Beginilah Kenyataan Pluralisme Di Lasem

Khansamaria
PLURAL(IS)ME
Published in
4 min readOct 18, 2017

Ditulis sebagai refleksi pasca menyelesaikan kegiatan belajar keberagaman “Lasem Pluralism Trail 2017” 12–15 Oktober 2017.

Banyak konflik terpicu karena perbedaan, banyak kesenjangan timbul hanya karena kita tak bisa membedakan perasaan dan logika, tak mampu terbuka dengan suatu hal yang baru dan keberagaman. Dan peningkatan akan kesadaran keberagaman ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat di Indonesia secara khusus.

Warisan budaya kelenteng Chu An Kiong di Lasem yang masih berdiri kokoh

Di Lasem Pluralism Trail ini saya dapat melihat bagaimana pluralisme memang terwujud sudah sejak lama. Terlebih Lasem adalah tempat yang tak porak poranda sewaktu kerusuhan 1998 terjadi. Mungkin ada rasa iri dalam hati saya,

Kenapa saya tak terlahir di kota ini?”.

Namun apa boleh buat, selalu ada rencana menarik dari setiap kehendak Sang Pencipta untuk umatnya. Setidaknya kehidupan multikultural di Lasem dapat menjadi satu percontohan bagi warga masyarakat di kota lain.

Semula saya merasa ragu,

Apa iya sih di Lasem ini pluralisme benar-benar terwujud?”.

Dan setelah melalui 3 hari kegiatan Lasem Pluralism Trail, perlahan keraguan memudar. Karena saya menemukan banyak fakta dan kesaksian yang cukup mencengangkan.

Misalnya saja saat mengunjungi Pabrik Roti Indonesia, semua peserta dipertemukan dengan ibu Ratna Moestopo. Wanita yang lahir dari keluarga etnis Tionghoa pada 72 tahun silam itu bercerita, bagaimana dia tumbuh dan berkembang di lingkungan Indonesia. Bahkan semasa sekolah dia bersekolah di sekolah umum bukan sekolah khusus anak-anak Tionghoa, jadi wajar jika dia pun mengaku tidak bisa berbahasa mandarin apalagi menulis dengan tulisan kanji. Ibu Ratna justru lebih fasih berbahasa Jawa dan menulis aksara Jawa. Selain itu, ia pun tak pernah merasa bahwa orang sekitar mendiskriminasinya karena dia memiliki ciri fisik sebagai etnis Tionghoa, tak terjadi hal itu di Lasem.

Wah, ini sangat menarik. Karena setahu saya, di lingkungan saya di Cilacap, untuk ukuran orang seumuran dia, di zaman itu pasti sempat bersekolah di sekolah khusus warga etnis Tionghoa. Mempelajari bahasa Mandarin dan segalanya. Bahkan saat ini, anak-anak keturunan etnis Tionghoa lebih memilih disekolahkan di sekolah Katolik atau Kristen, karena risiko besar jika dimasukan ke sekolah negeri. Dan jelas saja diskriminasi sudah pasti terjadi.

Hal serupa yang membuat saya cukup tercengang adalah mengenai pengakuan yang diungkapkan oleh Bapak Sigit Witjaksono dari Rumah Batik Sekar Kencana. Beliau yang berusia 88 tahun itu memiliki seorang istri yang kental dengan etnis Jawa dan Muslim. Anak serta cucunya pun ada yang menganut agama Islam. Beragam kisah perjuangannya seputar akulturasi kebudayaan, bahkan perjuangannya menikahi sang pujaan hati cukup menarik. Mulai dari penolakan keluarga sang wanita yang tergolong priyayi, hingga keberanian pak Sigit membawa sang pujaan hati untuk menikah.

Ini sangat menarik, karena biasanya pernikahan antar etnis di jaman dulu sangatlah jarang. Misalnya di era kakek dan nenek saya, mereka cenderung menikah dengan sesama etnis Tionghoa. Karena mereka percaya bahwa jika dilanggar, maka hal itu akan berpengaruh pada rejeki di masa depan. Ya, mitos semacam ini memang kental diyakini kebenarannya bagi etnis Tionghoa. Berbeda untuk jaman sekarang, menikah dengan lain etnis sudah bisa dimaklumi dan diijinkan.

Lasem memang sangat berbeda dengan Cilacap. Di sini saya bisa melihat banyak orang berbaur, warga dengan etnis Tionghoa bukanlah hal yang eksklusif di sini. Misalnya dalam satu kelurahan Lasem, ada banyak percampuran yang terjadi, mulai dari ketua RT, warga setempat, pedagang-pedagang, dll.

Sangat berbeda dengan kota Cilacap, warga etnis Tionghoa lebih dianggap eksklusif dan cenderung berjarak. Hampir 90% warga etnis Tionghoa bertempat tinggal di pusat kota yang bentuknya pertokoan. Dan keberadaan kelenteng di Cilacap adalah untuk ibadah umat Konghucu, berbeda dengan di Lasem, Kelenteng Cu An Kiong justru dijadikan tempat kunjungan umum, dan untuk ibadah umat Konghucu disediakan tempat sendiri yang berjarak tak jauh dari kelenteng.

Kembali lagi ke Cilacap, bicara mengenai tempat tinggal. Sepanjang Jalan Ahmad Yani yang merupakan jantung kota Cilacap, bagian pinggir jalan dihuni oleh mereka yang beretnis Tionghoa, dan semua rumah adalah toko (ruko), sedangkan yang masuk ke gang-gang barulah dihuni warga etnis Jawa. Bahkan di kelurahan tempat saya tinggal hanya ada 4 rumah keluarga etnis Tionghoa, dan dari 4 itu semuanya masih bersaudara.

Lasem Pluralism Trail ini membuat saya benar-benar merasa WOW. Lasem memang layak disebut sebagai tempatnya pluralisme, dan ini membuat saya berpikir keras,

“Anak-anak di sini pasti tidak pernah dirundung karena mereka lahir di keluarga beretnis Tionghoa.”

Beginilah Indonesia seharusnya, saling menghargai dan saling menjaga keberagaman, karena pada dasarnya manusia terlahir dari keberagaman, dan tak ada yang seragam di dunia ini, bahkan untuk mereka yang katanya kembar identik sekalipun.

Tulisan ini juga dipublikasikan di:

***

--

--