagian dari revolusi mental, katanya. Tapi memangnya masyarakat dan lapangan sudah siap menerima sistem ini? Memangnya infrastruktur yang ada sudah memadai? Saya rasa belum.

Saya mengambil sampel dari kecamatan saya sendiri, Kecamatan Cileunyi. Hingga hari ini Cileunyi baru memiliki dua Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan satu Sekolah Menengah Atas (SMA). Itu pun masih dengan kualitas yang begitu mengharukan—bahkan saya sendiri tidak ingin adik saya mengenyam pendidikan di sana kelak. Dan saya rasa jumlah yang masih minim itu belum sanggup menampung seluruh peserta didik dari segenap penjuru Cileunyi. Apakah keadaan lapangan yang seperti ini sudah masuk konsiderasi para pembuat sistem? Sepertinya belum.

Menurut Mendikbud pada wawancara yang saya simak di televisi, perubahan sistem ini memang sulit, tapi harus dilakukan demi Indonesia yang lebih baik. Kalau sistem sudah berubah, nanti akan dilakukan tindakan pendukung seperti redistribusi tenaga pengajar dan re-grouping sekolah-sekolah. Pertanyaan saya adalah, mengapa tindakan-tindakan tersebut tidak dilakukan terlebih dulu, kemudian—setelah infrastrukturnya memadai—baru diterapkan sistem zonasi? Mengapa yang terjadi malah sebaliknya? Pemerintah terkesan seperti “menumbalkan” satu angkatan untuk uji coba dan melihat hasilnya. Mengapa tampaknya begitu mudah mengorbankan begitu banyak hidup manusia?

Menurut Mendikbud lagi, pihaknya telah melakukan re-grouping di beberapa tempat. Emphasis di “beberapa tempat”. Mengapa baru beberapa? Mengapa tindakan-tindakan itu tidak dilakukan secara menyeluruh dahulu, baru berlakukan zonasi? Di mata awam seperti saya, ini tidak masuk akal. Memang tidak mudah dan akan memakan waktu lama untuk memperbaiki infrastruktur dengan skala sebesar ini, tapi mengutip Mendikbud sendiri, ini “demi Indonesia yang lebih baik”. Seharusnya persiapkan dulu infrastrukturnya, baru terapkan zonasi. Pemberlakuan zonasi tanpa kesiapan infrastruktur menurut saya terkesan gegabah dan malah berpotensi menimbulkan masalah baru alih-alih menyelesaikan yang sudah ada. Berikut adalah beberapa di antaranya.

Lebih diutamakannya jarak rumah alih-alih nilai Ujian Nasional (UN) akan mematahkan semangat belajar dan berkompetisi para peserta didik. Mereka akan merasa sia-sia belajar mati-matian jika pada akhirnya tetap kalah dengan mereka yang bertempat tinggal strategis. Hal ini bukan tidak mungkin dapat berujung kepada penurunan kualitas pendidikan Indonesia secara keseluruhan.

Masalah selanjutnya adalah terbukanya peluang untuk praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Walau bagaimanapun, citra sekolah favorit sudah melekat selama berpuluh-puluh tahun. Mengingat masyarakat Indonesia yang selalu ingin serba instan, jalan apapun akan dilakukan demi kursi di sekolah favorit—termasuk melalui “jalur belakang” sekalipun.

Kemudian, apabila sistem zonasi terus diberlakukan namun infrastrukturnya tak kunjung siap, masyarakat akan berpikir untuk pindah rumah ke pusat kota yang notabene lebih strategis demi hidup yang lebih mudah. Hal ini akan berujung ke semakin padatnya pusat kota dan semakin terbelakangnya kawasan suburban. Bukankah ini hanya akan menambah persoalan dan keruwetan?

Intinya, untuk kondisi lapangan seperti ini, saya rasa Indonesia belum siap menerima sistem zonasi. Perjalanan menuju kesiapan masih cukup panjang; apabila pemerintah bermaksud menerapkan sistem ini terus untuk ke depannya, menurut saya banyak tindakan yang harus dilakukan sejak sekarang.

Kurang lebih sekian opini awam saya. Saya terbuka untuk segala pro dan kontra karena sekali lagi saya bukan siapa-siapa. :)

--

--