Lasem, Hadiah Istimewa Tuhan untuk Bangsa

D.Ibmar
PLURAL(IS)ME
Published in
4 min readOct 25, 2017

Ditulis sebagai refleksi pasca menyelesaikan kegiatan belajar keberagaman “Lasem Pluralism Trail 2017” 12–15 Oktober 2017.

Raden Pandji Margono di sudut kelenteng Gie Yong Bio (Foto: Jenni Anggita)

Setiap manusia mungkin saja punya cita-cita tentang konsep masyarakat ideal, tentang bagaimana seharusnya masyarakat hidup berdampingan satu sama lain dan tentang bagaimana keadilan dapat betul betul bermakna hingga mengejawantah dalam kehidupan.

Dalam hidup, manusia bebas memilih apapun. Menjadi baik, menjadi jahat, atau tetap bertahan dalam kepura-puraan. Kehidupan selalu mengandung pilihan-pilihan abstrak yang bahkan tak dimengerti siapapun. Dalam melanjutkan hidupnya, pilihan-pilihan tersebut tak pelak dipengaruhi faktor-faktor tertentu dari luar diri manusia sendiri. Dan dalam bertahan hidup, banyak permasalahan-permasalahan yang mesti dihadapi.

Tak jarang, banyak manusia tak mampu memecahkan masalahnya. Tak jarang pula, pemecahan masalah-masalah ternyata hanya berupa pergeseran untuk menemui masalah-masalah selanjutnya.

Manusia terbiasa berpikir untuk memecahkan masalah. Khusus masalah sosial dan keragaman, tradisi Barat khususnya Yunani mengajarkan konsepsi manusia sebagai makhluk rasional yang memiliki kesadaran kritis tentang peranan yang dimainkannya. Istilah ini kemudian dibahasakan Cicero, filsuf Yunani klasik, dengan sebutan societas civilis (civil society); bahwa karakter pluralitas keagamaan, kesukuan, nilai-nilai, kepercayaan dan kebudayaan memiliki “the free public sphere” atau ruang publik yang bebas sekaligus tunduk pada nilai dan norma yang diyakini bersama.

“Sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain,” begitu kata ajaran tradisi Timur khususnya Arab.

Sedari awal, sebagaimana yang tertuang dalam Piagam Madinah, yang isinya membahas kesetaraan manusia; baik Arab maupun non-Arab adalah sama kedudukannya. Kesetaraan manusia menjadi landasan Muhammad dalam mengatur sistem sosial ketika itu. Akhirnya, sebuah kota dengan masyarakat beradab yang mengacu pada nilai-nilai kebajikan dan semangat kesetaraan yang demokratis itulah yang kemudian hari dikenal dengan sebutan masyarakat madani.

Meski dalam tataran praktis dan pelaksanaannya, antara kedua konsep ini sifatnya pastilah berbeda, namun pada tataran nilai dan cita-cita Nurcholis Madjid menguatkan, bahwa masyarakat madani dan atau civil society memiliki nilai-nilai yang sama yaitu inklusifitas, egalitarian dan toleran. Hal inilah yang kemudian layak dijadikan contoh ideal bagaimana seharusnya setiap individu dan sosial mengelola kehidupannya.

Soal pengejawantahan gagasan, dari konsep hingga berbentuk realitas, dari pelajaran konsep ideal bermasyarakat menuju tataran tindakan di lapangan, kita boleh dan layak-layak saja menyebut bahwa “apa yang disebut oleh Cicero dengan civil society-nya hanyalah konsep belaka dan tidak akan mungkin menjadi kenyataan” atau “apa yang dilakukan oleh Muhammad ketika di Madinah mustahil dilakukan sekarang, sebab hanya Rasul-lah yang bisa melakukan itu”.

Namun siapa sangka, masyarakat Lasem, Kab. Rembang, Jawa Tengah, dapat menerapkan atau bisa dibilang sangat mendekati dari konsep ideal bermasyarakat ini, meskipun tanpa mengetahui konsep teori sosial apa yang sebenarnya mereka jalani selama ini.

Hanya golongan elit tertentu yang mengetahui, bahwa ketika mereka yang berlatar belakang agama berbeda hidup rukun saling berbagi, dan hidup secara terbuka serta tidak menutup diri hanya berdasarkan kelompoknya, pada konsep pemikiran perilaku demikian disebut inklusif.

Hanya golongan elit tertentu yang mengetahui, bahwa ketika antar penganut agama itu bisa menerima pemimpin yang bukan dari golongannya, sikap itu disebut dengan egaliter.

Dan hanya golongan elit tertentu yang mengetahui, bahwa ketika salah-satu agama merayakan hari besarnya, dan pengikut agama lain ikut merayakan dengan saling berbagi makanan, angpao atau hadiah lainnya, pada wilayah gagasan sikap ini disebut dengan toleransi.

Yang dipahami warga Lasem adalah bahwa perilaku itu positif, baik dan sudah dilakukan oleh para leluhur mereka semenjak dahulu. Mereka meyakini, Lasem akan terus dalam keadaan baik, bilamana amanat dan tradisi leluhur itu dipertahankan. Sekali lagi, konsep ini bukan dilakukan atas pertimbangan teoritis, petunjuk teknis apalagi penelitian ilmiah, melainkan hanya berdasarkan ajaran non-formal yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya hingga melembaga menjadi suatu tradisi.

Kyai Zaim Ahmad Ma’soem atau Gus Zaim mengungkapkan, bahwa corak bermasyarakat Lasem sebagaimana sekarang adalah hasil dari asimilasi budaya melalui pergaulan sehari-hari masyarakat termasuk ketika bersantai di warung kopi.

Merasa akan pentingnya melestarikan budaya ini, Gus Zaim kerap memberikan wejangan ke santri-santrinya di pesantren Kauman, untuk sekedar “ngopi” dan berbaur dengan masyarakat Lasem. Sebab menurutnya, hanya dengan berbaurlah interaksi masyarakat semakin meningkat dan tali persaudaraan terjaga dengan baik. Melalui hal ini, bukan cuma persaudaraam antar agama yang terawat, antar golongan atau mazhab Islam seperti NU, Muhammadiyah, hingga Syiah yang juga ada di Lasem pun turut hidup secara rukun dan damai.

Saya semakin yakin bahwa civil society atau masyarakat madani sebagaimana yang dikonsepkan oleh para filsuf terpancar dengan terang ke setiap benak individu Lasem, ketika saya menemukan patung salah seorang leluhur yang beragama Islam di sudut Klenteng Gie Yong Bio.

Sebuah patung pria berbusana Jawa diletakan di atas altar pemujaan, lengkap dengan sesajian sebagai persembahan. Jujur saja, ini adalah pemandangan yang tidak biasa. Belum pernah sebelumnya saya menemukan figur pria Jawa apalagi jawa yang beragama Islam, diletakan di atas altar pemujaan sebuah klenteng.

Pria Jawa tersebut adalah Raden Pandji Margono, satu dari tiga tokoh pahlawan Kota Lasem yang berhasil menyatukan pluralitas golongan. Bersama dua rekannya, Oey Ing Kiat (Raden Ngabehi Widyadiningrat) — tokoh masyarakat Lasem, dan Tan Kee Wie — seorang pendekar kungfu yang juga seorang saudagar, ia gugur dalam sebuah perang terbuka antara warga Lasem dengan VOC Belanda tahun 1740. Berkat jasanya itulah, patung Raden Pandji Margono secara sengaja diletakkan di atas altar pemujaan klenteng.

Hal-hal ini menyiratkan, bangsa besar ini sangat diberkahi Tuhan dengan Lasem sebagai laboratorium pluralisme.

Aroma kesejukan tanpa hingar bingar pemberontakan seperti inilah yang kita rindukan di seluruh daerah lain di Indonesia. Tatkala bangsa terus diteror hantu bernama diskriminasi, tatkala para pakar sibuk memperdebatkan konsep apa yang sesuai dengan keragaman masyarakat, tatkala kita selalu terjebak dalam sakralitas simbol dan doktrinal kebencian terhadap perbedaan, masyarakat Lasem bukan hanya selesai pada persoalan pluralitasnya, lebih dari itu, ditemani dengan seduhan kopinya yang hangat, masyarakat Lasem bahkan sangat menghayati dan menikmati perbedaan itu.

Akhirnya, mengenal Lasem, menjadi bukti absah bahwa hidup secara pluralitas adalah nikmat Tuhan yang tak pantas untuk didustakan.

--

--