Catatan Refleksi Lasem Pluralism Trail 2017 (1)

Zulyani Evi
PLURAL(IS)ME
Published in
5 min readOct 22, 2017

Perjalanan hari ini saya mulai dengan kereta jurusan Solo-Semarang di pagi buta; ditemani sisa-sisa kantuk anak muda yang terjaga menyelesaikan tugasnya. Beruntung saya ditemani semburat fajar yang masuk dari sela-sela tirai yang tersingkap pada jendela kereta. Pagi itu menjadi permulaan yang optimis bagi saya.

Sampailah saya pada tempat yang saya tuju. Di ruang kamar, saya menunggu hal seru akan terjadi pada hari ini. Pertemuan pertama saya adalah dengan seorang teman sekamar yang sangat ramah dan hangat. Perkenalan singkat menjadi cair seketika saat masing-masing kami saling melempar cerita.

Beruntung teman baru saya ini adalah seorang pendengar yang tekun, karena pagi itu saya sedang ingin cerita banyak mengenai pengalamannya menghadapi keberagaman, seperti yang ditulisnya dalam esai yang ditulis sebagai syarat mengikuti seleksi acara ini. Pertemuan dengan peserta lainnya membuatnya semakin penasaran dengan pemikiran-pemikiran mereka.

EIN. Satu.

Penyelenggara acara ini adalah EIN Institute. Dalam bahasa Jerman, Ein berarti satu. Saya rasa maknanya sangat dalam sehingga sulit juga untuk menjelaskannya dengan kata-kata. Sejak awal pendaftaran program ini dibuka saya langsung tertarik karena Lasem menjadi salah satu perhatian saya belakangan ini. Meskipun pada praktiknya saya baru menyelesaikan syarat pendaftaran di menit-menit terakhir.

Formulir pendaftarannya sangat atraktif bagi saya, baru kali ini saya mendapati formulir yang boleh tidak menyebut preferensi agama, etnis, dan gender. Ekspektasi saya melambung tinggi membayangkan kegiatan yang akan diadakan.

Ketika menerima surat elektronik yang menyatakan kalau saya lolos seleksi penerima beasiswa Lasem Pluralism Trail 2017, sontak kebahagiaan membuncah. Lasem Pluralism Trail merupakan kesempatan langka untuk belajar pluralisme ditambah bonus jelajah situs dan menggali sejarah Lasem yang menjadi laboratorium keberagaman kami.

Saat acara dibuka oleh Direktur Eksekutif EIN Institute, Ellen Nugroho, ia menekankan bahwa anak muda adalah ujung tombak. Kini ujung tombak ini sedang diberondong dengan serangkaian propaganda radikalisme dan rasisme. Maka yang ada hanyalah saling melukai saudara sendiri.

Berbagai lembaga survei membuktikannya dengan data statistik. Menurut beberapa hasil survei, anak-anak muda mudah terprovokasi; sumbu pendek istilahnya. Sehingga acara diadakan dengan harapan agar anak-anak muda dapat menjadi ujung tombak pemupus prasangka.

Ketika ditanya alasan mengikuti acara ini spontan saya menjawab,

“Karena saya percaya Indonesia dibangun berlandaskan keberagaman.”

Selama empat tahun menggeluti sejarah Indonesia, setiap literasi yang saya baca tidak ada yang tidak menggambarkan betapa bangsa ini kaya akan perbedaan. Indonesia berdiri di atas sejarah yang panjang, melalui pertumpahan darah dan jalur diplomasi. Apa yang mengikat Indonesia menjadi sebuah bangsa jawabannya tidak sesederhana persamaan nasib dan batas geografis. Bangsa ini lahir dalam suatu proses yang kompleks sifatnya, yang meliputi dimensi sosial-ekonomi, dan kultural, serta politik.

Pada akhirnya, seperti yang dituturkan oleh pendiri EIN Institute Pdt. Tjahjadi Nugroho dalam sambutannya,

“Masing-masing dari kita tidak ada yang bisa memilih untuk lahir dimana”.

Saya tidak memilih lahir di keluarga yang multi-etnis dan memeluk Islam dengan caranya masing-masing. Masing-masing dari kita mungkin telah melalui fasenya dalam pencarian jati diri, ada yang mempertanyakan dan sempat kehilangan arah. Semua proses tersebut, dialektika kehidupan, akhirnya mengantarkan kita kepada kelahiran kedua. Menjadi pribadi yang, jika Yang Maha Satu mengizinkan, lebih baik lagi.

Bersiap untuk Lahir Kembali

Selama di Lasem kami tinggal di Lawang Ijo, sebuah rumah cagar budaya milik Gus Zaim. Gus Zaim mengatakan bahwa menempatkan kami disana adalah idenya. Ketimbang di hotel, ia ingin agar kami tinggal dalam satu atap dalam keberagaman. Gus Zaim adalah sosok kharismatik yang memberikan saya pemahaman mengenai keberagaman dengan sangat sederhana melalui hal-hal yang telah dilaluinya bersama masyarakat Lasem.

Saat pertama kali kami tiba di Lawang Ijo, kami terkesima dengan bentuk bangunan yang masih terjaga keasliannya. Pintu hijau berukir aksara Cina menjadi ikon bangunan ini. Meski berumur tua tetapi tempat singgah ini sangat nyaman dan cepat membuat kerasan yang meninggalinya.

Lalu kami diajak ke sentra-sentra industri yang ada di Lasem, diantaranya adalah Pabrik Roti Indonesia, Pabrik Tegel LZ, dan Batik Tulis Lasem Sekar Kencana.

Kunjungan pertama kami adalah ke Pabrik Roti Indonesia. Di pabrik Roti Indonesia, kami bertemu pemiliknya, Ibu Ratna. Pada awalnya saya befikir nama ‘Indonesia’ yang digunakan mengacu pada praktik keberagaman yang ada di Lasem, tapi ternyata pada kenyataannya nama ini digunakan mengikuti nama P.O. Bis Indonesia yang dimiliki oleh mertua Ibu Ratna.

Usaha ini adalah usaha keluarga, dimulai oleh mertuanya sejak paruh 1960-an. Dimulai dengan tenongan*, mertua Ibu Ratna menjajakan roti buatannya di pasar. Saat itu belum ada varian rasa yang beraneka ragam dan pembuatannya pun masih manual dengan dibanting-banting. Pada tahun 80-an, Pabrik Roti Indonesia mencapai masa jayanya, dijual menggunakan sepeda dengan total 14 armada. Dengan 6 karyawan, dalam sehari mereka dapat memproduksi berpuluh-puluh karung.

Sampai pada masa usaha mereka mulai surut ketika diterpa krisis moneter.

“Waktu itu agar macet, tapi tidak sampai berhenti,” ungkap Ratna.

Pengalaman Ratna hidup menghadapi pembauran etnis di Lasem juga cukup menarik. Ia kerap risih apabila orang-orang melabelinya sebagai orang Cina.

“Aku ndak Cina, aku juga lahir di Indonesia,” ucap Ratna.

Ia mengaku lebih hafal hanacaraka ketimbang bahasa Mandarin, selain itu penggunaaan Bahasa jawanya juga lebih fasih hingga kadang orang terheran-heran. Hubungan Ratna dengan para tetangga di Lasem yang mayoritas Jawa juga cukup baik. “Setiap kayu bakar datang, saya buka pintu belakang, nanti tetangga menyapa, anak-anak main di halaman belakang,” tuturnya.

Pelajaran berharga saya dapatkan ketika melihat bagaimana Ibu Ratna merawat pekerjanya yang berasal dari etnis yang berbeda. Menganggap mereka saudara, bahkan ada yang setia bersamanya sampai 30 tahun. Dalam kunjungan ini saya berkesempatan mencicipi citarasa Roti Indonesia yang tersohor di Lasem karena dapat dibilang yang menjadi paling awal ada sebelum digempur oleh produsen-produsen roti lain, dan cerita pengalaman Ibu Ratna yang bersahaja dalam keberagaman.

Keprihatinan datang ketika melihat kondisinya yang nyaris tutup karena tak ada yang meneruskan. Ke empat anak Ibu Ratna merantau ke kota-kota besar dan tak ingin kembali ke Lasem.

Tegel yang pernah diproduksi Pabrik Tegel LZ.

Pabrik Tegel LZ juga tak seberjaya masa lalunya. Kini hanya memproduksi paving block karena tidak ada lagi pesanan tegel. Untuk melihat tempat pembuatan tegel kami melewati sebuah rumah berarsitektur indis yang menjadi kediaman pendiri pabrik tersebut, salah seorang tokoh yang berpengaruh di Lasem, Kapitan Lasem Lie Thiam Kie. Sayang pamor tegel kini menyurut, melihat beberapa peninggalan bekas masa jayanya, masih tampak cantik dan aestetik. (bersambung)

Catatan:

Tenongan: wadah makanan berbahan aluminium berbentuk bundar, biasanya dibawa dengan menggunakan selendang seperti menggendong bayi. Biasanya digunakan untuk menjajakan berbagai jajanan kue-kue basah.

--

--