Cu An Kiong, Oktober 2017.

Radian Arfi
PLURAL(IS)ME
Published in
4 min readOct 22, 2017

Sebuah refleksi pribadi pasca mengikuti kegiatan Lasem Pluralism Trail, 12–15 Oktober 2017 .

Klenteng Cu An Kiong. Foto: Juli Wirawati

Cu An Kiong, Februari 1966.

Meracau, didengar.
Menghina, terdengar.
Jawaban-jawaban lantang.
Wajah-wajah yang tegang.

Terhempas.
Dirampas.
Gagang dan kertas.

Ratusan tahun mereka bawa.
Puluhan tahun kami mencari.

Cu An Kiong, Oktober 2017.

Cu An Kiong, Pak Gandor, dan Peristiwa 1966

Namanya Gandor; Gandor Sugiharto Santoso. Tubuhnya gempal, wajahnya teduh, sorot matanya hangat dan jenaka. Beliau telah menjadi pengurus Klenteng Cu An Kiong sejak tahun 1970. Entah kenapa jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain yang saya temui di Lasem, Pak Gandor nampak sedikit berbeda. Mungkin karena beliau lebih banyak bercerita tentang kisah-kisah sedih, alih-alih kisah bahagia layaknya tokoh-tokoh lain.

Terlepas dari gelarnya sebagai “laboratorium keberagaman,” Lasem juga pernah melewati masa-masa kelam. Intoleransi dan represi terhadap kelompok minoritas pernah terjadi di Lasem; dan lewat cerita Pak Gandor-lah kami mengetahui hal-hal tersebut.

Klenteng Cu An Kiong merupakan klenteng tertua di Kota Lasem. Klenteng ini diperkirakan telah berdiri sebelum tahun 1411. Klenteng Cu An Kiong dibangun dengan menggunakan kayu jati lokal, yang kala itu banyak ditemui di sekitar Lasem. Cu An Kiong kerap diklaim sebagai klenteng tertua di Pulau Jawa. Namun hingga saat ini, hal tersebut masih menjadi misteri; karena dokumen-dokumen yang memuat sejarah Klenteng Cu An Kiong, mulai dari tahun berdiri klenteng, proses pembangunan klenteng, hingga donatur-donatur klenteng disita oleh sekelompok orang pada tahun 1966.

Kisah penyitaan dokumen-dokumen tersebut selalu diceritakan oleh Pak Gandor kepada pengunjung klenteng, dengan harapan bahwa suatu saat, dokumen-dokumen tersebut dapat dikembalikan ke pihak klenteng.

“Karena semua dokumen klenteng ini, pada bulan Februari tahun 66, diambil tentara yang dadanya ini ditulisi R-P-K-A-D*,” ucap Pak Gandor sambil menunjuk dadanya.

Baretnya merah. Diambil semua,” pak Gandor bercerita sembari meletakkan tangan di kepala. “Oleh penjaga (di) sini sudah diingatkan, bahwa (dokumen) itu tidak ada kaitannya dengan PKI,” tambahnya lirih. “Penjaganya tua, namanya Om Tok Liem, ciri* hidung, jadi kalau bicara gak jelas, orang Jawa bilang bindeng*, dikira menghina tentara itu padahal bindeng emang, dipukul sama ini.. apa.. popornya.. terjengkang.. saksi hidup saya,” tutupnya.

Ya, sepanjang tahun 1965–1966, Soeharto — melalui Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) — melakukan upaya penumpasan PKI di seluruh wilayah Indonesia, termasuk Jawa Tengah (Tirto, 2017).

Dampak dari upaya penumpasan PKI ini turut dirasakan oleh Pak Gandor, Om Tok Liem, serta pihak-pihak lain yang sebenarnya tidak memiliki hubungan apapun dengan PKI. Coba bayangkan, ratusan tahun sejarah Klenteng Cu An Kiong hilang, karena dokumen-dokumen sejarah yang ditulis dalam Bahasa Mandarin tersebut dianggap memiliki keterkaitan dengan PKI.

Lagi-lagi, kisah Pak Gandor agaknya menegaskan bahwa negara memiliki kemampuan untuk menciptakan, serta melanggengkan prasangka yang berlaku terhadap kelompok-kelompok tertentu di masyarakat.

Refleksi Pribadi: Wacana Identitas dan Musuh Bersama

Kisah Pak Gandor merupakan kisah yang paling membekas di dalam benak saya, setelah saya kembali dari Lasem. Kisah beliau-lah yang kemudian mendorong saya untuk membahas wacana identitas dan musuh bersama dalam refleksi pribadi ini.

Secara sosiologis, identitas merupakan sesuatu yang dikonstruksikan secara sosial. Artinya, seseorang atau sebuah kelompok dianggap berbeda, karena masyarakat sepakat bahwa mereka berbeda. Hal ini lantas menunjukkan bahwa identitas pribadi maupun kelompok dapat berubah, seiring dengan perubahan kesepakatan yang berlaku di masyarakat.

Lewat kisah Pak Gandor, kita dapat melihat bahwa dalam rentang waktu yang relatif singkat, label-label spesifik — seperti PKI misalnya — dapat disematkan kepada kelompok-kelompok dengan latar belakang etnis atau agama tertentu, dan secara efektif turut mengubah identitas mereka.

Lebih lanjut, kisah Pak Gandor juga menunjukkan bahwa individu seringkali tidak memiliki kuasa atas identitas dirinya, karena wacana tentang “siapa dirinya” umumnya ditentukan oleh pihak-pihak yang berkuasa, seperti negara dan militer. Padahal menurut Jenkins (2008), identitas seseorang tidak hanya ditentukan oleh institusi yang berkuasa. Identitas seorang individu turut dibentuk oleh pemahaman pribadi, serta interaksi antara dirinya dan orang-orang lain.

Dari sini kita dapat melihat bahwa kala itu, terdapat relasi kuasa yang relatif timpang antara negara dan warga negara, khususnya mereka yang berasal dari kelompok minoritas.

Perjalanan di Lasem juga membuat saya mempertanyakan ulang konsep “musuh bersama”. Selama ini, integrasi sosial selalu dibangun lewat keberadaan kambing hitam, yang kemudian dijadikan musuh bersama; PKI pada tahun 1965, Soeharto pada tahun 1998, Ahok pada tahun 2017, dan masih banyak lagi. Bagi saya, sebetulnya tidak ada yang salah dengan gagasan mengenai “musuh bersama” ini. Konflik dan polarisasi kekuasaan merupakan faktor utama yang mendorong perubahan sosial (Coser, 1956).

Namun yang kemudian menjadi berbahaya adalah, ketika kita memaknai “musuh bersama” tersebut sebagai orang, a person, alih-alih gagasan. Musuh keberagaman bukanlah orang-orang Islam radikal, musuh keberagaman adalah tindakan intoleransi. Musuh Pak Gandor bukanlah tentara, musuh Pak Gandor adalah tindakan represif, serta kesewenang-wenangan pemerintah kala itu.

Setidaknya, itu pendapat saya.

Lalu apa?

Kisah Pak Gandor menunjukkan bahwa pemerintah memiliki posisi yang sangat strategis untuk menciptakan, dan melanggengkan prasangka yang berlaku di masyarakat. Prasangka-prasangka ini kemudian bertahan (atau dipertahankan), karena masyarakat membutuhkan keberadaan musuh bersama, untuk menjaga integrasi sosial yang telah terbentuk.

Berangkat dari argumentasi tersebut, kita dapat melihat bahwa solusi dari permasalahan yang dihadapi oleh Pak Gandor — atau secara lebih luas — masalah-masalah intoleransi, terletak di dua level yang berbeda: level makro, atau yang berhubungan dengan kebijakan pemerintah; dan level mikro, yang berhubungan dengan interaksi sosial antar individu dalam kehidupan sehari-hari.

Pemerintah harus mampu menjamin kebebasan warga negara, untuk mengaktualisasikan identitas mereka tanpa perlu merasa takut; mengingat identitas merupakan sesuatu yang privat dan cair. Selain itu, kita perlu memberi pemahaman pada masyarakat bahwa keberagaman adalah sebuah keniscayaan, dan musuh bersama dari umat manusia adalah gagasan tentang perpecahan, alih-alih individu, atau kelompok-kelompok tertentu.

Lantas, siapakah yang dapat mengawal dan memastikan, bahwa kedua hal di atas dapat menjadi kenyataan? Tentu saja kita, kita yang mengklaim berdiri di sisi keberagaman ini!

Keterangan:

ciri = cacat (terjemahan dari Bahasa Jawa)

bindeng = bersuara sengau (terjemahan dari Bahasa Jawa)

RPKAD = kini Komando Pasukan Khusus (Kopassus)

--

--

Radian Arfi
PLURAL(IS)ME

A sociologist/anthropologist. A speck of dust in the tapestry of life.