Ucapan Kebencian di Society 4.0 yang Merambat Begitu Cepat dan Tak Terkendali dari Mana Asalnya.

4 _Federico Hasan
Planologi ITB 2019
Published in
4 min readAug 6, 2020

--

Ilustrasi Ujaran Kebencian. (Sumber Foto: ternate.tribunnews.com)

Ujaran kebencian adalah sebuah tindakan dalam bentuk komunikasi atau lisan yang dilakukan oleh suatu individua atau kelompok dalam bentuk sebuah provokasi, hasutan, hinaan, cacian kepada suatu individu atau kelompok lain dalam berbagai aspek ras, suku , agama, warna kulit, gender, cacat, serta orientasi seksual. Ujaraan kebencian ini sudah dari dulu berkembang di masyarakat menurut Menurut catatan SAFEnet, setidaknya ada 215 orang di Indonesia yang pernah dijerat oleh pasal pencemaran nama baik yang terdapat dalam UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) sejak 2008 (Imaduddin. Firman, 2018).

Menurut data dari Iqbal Mahendra. Dero, Budaya Toleransi Redam Ujaran Kebencian. (2018, 3 Maret). Diakses pada 7 Agustus 2020, dari https://mediaindonesia.com/read/detail/147656-budaya-toleransi-redam-ujaran-kebencian.

Data Kasus Kejahatan Ujaran Kebencian. (Sumber Foto: mediaindonesia.com)

Berdasarkan data tersebut bahwa menjadi peningkatan kasus dari 1.829 pada tahun 2016 menjadi 3.325 kasus pada tahun 2017 atau naik sekitar 44,99%, lalu sebanyak 2.018 kasus selesai, serta 1,307 kasus yang belum selesai, dengan kasus hate speech terbanyak kasus penghinaan sebanyak 1.657 kasus, kasus perbuatan tidak menyenangkanb 1.224 kasus dan kasus pencemaran nama baik sebanyak 444 kasus.Berdasarkan bunyi Pasal 28 ayat (2) UU ITE: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”. Lalu ancaman pidana dari Pasal 28 ayat (2) UU ITE tersebut diatur dalam Pasal 45A ayat (2) UU 19/2016, yakni: “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar”.

Ujaran kebencian ini sangat beresiko bila terjadi di tengah — tengah masyarakat, karena dengan adanya ujaran ini akan menyebabkan perpecahan di tengah masyarakat, serta ditakutkan dapat menyebabkan suatu kelompok radikal yang dapat memecah persatuan dan kesatuan bangsa. Apa lagi dengan di era society 4.0 dengan bantuan dengan teknologi yang berkembang dengan pesat penyampaian informasi ini sering kali terjadi hyperreality, diamana sering hoax dan kesulitan dalam memisahkan kebenaran informasi, maka diperlukan suatu substansi hukum untuk mengatur penggunan teknologi yang berkembang pesat ini agar dapat disesuaikan dengan sosial masyarakat yang ada.

Telah disusun dalam undang-undang dengan tegas bahwa penyebaran ujaran kebencian ini adalah suatu yang dilarang karena dapat menganggu kesatuan dan persatuan Indonesia. Hal ini dapat mempengaruhi Collective Consciousnes, hal ini ditakutkan dapat menyebabkan kelompok yang merasa memiliki kesamaan atas yang menyebarkan ujaran kekesaran ini dan membentuk suatu kelompok yang semakin menyebar atas azas yang disebarkan oleh satu orang ini, lalu dapat menciptakan suatu kelompok radikal yang dapat menyerang suatu kelompok lain. Seperti yang dikutip dari Kompas.com “Seorang anggota satuan Sabhara Polres Asahan Aipda SP ditangkap karena diduga menyebarkan ujaran kebencian terhadap agama lewat akun jejaring soal Facebooknya. Postingannya memancing emosi dan menyinggung perasaan umat. Aipda SP diamankan Kamis (23/8/2018). “Pelaku kita tahan dan tengah menjalani pemeriksaan pidana dan kode etik profesi,” kata Kapolres Asahan AKBP Yemi Mandagi, Jumat (24/8/2018)”. (Leandha. Mei, 2018). Jika ujaran tersebut menyebar dan sampai dipercayai masyarakat itu dapat menyebabkan pertikaian antara kedua golongan masyarakat.

Dalam pembuatan atau penyusunan substansi hukum dalam menanggapi isu tersebut diperlukan Collective Wisdom yaitu diperlukan suatu ouput substansi yang dihasilkan dengan mekanisme tempuh yang musyawarah untuk mencapai mufakat atau pemungutan suara, diamana mendepankan semangat kebersamaan. Dihasilkannlah Pasal 28 ayat (2) UU ITE: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”. Lalu ancaman pidana dari Pasal 28 ayat (2) UU ITE tersebut diatur dalam Pasal 45A ayat (2) UU 19/2016, yakni: “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar”.

Penyebaran kebencian ini dapat diawali dengan Aksi Kolektif yang diamana, seorang penyebar dari suatu ujaran kebencian ini menyebarkan ujaran kebencian ini ke sekelompok masyarakat, lalu sekelompok masyarakaty ini merasa memiliki satu pandangan, maka mereka akan membentuk suatu kelompok guna mencapai suatu kepentingan Bersama yang dirasa sebagai tujuan yang sama setiap anggota. Dikarenakan anggota dari ujaran kebencian ini terus bertambah makanya dalam penyebaran informasi ini akan semakin kian mudah disebarkan dikarenakan pengguna social media yang ikut meningkat dan memudahkan penyebaran ujaran kebencian tersebut.

Di era society 4.0 ini diharapkan dalam penggunaan media sosial harus digunakan dengan bijak, perlunya pengetahuan atas penyebaran ujaran kebencian ini, dikarenakan masyarakat banyak masih meiliki pemikiran sempit dikarenakan kurangnya wawasan. Dibuatnya undang-undang Pasal UU ITE Pasal 28 ayat (2), ini adalah salah satu langka yang sangat tepat guna menjaga ketertiban di era society 4.0 dimana sangat sulit mengetahui infromasi mana yang benar dan tidak agar dapat ditindakkan dengan rana hukum semestinya. ujaran kebencian ini juga dapat dikontrol dengan adanya UU ITE ini diman orang-orang akan mulai berfikir apaka yang mereka sebar ini apakah suatu ujaran kebencian atau tidak.

Imaduddin. Firman, (2018, 2 Agustus). Diakses pada 7 Agustus 2020, dari https://www.remotivi.or.id/kupas/444/ujaran-kebencian.

Kompas.com, (2018, 9 Januari). Diakses pada 7 Agustus 2020, dari https://regional.kompas.com/read/2018/09/01/17202291/sebar-ujaran-kebencian-terhadap-agama-oknum-polisi-ini-ditangkap.

Thaniago. Roy, (2017, 13 September). Diakses pada 7 Agustus 2020, dari http://www.remotivi.or.id/amatan/410/Kasus-Dandhy-dan-Makna-Ujaran-Kebencian-yang-Cemar.

Iqbal Mahendra. Dero, (2018, 3 Maret). Diakses pada 7 Agustus 2020, dari https://mediaindonesia.com/read/detail/147656-budaya-toleransi-redam-ujaran-kebencian.

--

--