Kamu Manusia, Aku Juga!

Soepardi Kafha
PLURAL(IS)ME
Published in
6 min readOct 27, 2017

Bincang-bincang dengan penghayat laku Sedulur Sikep

Berfoto bareng di depan rumah Keluarga Jari

Sedulur Sikep. Sedulur itu saudara. Sikep dari ungkapan “siji dikekep”, satu dipegang erat. Sebuah wujud kesadaran dari komunitas masyarakat yang acap disebut Samin. Nama Samin merujuk pada Samin Surosentiko. Dia penghayat yang berhasil membentuk kesadaran komunal bahwa hidup tak lain dari memperbaiki budi pekerti.

Saya bersama kawan-kawan dari komunitas Kedai Kopi ABG — Kang Putu, Sholekan, Danang, Tri, Yundra, Irna, Dicki, Eva, Akhil, Arwani, Amrih, Fitri, Ara, dan Ken — berkesempatan mampir ke Dukuh Wotrangkul, Desa Klopoduwur, Kabupaten Blora, Sabtu, 30 April 2016. Di sana ada 200-an kepala keluarga. Dan, di antaranya, 25 kepala keluarga adalah penghayat laku Sedulur Sikep. Tak banyak memang. Namun kelompok kecil itu bisa menjalani hidup rukun, tak merusak alam, dan hati-hati membawa atau menggarap diri.

Semula saya begitu enteng menyebut mereka Samin. Dan, saya juga membayangkan mereka hidup terkucil, di tengah hutan, suku terasing, dan jauh dari kemajuan. Namun anggapan itu buyar begitu menemui mereka secara langsung. Mereka tak mengisolasi dan hidup terpencil. Mereka tak menetap di tengah belantara yang jauh dari keramaian dan fasilitas modern.

Kami menemui keluarga Jari. Sulung dari trah Kromo Tariman, sesepuh Sedulur Sikep di Desa Klopoduwur. Mereka ramah menerima kami. Mereka menjamu kami. Sehingga anggapan dan bayangan yang begitu ceroboh itu pun melumer. Bahkan saat kami melafalkan Suku Samin, serta merta mereka membantah.

“Kami bukan Samin. Samin itu tidak ada. Yang ada sami-sami manungsa, sama-sama manusia.” Sontak kami kaget sekaligus malu.

Pelan-pelan kami mengikuti arah pemikiran mereka. Kami mengikuti pembicaraan mereka yang sarat simbol. Sama-sama sebagai manusia, tetapi manusia yang bagaimana? Nah, dari situlah kebekuan dialog pun mencair. Mereka panjang-lebar membabar bahwa Sedulur Sikep bukan Samin. Orang luar memang kerap menjuluki mereka Samin. Hal itu sudah berlangsung lama, sejak masa kolonial Belanda, dan bertahan hingga sekarang: latah mengeja Samin.

Menurut mereka, Sedulur Sikep itu piwulang atau pengajaran tentang budi pekerti. Ada tiga puluh ajaran budi pekerti di lingkaran Sedulur Sikep. Dan dalam kesempatan saat itu, sang sulung menjelaskan lima ajaran: hati-hati, rukun, tunduk, menepati janji, dan meneguh dalam beragama.

Pertama, hati-hati. Setiap penempuh mesti hidup berhati-hati. Kalau tidak, akan celaka. Hati-hati membawa diri. Hati-hati memperlakukan orang lain dan sesama hidup, baik tetumbuhan maupun hewan. Berhati-hati membawa diri, berucap, dan bertingkah laku. Pantang membencanai sesama ciptaan Tuhan.

Kedua, rukun. Berhati-hati tak cukup, kalau tak berdamai dengan pihak lain. Tak bisa rukun. Ya, hidup rukun. Rukun dengan siapa dan apa pun juga.

Ketiga, tunduk. Tunduk pada siapa saja. Artinya, kesediaan diri menghormati siapa pun. Tidak boleh merendahkan orang lain. Hal itu mengandaikan setiap diri sanggup menahan keinginan yang berorientasi kepentingan pribadi dan bersifat sesaat. Meski masih anak-anak, sekiranya benar dan tepat yang dibicarakan, wajib diikuti.

Keempat, menepati janji. Jangan menipu, jangan suka mengumbar janji. Dan, Sedulur Sikep sangat memegang teguh konsep janji itu. “Aja mbujuki! Jangan menipu!” tegas Sukadi.

Kelima, teguh dalam beragama. Sedulur Sikep meneguhkan dalam lingkarannya untuk benar-benar menjalani pilihan agama masing-masing. Agama adalah sandang-pangan. Agama adalah bak penutup aurat dan sarana pertumbuhan serta pengembangan. Bersifat pribadi, tetapi penting, bahkan harus, sebagai tanda keluhuran manusia. Betapa akan turun derajat kemanusiaan seseorang jika tak menutup aurat, berpakaian. Derajatnya tak lebih dari binatang. Agama juga sarana pertumbuhan dan pengembangan kepribadian. Seseorang tak akan tumbuh dan berkembang budi pekertinya tanpa beragama. Sedulur Sikep memegang teguh agama, apa pun pilihan agamanya, sama-sama menumbuhkembangkan keluhuran moral.

Nah, Keluarga Jari yang didampingi Sukadi dan Sugiartono baru menjelaskan lima pedoman dari total keseluruhan tiga puluh. Baru lima, tapi serasa berat. Sungguh berat! Saya bayangkan, paling juga kami tidak akan sanggup melakoni kelima pedoman tersebut secara konsisten.

Lagi-lagi saya dan kawan-kawan rombongan terperangah saat Sukadi kembali menandaskan dengan raut muka serius,

Pisan meneh, wong Samin wis ora ana. Sing ana sami-sami wong, padha-padha wonge. Kabeh sedulur.” ( Sekali lagi, orang Samin sudah tidak ada. Yang ada sama-sama manusia.)

Begitulah. Saat itu, di tengah terik matahari yang menggerahkan, kami berada dalam jamuan keluarga Sedulur Sikep. Sekali lagi, Sedulur Sikep, bukan Samin. Mereka Sedulur Sikep. Bahkan kita semua, semestinya juga Sedulur Sikep. Netepi Adam kawitan. Semua bersaudara. Semua keluarga besar Bani Adam, bangsa manusia.

Benar-benar! Kami tertegun. Warga desa pinggiran, jauh dari pusat kota Blora, itu telah menyeharikan pola gagasan global. Mereka telah melewati kematian ego kecil, kepentingan diri sendiri dan yang bersifat sesaat. Warga Dukuh Wotrangkul, Desa Klopoduwur itu telah melangsungkan gaya hidup menyemesta.

Mereka tidak lagi menjadi sapi perahan yang terjebak pada fasilitas materi. Yang hanya bisa mati-matian mengeruk kebutuhan ragawi. Mereka telah mengondisikan (paling tidak) lima ajaran dalam laku keseharian. Tidak iri melihat keberhasilan dan kepemilikan orang lain. Tidak menuntut pihak lain. Sebaliknya, keras dalam mendidik diri sendiri.

Pengorbanan yang unik. Pantang menuntut orang lain. ”Memimpin diri sendiri saja sulit, bagaimana memimpin orang banyak?” kata Jari.

Maka, Sedulur Sikep di Dukuh Wotrangkul itu pun tidak ada pemimpin.

Mimpin awake dhewe-dhewe (memimpin diri sendiri), mengondisikan karakter luhur dalam diri.”

Meneruskan Perjalanan

Satu lagi yang khas dari Sedulur Sikep: cermat dalam memilah kata. Mereka cerdas. Misal, saat melisankan nama seseorang yang telah meninggal dunia, mereka akan menyisipkan kata suwargi atau jenate. Suwargi bermakna surga. Jenate dari kata “janat (h)”, bahasa Arab, yang berarti surga. Suwargi Pak Noyo atau Jenate Pak Noyo berarti almarhum Pak Noyo yang telah berada di surga.

Sedulur Sikep meyakini bahwa kelak neraka itu tidak ada. Yang ada surga. Cara pandang Sedulur Sikep yang meyakini bahwa umat manusia itu adalah keluarga besar Tuhan, yang menjalani laku budi pekerti. Sehingga, keseharian mereka anggap surga. Dan kelak juga bakal mukim di surga.

Kemudian mereka juga tak mengharap lebih, hanya nyuwun seger waras sedina-sewengi.” Kenapa seger waras? Kenapa segar bugar dan sehat? Kenapa sedina-sewengi, sehari semalam? Lagi-lagi itu berkait dengan cara pandang mereka yang meyakini kuasa dan kehendak Tuhan.

Mereka tidak meminta dan berpikir tentang rezeki, karena urusan rezeki sudah ditanggung Tuhan. Mereka tidak pernah mempersoalkan kematian, karena perkara itu sepenuhnya di tangan Tuhan. Yang mereka pinta hanya kebugaran jasmani atau kesehatan, supaya lapang dalam berkarya. Lancar mendemonstrasikan kebajikan pada sesama.

Kemudian sedina-sewengi, menunjukkan keyakinan mereka, hakikat waktu adalah kini. Bukan kemarin atau besok, melainkan hari ini. Kesadaran “kini”, kesadaran hari ini yang terus-menerus. Tanpa sadar, kita kerap mengukur masa depan berdasar pola pengalaman masa lalu. Tanpa sadar pula, kita akan mencitakan masa depan dengan landasan hawa nafsu. Karena kita akan memilah langkah buat esok pagi berdasar pengalaman atau peristiwa-peristiwa masa lalu yang menyenangkan, mudah, ringan, dan minim risiko. Akibatnya, kita latah menjalani keseharian dengan sarana serba-instan.

Kita takut miskin, karena berdasar kejadian yang sudah-sudah, kemiskinan tidak mengenakkan. Kita takut tidak populer, karena seperti yang telah terjadi, ketidakpopuleran hanya akan menggiring seseorang jauh dari rezeki. Kita takut kulit tidak putih, karena yang bercokol dalam benak, kulit berwarna cokelat apalagi hitam itu berkasta sudra. Padahal tidak demikian. Kehidupan adalah masa kini yang terus berjalan. Kita dan peristiwa itu sesungguhnya tunggal. Dalam benak seolah-olah sama dan bisa jadi memang sama persis. Namun toh sebenarnya tidak sama persis. Kita membawa ketunggalan Tuhan. Kita berhadapan dengan pola pelayanan Tuhan yang tiada kembaran. Pelayanan Tuhan berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan setiap diri yang berbeda.

Selanjutnya netepi lampah. Sugiartono dari Sedulur Sikep mengingatkan kami supaya tak menggunakan kalimat, “Arep mulih, mau pulang” saat berpamitan dari bertamu. Kata “pulang” atau “mulih” menunjuk pada kematian. Padahal, kematian adalah kepastian dan hanya Tuhan yang menentukan. Kita tak berhak mendikte Tuhan berkait dengan kematian. Maka yang tepat adalah melanjutkan perjalanan.

Kata “perjalanan” mengandaikan proses menempuh waktu. Dan, hal itu kembali ke kesadaran hari ini yang terus-menerus. Sekali lagi, bukan kemarin, bukan besok, melainkan kini. Kini yang terus melaju, terus berjalan. Dan, kita dalam posisi menumpang waktu. Menempuh proses perjalanan. Sedulur Sikep mengisi hari-hari dengan ajaran: hati-hati, rukun, tunduk, menepati janji, dan mengukuhkan tata laku beragama. Maka, tak elok pula kita bicara dan berpikir tentang kematian.

Sedulur Sikep telah mengingatkan saya dan kawan-kawan. Menjelang senja, kami serius mendengar penjelasan, sembari menikmati suguhan singkong rebus, kopi, dan teh manis dari keluarga keturunan Kromo Tariman.

Kemudian pukul 17.00 kami pamit meneruskan perjalanan. Kami bertolak dari rumah Jari, berdinding kayu jati kukuh. Ya, kami mulai ngeh untuk meneruskan perjalanan, bukan pulang. Karena pulang itu kepastian, tak perlu serius memikirkannya lantaran itu urusan Tuhan. Sementara laku hidup Sedulur Sikep adalah menempuh proses perjalanan, menyusuri lorong kemungkinan. Saban hari mereka menghiasi kemungkinan-kemungkinan. Begitu pula semestinya kita, menghiasi kemungkinan dengan laku atau ajaran lima Sedulur Sikep.

Pendek kata, saya memahami Sedulur Sikep sebagai cara memanusiakan dan menempatkan potensi kemakhlukan sesuai dengan kehendak Sang Pencipta. “Kamu manusia, aku juga manusia. Kita saudara satu bangsa, bangsa manusia.” Nah!

Ungaran, 26/10/2017: 23.15

--

--

Soepardi Kafha
PLURAL(IS)ME

penyuka percakapan, tapi lebih sering sebagai penyimak curhat