Lasem I’m in Love:
Napak Tilas Menjadi Tionghoa
Ditulis sebagai refleksi pasca menyelesaikan kegiatan belajar keberagaman “Lasem Pluralism Trail 2017” 12–15 Oktober 2017.
Perjalanan ke Lasem selama tiga hari membawa saya pada berbagai permenungan, khususnya perihal menjadi Tionghoa hari ini.
Sejak saya memiliki ketertarikan menelusuri asal usul saya, saya berharap suatu hari dapat berkunjung ke Lasem. Lasem, seperti yang banyak diberitakan, dijuluki sebagai Tiongkok kecil; tempat bercampurnya kebudayaan Tionghoa, Jawa, serta Arab.
Banyak yang mengatakan, Lasem adalah kota pluralis, kota keberagaman, laboratorium alam dan kebudayaan. Mimpi tersebut menjadi nyata ketika suatu malam, Ein Institute mengirimkan surat elektronik yang menyebutkan saya terpilih sebagai salah satu penerima beasiswa Lasem Pluralism Trail. Terima kasih semesta!
Sejujurnya, saya sempat ragu untuk ikut, sebelum akhirnya memberanikan diri dan percaya bahwa ada sesuatu yang bisa saya bawa pulang dan ceritakan pada kawan-kawan. Saya pikir, keputusan saya untuk sejenak beranjak dari rutinitas kuliah dan gaduhnya Ibu Kota, merupakan keputusan tepat yang membawa saya pada optimisme dalam memandang masa depan.
Kegiatan ini membawa saya pada perjumpaan manis dengan sembilan kawan-kawan lain yang beraneka ragam asal, latar belakang, agama, dan etnis. Mereka semua unik dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Orang pertama yang saya kenal di acara ini adalah Dedy, anak muda kritis yang berasal dari Riau dan merantau ke Ciputat. Selanjutnya, Antonio, pemuda Tionghoa yang berasal dari Medan, kuliah di Bandung dan kini logatnya sudah seperti orang Sunda. Evi, teman satu kamarku; campuran Ambon dan Jawa, tinggal di Bogor dan kuliah di Solo.
Arief, yang ternyata satu almamater denganku, seorang aktivis LGBT yang keren. Maria, gadis Tionghoa, berasal dari Cilacap beragama Islam, yang sejak kecil dirundung karena ke-Tionghoa-annya. Fajar, yang paling jauh, terbang dari Medan, beragama Kristen namun, seringkali diajak shalat karena wajahnya.
Juli, juru foto keren kami, asli Bali beragama Hindu, kini kuliah di Jogja. Dalhar, bapak guru yang selalu selangkah lebih maju, menetap di Jepara. Terakhir, adik kami semua, Lintang yang paling muda, tengah kuliah di Purwokerto.
Saya menjadi ikut kaya karena berkesempatan berjumpa dengan mereka. Selama kami tinggal bersama di Lawang Ijo, tak pernah sedikit pun perbedaan menjadi persoalan. Kami tak memperdebatkan hal yang privat ke ranah publik.
Dari Pesimis menjadi Optimis
Kira-kira butuh waktu 26 tahun, untuk menyadari identitas saya serta menerima bahwa saya seorang Tionghoa. Lucu bagi saya, kesadaran itu justru saya temui ketika saya “pulang” mendekati udik. Sebelumnya, saya sekeluarga tinggal di Jakarta Barat, lalu karena keadaan ekonomi maka kami sekeluarga menjual rumah peninggalan nenek, ibu dari mama. Kakak laki-laki tertua mama mengusulkan kami tinggal berdekatan, maka mama pun memutuskan membeli rumah di Tangerang Selatan.
Berdasarkan kisah om mengenai tanah warisan nenek yang masih tersisa di udik (tepatnya di belakang Ice BSD, Tangerang Selatan), saya pun menelusuri asal muasal saya dan dapat mengidentifikasi diri sebagai Cina Benteng berdasarkan garis keturunan mama.
Ketika saya berusaha lebih jauh mempelajari sejarah masyarakat Cina Benteng, juga menelusuri Pecinan Pasar Lama Tangerang, timbul keprihatinan sekaligus tanda tanya. Saya bisa dengan lantang menepis stereotip yang menggeneralisasi bahwa semua orang Tionghoa kaya raya.
Jika tidak percaya, boleh tengok orang Tionghoa yang berkulit sawo matang di Tangerang. Banyak dari mereka yang hidupnya memprihatinkan, tergusur, dan ada pula yang masih belum memiliki KTP. Meskipun demikian, apabila berkunjung ke Pasar Lama Tangerang, kita akan mendapati masyarakat Tionghoa dan non-Tionghoa hidup rukun, berdampingan satu sama lain, turun temurun dari generasi ke generasi. Dua rumah ibadah yang menjadi simbol keberagaman di sana yaitu Kelenteng Boen Tek Bio dan Masjid Kali Pasir.
Cerita tentang keberagaman, kerukunan antar umat yang berbeda etnis dan agama itu saya dapati pula di Lasem. Sejumlah tokoh yang kami jumpai mengisahkan kehidupan masyarakat Lasem yang selalu berupaya menjaga kerukunan dan keberagaman. Kerukunan tersebut merupakan warisan nenek moyang yang perlu dirawat dan dikisahkan kembali pada anak cucu. Bukan masyarakat Lasem hidup tanpa konflik. Tetapi para tokoh kunci beserta segenap masyarakat yang Lasem dapat meredam konflik itu sedemikian rupa, sehingga kota yang dikenal memiliki banyak santri dan orang Tionghoa itu relatif damai.
Sebut saja Gus Zaim, salah satu tokoh muslim yang terkenal menyuarakan pluralisme; beliau membeli beberapa rumah yang masih asli berarsitektur Tionghoa untuk dilestarikan. Salah satunya, Lawang Ijo, rumah yang dipinjamkan Gus Zaim untuk kami tinggali selama Lasem Pluralism Trail berlangsung.
Topik pluralisme, bukanlah sesuatu yang baru bagi saya. Namun, melihat kondisi sekarang ini di Jakarta, sejujurnya sebelumnya saya pesimis dan menganggap hal tersebut utopis. Apalagi sejak saya membaca sejarah yang menunjukkan bahwa berulang kali kekerasan dialami masyarakat Tionghoa juga Cina Benteng (Tionghoa Tangerang) dalam setiap pergolakan politik di Indonesia. Belum lagi kebijakan asimilasi paksa oleh Orde Baru, semua itu berdampak besar bagi hilangnya identitas orang Tionghoa, khususnya yang lahir setelah 1966.
Agaknya hal tersebut di atas berbeda dengan yang terjadi di Lasem. Asimilasi terjadi secara alami, meskipun pada masa Orde Baru masyarakat Tionghoa Lasem juga harus ikut mengganti nama. Baik di Lasem maupun di Tangerang, asimilasi alami terjadi karena pernikahan campuran.
Selain itu yang unik di Lasem, Kelenteng Cu An Kiong terletak di kawasan dengan populasi muslim yang dominan, begitu juga sebaliknya, Masjid Jami terletak di kawasan yang didominasi Tionghoa. Kabarnya, warung kopi menjadi ruang perjumpaan antara para santri dan orang Tionghoa untuk saling bercengkrama pada pagi hari.
Meski harus dibuktikan melalui sejarah dan wawancara yang lebih mendalam, ketika mengamati orang-orang Tionghoa di Lasem, saya berasumsi bahwa tanpa asimilasi yang dipaksakan, proses asimilasi budaya telah terjadi secara alami karena dinamika yang berlangsung sejak beratus tahun silam. Dengan demikian, tidak heran apabila muncul percampuran budaya peranakan dan lokal yang memperkaya kebudayaan setempat. Sementara, asimilasi paksa a la Orde Baru justru gagal melakukan hal yang sama.
Lasem mengajarkan pada saya bahwa pluralisme dapat terus-menerus diperjuangkan bersama dengan kawan-kawan lain yang memiliki visi kebhinekaan dan harapan akan masa depan bangsa yang lebih baik. Maka, “berani beda, selama itu positif”, merupakan hal yang perlu dan penting hari ini. Anak muda perlu menyatakan sikap. Selain itu, sekali lagi saya mendapatkan gambaran betapa pluralnya orang Tionghoa Indonesia yang sampai hari ini terus-menerus berdinamika dan mengartikulasikan diri untuk membangun bangsa.
Setapak demi setapak saya mengembalikan kepercayaan diri saya, dengan berani melangkah, dan bersama-sama memperjuangkan pluralisme yang memang merupakan warisan leluhur kita dan para pendiri bangsa.
Tangerang, 21 Oktober 2017