BABS Pengotor Wajah Jakarta

Margaretha Aldora
6 min readAug 2, 2020

--

Tanda Dilarang BABS. Sumber Gambar : suara.com

Mendapat julukan sebagai kota metropolitan tidak serta-merta membuat Kota Jakarta memiliki fasilitas sanitasi yang baik melihat masih banyaknya kasus buang air besar sembarangan (BABS) oleh warganya. BABS/Open defecation sendiri adalah kegiatan buang air besar di luar ruangan (di lingkungan terbuka) dan bukan di toilet. BABS termasuk contoh kebiasaan yang tidak sehat dan tidak higienis serta menjadi salah satu isu penting yang harus diperhatikan oleh masyarakat karena berdampak buruk terhadap lingkungan dan dapat menjadi sumber penyakit bagi manusia.

Menilik kenyataan di Indonesia, khususnya Kota Jakarta yang statusnya pernah menjadi ibu kota negara sebelum pemindahan ke Kalimantan Timur, pasti banyak yang tidak menyangka bahwa masyarakatnya masih ada yang melakukan aktivitas BABS dan belum menggunakan WC. Jakarta merupakan rumah dari 13 sungai yang mengalir dari dataran tinggi Bogor dan akhirnya bermuara ke utara ibu kota. Tidak dapat dipungkiri bahwa warga Jakarta masih banyak yang menggunakan sungai dan melakukan aktivitas sehari-hari disitu, seperti mandi, minum, mencuci baju, piring, beras, ayam, membuang limbah rumah tangga, hingga buang hajat pun di sungai-sungai tersebut.

Oleh sebab itu, tidak heran jika catatan Kementrian Kesehatan tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) tahun 2019 menunjukkan bahwa warga Jakarta yang masih buang hajat sembarangan mencapai 111.810 keluarga. Kasus tertinggi ditemukan di wilayah Jakarta Utara yaitu sebanyak 51.253 keluarga. Wilayah Jakarta Pusat yang terdapat berbagai objek vital negara seperti Istana Negara, gedung kementrian, dan Monumen Nasional, juga masih tinggi, mencapai 18.529 keluarga. Bahkan, di Kabupaten Kepulauan Seribu, belum ada kelurahan yang telah terverifikasi bebas dari limbah tinja.

Perilaku BABS di Kota Jakarta ini menjadi isu yang krusial dan disebabkan oleh tiga faktor utama, yaitu masih rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya sanitasi, prasarana BAB seperti jamban dan septic tank dan yang terbatas, serta akses sanitasi yang tidak layak.

Untuk memahami permasalahan BABS di Kota Jakarta, tulisan ini akan dibagi menjadi lima bagian. Bagian pertama akan membahas mengenai kurangnya kesadaran warga akan sanitasi. Bagian kedua akan membahas keterbatasan prasarana BAB di Jakarta. Bagian ketiga akan membahas mengenai akses sanitasi yang tidak layak. Bagian keempat akan membahas mengenai dampak yang akan terjadi jika perilaku BABS ini terus berlanjut. Bagian terakhir, yaitu kelima, akan membahas mengenai apa saja upaya yang telah, akan, dan harus dilakukan oleh semua pihak untuk mengatasi permasalahan BABS di Kota Jakarta.

Penyebab pertama maraknya perilaku BABS di Kota Jakarta adalah rendahnya kepedulian masyarakat akan sanitasi. Bagi sebagian warga, buang hajat di sungai adalah hal yang biasa. Kebiasaan buruk ini ternyata telah berlangsung sejak 1980 dan terbawa hingga saat ini.

Masyarakat memang banyak yang tidak mampu membuat septic tank, namun jika mereka mampu sekalipun, mereka kurang peduli dan menganggap tidak apa-apa jika buang hajat sembarangan. Alhasil, realita masih adanya perilaku BABS ini bukan semata-mata karena ketidakmampuan membeli jamban dan tangki septik, melainkan soal kebiasaan pola pikir.

Penyebab selanjutnya yaitu terbatasnya prasarana BAB seperti jamban dan septic tank. Dalam panel diskusi bertajuk ‘Berkolaborasi Menuju Sanitasi Jakarta Sehat’ pada 16 Januari 2019, Deputi Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Oswar Muadzin Mungkasa mengungkapkan, jumlah penduduk ibu kota yang tidak mempunyai tangki septik (septic tank) mencapai setidaknya 475 ribu jiwa atau 117 ribu Kepala Keluarga (KK).

Hal ini tidak lepas dari faktor ekonomi dimana masih banyak warga yang tidak mampu dan dana anggaran dari pemerintah yang tidak mencukupi untuk membangun prasarana BAB yang memadai. Keterbatasan lahan juga menjadi kendala bagi warga yang tinggal di permukiman padat penduduk untuk membangun tangki septik. Banyak warga Jakarta yang memiliki rumah hanya berukuran 12 meter persegi sehingga mereka bingung ingin membangun septic tank dimana.

Karena keterbatasan prasarana tersebut, akhirnya warga memakai satu WC untuk beramai-ramai dan pembuangannya langsung ke kali seperti yang ditemukan di permukiman padat penduduk di RT 015/ RW 007, Kelurahan Tanjung Duren Utara, Kecamatan Grogol Pertamburan, Jakarta Barat. Mereka menyebutnya sistem helikopter.

Kemudian, penyebab ketiga permasalahan BABS di Kota Jakarta ini adalah akses sanitasi yang tidak layak. Menurut Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro, dalam berita yang ditulis Republika, sanitasi dikatakan layak apabila sudah tersedia MCK umum. Hal itu membuktikan bahwa sudah ada aksebilitas meskipun di rumah tidak ada sanitasi.

Sementara data Deputi Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup DKI Jakarta mengungkapkan bahwa jamban dalam kategori layak digunakan dan dimiliki warga Jakarta hanya mencapai 63,55 persen, sisanya tidak layak dan perlu perbaikan. Data Bappenas juga mengungkap rendahnya tingkat sanitasi aman di DKI Jakarta, yaitu hanya 19,07 persen. Sanitasi aman adalah fasilitas pembuangan kotoran tersedia di rumah-rumah dan terhubung dengan tempat pengolahan limbah rumah tangga.

Dari data-data tersebut, fakta mengenai akses sanitasi yang tidak layak akan mempersulit dan membuat siapa saja yang memakai merasa tidak nyaman karena jambannya rusak dan kumuh. Pada akhirnya, banyak warga Jakarta yang melakukan BABS.

Jika dibiarkan terus, permasalahan ini akan menjadi mimpi buruk bagi banyak warga Jakarta. Dampak yang sangat terasa yaitu tercemarnya lingkungan, kali dan sungai menjadi hitam dan berbau tidak sedap yang pastinya akan menganggu kenyamanan warga. Bayangkan warga membuang hajat di sungai tempat mereka juga mandi, mencuci, dan melakukan aktivitas lainnya. Apalagi dengan kondisi Jakarta yang sering banjir, lingkungan yang seperti ini tentu saja akan menjadi sumber penyakit bagi warganya, seperti diare, muntaber, penyakit kulit, berkurangnya sistem kekebalan tubuh, kekurangan gizi, bahkan kematian.

Untuk mengatasi isu BABS ini, sudah banyak pihak yang ikut terlibat di dalamnya. Upaya-upaya yang telah dilakukan antara lain, kampanye “Tinju Tinja” oleh UNICEF Indonesia yang bertujuan menumbuhan kesadaran masyarakat akan pentingnya sanitasi, pendataan kawasan di Jakarta yang belum mempunyai jamban sehat oleh ibu-ibu PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga), usaha pemerintah yang membangun sistem pengolahan limbah bernama Jakarta Sewerage Development Project (JSDP) dengan tujuan untuk melindungi air dari pencemaran aktivitas domestik seperti mandi, cuci, kakus, dan aktivitas rumah tangga lainnya, hingga Yayasan Wahana Visi Indonesia (WVI) Wilayah Jakarta yang menggiatkan pembangunan biofilter komunal, yaitu teknologi penampungan tinja alternatif lewat empat ruang penyaringan bawah tanah yang dibangun di dekat rumah penduduk dan mengurai tinja dengan bantuan bakteri dan mesin blower.

Selain itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga tengah merumuskan solusi dengan mengajukan Rp166,2 miliar untuk membangun septic tank komunal yang rencananya akan dibangun di 30 lokasi, khususnya di daerah-daerah pinggir kali dan permukiman padat penduduk serta anggaran Rp10 miliar untuk subsidi rehabilitasi septic tank pada 2020. Dengan adanya septic tank komunal dan subsisi rehabilitasi ini diharapkah warga Jakarta tidak lagi BAB sembarangan dan bisa membayar lebih murah saat septic tank miliknya diperbaiki oleh PD PAL Jaya.

Menurut saya, usaha-usaha tersebut akan membuahkan hasil yang maksimal jika seluruh warga Jakarta menumbuhkan kesadaran dalam diri masing-masing untuk tidak lagi melakukan kebiasaan buruk buang hajat sembarangan dan merawat sanitasi di rumah masing-masing. Selain itu, perlu juga dibuat peraturan yang menentang aktivitas BABS beserta sanksi tegas bagi mereka yang melanggarnya.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa permasalahan mengenai perilaku buang air besar sembarangan (BABS) oleh warga Jakarta disebabkan oleh tiga faktor utama yaitu kurangnya kesadaran masyarakat akan sanitasi, prasarana (jamban dan septic tank) yang terbatas, dan akses sanitasi yang tidak layak. Permasalahan ini merupakan isu penting yang tidak boleh diabaikan karena bisa berdampak negatif, sehingga semua elemen masyarakat Jakarta harus turut berperan aktif dalam menuntaskan permasalahan ini.

Referensi :

Clasen; Boisson; Routray; Torondel; et al. (2014). Effectiveness of a rural sanitation programme on diarrhoea, soil-transmitted helminth infection, and child malnutrition in Odisha, India: a cluster-randomised trial. The Lancet Global Health.

Triananda, Kharina. (2014, 19 November). Diakses pada 2 Agustus 2020 dari Beritasatu.com: https://www.beritasatu.com/kesehatan/226417/unicef-buang-air-besar-sembarangan-masih-dianggap-tradisi.

Sari, Nursita. (2019, 8 Oktober). Diakses pada 2 Agustus 2020 dari Megapolitan.kompas.com: https://megapolitan.kompas.com/read/2019/10/08/07202701/ini-solusi-pemprov-dki-atasi-masalah-limbah-wc-dibuang-ke-kali?page=all.

Jamil, A. I., & Ilham. (2016, 16 Maret). Diakses pada 2 Agustus 2020 dari Republika.co.id: https://republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/16/03/16/o44l1p361-warga-jakarta-masih-buang-air-besar-sembarangan.

Riyandi, Rizma. (2019, 19 Juli). Diakses pada 2 Agustus 2020 dari Ayojakarta.com: https://www.ayojakarta.com/read/2019/07/19/2481/sekelumit-masalah-limbah-tinja-dijakarta.

Putra, Yudhistira Dwi. (2019, 8 Oktober). Diakses pada 2 Agustus 2020 dari Era.id: https://www.era.id/read/nqU8zw-mengamati-langkah-brilian-pemprov-kelola-kotoran-warga-jakarta.

--

--