Membina Kebhinekaan Ala Lasem

Lintang Ayu Saputri
PLURAL(IS)ME
Published in
4 min readSep 28, 2018
Abstract Art Original Colorful Funky House Painting Home On The Hill By Madart is a painting by Megan Duncanson which was uploaded on October 4th, 2012.

Kebhinekaan adalah suatu keniscayaan. Perbedaan adalah takdir yang mesti dipahami oleh setiap insan. Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda agar dapat saling mengenal. Namun tidak semua masyarakat dapat menerima perbedaan. Terkadang ia merasa tinggi dan paling benar sendiri bahkan merendahkan orang lain. Mereka lupa bahwa mereka adalah sama, sama-sama manusia!.

Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan budaya, terdapat banyak suku, agama, serta bermacam-macam kepercayaan yang dianut oleh masyarakatnya sejak dahulu. Kebhinekaan negara Indonesia seperti pisau bermata dua, di satu sisi hal tersebut dapat menjadi kekayaan yang tak ternilai, menciptakan banyak pengetahuan dan kebudayaan. Namun disisi lain dapat menjadi “bom” yang meledak sewaktu-waktu, meluluhlantahkan bumi Indonesia, seperti yang dikhawatirkan akhir-akhir ini.

Situasi memanas begitu terasa ketika Pilkada DKI 2017, ketika seorang walikota beretnis Tionghoa dan beragama non Islam diduga melecehkan agama Islam. Ketika itu seakan-akan masyarakat Indonesia berada di dua kubu, Pribumi-Tionghoa, Islam-Non Islam. Hal tersebut tidak perlu kita tutup-tutupi, memang begitulah kenyataannya. Bahkan sampai saat ini sentimen terhadap etnis dan agama masih melekat di benak masyarakat Indonesia.

Hal tersebut sebenarnya mudah saja dapat dipahami, manusia adalah makhluk yang egois, manusia mempunyai kecenderungan untuk merasa benar sendiri. Namun jika “perasaan benar” ini berlebihan, maka dapat menjadikan etnosentrisme (mengunggulkan etnis), chauvinisme (mengunggulkan bangsa). Sudah banyak sejarah pertumpahan darah yang tercatatat akibat perasaan etnosentrisme dan chauvinisme ini, seperti Holocaust di Jerman, atau pembantaian Suku Dayak-Madura. Setiap manusia mesti memahami perbedaan agar hal itu tidak terulang kembali.

MENCIPTAKAN MASYARAKAT YANG TERBUKA

Jauh dari hiruk pikuk kekacauan politik, perbedaan etnis dan agama yang terjadi di beberapa kota. Ternyata di Bumi Lasem, suatu kecamatan kecil di Rembang, masih menyimpan kedamaian. Kita seakan melihat Indonesia yang lain dari apa yang kita lihat di layar televisi sehari-hari. Disana kita dapat menemukan Tionghoa dan Pribumi dapat bersatu, Islam dan Non Islam saling bekerjasama satu sama lain. Lasem terkenal sebagai kota santri yang banyak melahirkan ulama-ulama besar, seperti KH Ma’Sum, KH Baidlowi, KH Kholil yang merupakan tokoh ulama kharismatik di kalangan organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Dkota ini juga tersebar banyak pesantren yang mengajarkan agama Islam.[1] Namun disisi lain, Lasem juga disebut sebagai Kota China dan Tiongkok kecil. Menurut N.J Krom, perkampungan China di Masa Majapahit telah ada sejak 1294–1527, dibuktikan dengan adanya bangunan khas Tiongkok.[2]

Hal ini membuktikan bahwa sudah sejak dulu etnis Tionghoa dan Jawa hidup berdampingan dengan damai. Hal ini disebabkan pula karena kondisi geografis kota Lasem sebagai kota pelabuhan yang terbiasa dengan kehidupan terbuka dan plural. Kondisi geografis ini kemudian membentuk budaya keterbukaan dan saling menghargai. Bahkan pada tahun 1727, Pakubuwono II mengangkat Oei Ing Kiat yang beragama Islam sebagai Adipati Lasem dengan gelar Tumenggung Widyaningrat. Namun ia tidak tinggal dalam istana dan tetap menghormati Adipati sebelumnya, yaitu Adipati Tejakusuma V.

Pada masa pemerintahannya, banyak orang-orang Tionghoa Batavia korban peristiwa Angke pada tahun 1740 mengungsi ke Semarang dan Lasem. Oei Ing Kiat menampung mereka dan mengijinkan mereka menempati perkampungan di tepi Sungai Kamandhung, Karang Turi, Pereng, dan Soditan. Mereka umumnya bekerja sebagai buruh dan pedagang yang semakin meramaikan perekonomian Lasem. Mereka juga bergotongroyong untuk mengeruk dan memperdalam sungai Babagan sehingga menjadi pelabuhan yang sangat ramai. Suasana masyarakat yang terbuka, dapat menerima perbedaan, dan bergotong royong ternyata dapat meningkatkan kesejahteraan pada masyarakatnya.

Namun kedamaian ini kemudian mulai terusik ketika datang VOC yang mendirikan pemerintahan baru di Rembang pada Tahun 1741 dengan mengangkat Hangabei Hanggojoyo sebagai Bupati Rembang I. Hal ini menjadi ancaman serius bagi Lasem. Akhirnya, Oei Ing Kiat, Tan Ke Wi (hartawan Tionghoa) dan Raden Panji Margono (Putra Tejakusuma V) mengadakan perlawanan terhadap VOC. Sayangnya, perlawanan ini dapat digagalkan oleh VOC. Tahun 1743, Lasem berada di bawah kekuasaan VOC. Orang-orang Tionghoa yang tinggal di desa-desa dipaksa pindah ke kota dan harus berkumpul bersama orang-orang Tionghoa kota dalam satu kawasan pemukiman yang terisolir. Hal tersebut di beberapa tempat menyebabkan pemisahan (segregasi) antara etnis Tionghoa dengan pribumi.

Di beberapa tempat di Lasem sampai saat ini dapat kita temui gedung-gedung khas Tionghoa yang berdekatan dengan pondok pesantren maupun perkampungan Jawa. Hal tersebut rupanya tidak terlepas dari kebijakan pemerintah Lasem yang membangun pondok pesantren dan masjid di dekat kampung Pecinan. Bahkan terdapat klenteng yang menjadikan Raden Panji yang dijadikan pahlawan dan menempatkan patungnya di dalam klentheng. Terdapat ornamen khas Tionghoa di dalam pondok pesantren. Tidak ada masyarakat yang menolak hal tersebut. Semua saling menghargai satu sama lain. Di Lasem, perbedaan agama adalah hal yang biasa. Berbeda agama dalam satu keluargapun merupakan hal yang wajar. Bahkan ada di pondok pesantren Kauman yang mempunyai guru bahasa arab beretnis Tionghoa. Bagi mereka, agama dan budaya merupakan pilihan.

KESIMPULAN: BELAJAR DARI LASEM

Dalam kehidupan pada awalnya kita tidak dapat memilih di keluarga mana kita akan dilahirkan, dari etnis mana, atau beragama apa. Namun seiring berjalannya waktu manusia pasti akan memilih jalannya. Etnis Tionghoa tidak bisa memilih ingin dilahirkan menjadi keturunan Tionghoa atau Jawa. Namun mereka adalah masyarakat Indonesia. Begitupula dengan agama, tidak perlu kita merendahkan agama lain untuk meninggikan agama kita masing-masing. Beragama itu adalah pilihan masing-masing orang.

Menciptakan masyarakat yang terbuka tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan waktu yang cukup panjang agar suatu nilai dapat merasuk dalam jiwa manusia, diturunkan pada anak cucunya, hingga akhirnya menjadi suatu kebudayaan. Belajar dari terjaganya budaya multikultural di Lasem ternyata tidak terlepas dari peran pemerintah dalam membuat kebijakan yang mengakomodasi segala pihak.

Pemerintah dengan sengaja membuat tata kota sedemikian rupa yang membaurkan perbedaan tanpa membedakan. Setiap tempat diberi kebebasan untuk berakulturasi dengan lingkungannya. Hal ini didukung pula oleh pemimpin agama yang mau saling menghargai satu sama lain bahkan bergotong royong dalam acara keagamaan lain. Masyarakat Lasem telah membuktikan bahwa sebenarnya ketika masyarakat bersatu, dapat menciptakan kesejahteraan. Etnis Tionghoa dan Jawa tetap dapat bekerjasama di bidang ekonomi, pendidikan, sosial-budaya. Setiap tahunnya diadakan Festival Lasem untuk menjaga nilai-nilai luhur nenek moyang lasem, keterbukaan, saling menghargai, dan gotong royong di dalam kebhinekaan.

[1] Unjiya. Lasem Negeri Dampoawang Sejarah yang Terlupakan, (Yogyakarta: Eja publisher, 2008), hlm. 38

[2] Pratiwo. The Historical Reading of Lasem, (Leuven: Khatolika Universieit Leuven, 1990), hlm.2

--

--