Kita

Yudhistira Arya
Planologi ITB 2019
Published in
3 min readAug 7, 2020

Manusia adalah makhluk yang lemah, sendiri. Namun nyatanya, kita berhasil menjuarai kompetisi alam di sebuah arena besar yang kita namakan Bumi, berkat satu hal, yaitu akal

Akal meliputi kecerdasan dan kesadaran atau consciousness. Kesadaran memungkinkan kita untuk membangun persepsi tentang siapa kita, siapa dia, dan apa-apa yang ada di sekitar kita. Akal memungkinkan kita membangun hubungan kompleks dengan sesama manusia lain. Kelompok-kelompok yang kita bangun itulah yang suatu saat nanti dapat didefinisikan sebagai society atau masyarakat.

Jika kita melihat society melalui konsep yang dikemukakan oleh pemerintah Jepang pada tahun 2015, maka manusia telah mengalami empat macam bentuk society. Bentuk yang pertama (society 1.0) merepresentasikan masa-masa awal manusia, ketika kita masih berburu dan meramu. Society 2.0 ditandai dengan munculnya budaya cocok tanam lebih dari 10.000 tahun yang lalu, dilanjutkan dengan society 3.0 yang ditandai dengan revolusi industri, dan sampailah pada society 4.0, bentuk kehidupan masyarakat yang saat ini sedang kita alami.

Dari tiap-tiap bentuk society yang telah kita lewati, terdapat satu aspek yang perubahannya perlu disorot. Aspek itu adalah kita, kelompok-kelompok yang menjadi tempat berinteraksi bagi manusia. Kita telah melangkah begitu jauh hingga kini, “kita” yang pada masa-masa pertama manusia mungkin hanya mencakup lusinan orang, dapat berubah menjadi “kita” yang barangkali kini telah mencakup seluruh umat manusia.

Society 4.0 menghadapkan kita pada peluang dan tantangan yang amat besar. Kemajuan teknologi membuat kita saling terhubung satu sama lain, jauh melampaui batas-batas geografis. Kemajuan teknologi juga memungkinkan kita untuk memahami dan menyadari segala sesuatu yang terjadi di muka Bumi. Namun, itu berarti kita juga akan menemukan masalah-masalah besar yang terjadi, seperti pemanasan global, ancaman ledakan populasi, dan lain sebagainya.

Pertanyaannya sekarang, dengan segala tantangan yang sudah kita sadari nyata adanya, mampukah manusia yang kini saling terhubung dan memiliki akses kepada informasi yang tak terbatas menghadapi tantangan-tantangan tersebut?

Jawabannya, ya dan tidak.

Kemajuan teknologi memungkinkan kita untuk menghadapi masalah — dalam skala tertentu. Sayangnya, kita masih harus banyak berbenah diri jika ingin menghadapi masalah-masalah tersebut dalam skala global. Di dunia yang semakin tua ini, kita belum mampu menjadi “kita”. Negara-negara saling menyalahkan atas bencana-bencana yang menimpa umat manusia. Padahal, untuk sesuatu hal yang berskala global, bukankah itu menjadi tanggung jawab kita semua?

Saya yakin, manusia akan belajar pada akhirnya. Bahwa di masa society 4.0, masa di mana kita saling terhubung satu sama lain, masa di mana informasi dan data dapat diakses dan dipahami dengan mudah, kolaborasi dan pemahaman sangatlah penting agar kita mampu mengatasi masalah-masalah yang akan dihadapi di masa depan.

Dengan pemahaman dan interaksi global itulah, manusia akan memiliki ide, wawasan, dan nilai-nilai bersama, membangun sebuah kesadaran bersama — collective consciousness — yang akan menjadi dasar-dasar penopang peradaban manusia kelak.

Jika kita sebagai masyarakat global belum mampu mengaburkan “kami”, maka rasanya perjalanan kita untuk menjadi masyarakat society 4.0 seutuhnya tidak akan pernah selesai.

Lagipula,

manusia adalah makhluk yang lemah, sendiri.

Sumber:

https://www8.cao.go.jp/cstp/kihonkeikaku/5basicplan_en.pdf

https://www.thoughtco.com/collective-consciousness-definition-3026118

https://www.independent.co.uk/news/health/coronavirus-china-iran-saudi-arabia-japan-south-korea-governments-a9384646.html

 by the author.

--

--