Memupus Prasangka dengan Kepekaan dan Kejujuran

Lintang Ayu Saputri
PLURAL(IS)ME
Published in
4 min readOct 17, 2017
Selfie bersama sahabat baru di Lasem Pluralism Trail 2017

Ditulis sebagai refleksi pasca menyelesaikan kegiatan belajar keberagaman “Lasem Pluralism Trail 2017” 12–15 Oktober 2017.

Kita Semua Sama!

Sebagai manusia, pada awalnya kita tidaklah bisa memilih pada keluarga seperti apa kita akan dilahirkan. Apakah akan lahir dari keluarga miskin, atau kaya; dari etnis Jawa, Bugis, Batak, atau Tionghoa. Dari keluarga yang menganut agama Islam, Kristen, Hindhu, Buddha, Khonghucu, atau aliran kepercayaan; akan lahir di Purwokerto, Papua, atau Amerika. Tidak ada satupun yang dapat memilihnya.

Namun identitas yang terbentuk seiring dengan perjalanan yang kita lalui itu dapat kita pilih. Tentu saja dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu seseorang dapat menjadi seseorang yang mempraktikkan budaya Jawa atau Korea, menjadi penganut agama Islam atau Kejawen, menjadi warga negara Indonesia atau bukan. Semua itu memang pilihan, dan kita bebas memilih identitas apa yang ingin kita jalani.

Lalu apa lagi gunanya perbedaan warna kulit, perbedaan tempat tinggal, dan perbedaan budaya? Bukankah itu pada akhirnya hanya perbedaan-perbedaan yang kita pilih atas kehidupan kita? Kita semua sama, walaupun jalan yang kita tempuh berbeda-beda. Kita sama-sama suka jika dipuji, sama-sama sedih jika terluka, sama-sama tertawa ketika bahagia. Ketika tidak ada batas antara aku dan kamu, kita sama-sama menyadari bahwa kita sama. Sama-sama manusia!

Namun mengapa akhirnya banyak orang yang merasa paling benar sendiri dan kemudian menyalahkan perbedaan yang dimiliki orang lain? Banyak hal yang mendorong kita melakukan diskriminasi terhadap orang lain, antara lain adalah stereotip negatif dan kebencian yang diwariskan dari generasi ke generasi. Di dalam keluarga, di lingkungan pertemanan, bahkan di dalam institusi formal seperti sekolah dan pemerintahan. Padahal teman, bukankah kita sama?

Mengikuti Lasem Pluralism Trail pada 12–15 Oktober 2017 lalu, selama empat hari saya tinggal serumah bersama teman-teman yang berbeda etnis, agama, dan budaya. Saya kemudian berpikir, apa yang membuat kita berbeda jika kita bisa tertawa bersama, saling curhat dan terbuka, sama-sama mengalami masalah ataupun pengalaman yang berkesan? Terkadang stereotip memang sengaja dilestarikan karena kepentingan sekelompok orang atau golongan.

Memupus Prasangka dengan Kepekaan dan Kejujuran

Belajar toleransi adalah belajar kepekaan dan kejujuran. “Peka” artinya kita dapat memahami apa yang orang lain rasakan, apa yang orang lain inginkan. Memandang orang lain bukan dari sudut pandang kita, namun dari sudut pandang orang lain tersebut.

Menganggap bahwa orang lain bukanlah sekedar objek, tetapi sebagai subjek yang mempunyai pandangan tersendiri. Apa yang orang lain lakukan tentu mempunyai alasan. Apa yang orang lain pilih tentu merupakan bagian dari keputusannya sendiri. Lalu bagaimana agar kita dapat menjadi peka? Sebelum kita dapat menjadi orang yang peka terhadap orang lain, satu hal kunci yang harus kita latih adalah “kejujuran”.

Saya yakin pada dasarnya Tuhan telah menciptakan manusia dengan hati nurani yang dapat memilah apakah sesuatu itu pantas kita lakukan atau tidak; apakah sesuatu yang kita lakukan akan menuju ke jalan kebaikan atau tidak. Namun kadangkala kita menyangkal kata hati kita atas pertimbangan-pertimbangan tertentu yang mungkin disebabkan karena kita mengikuti hawa nafsu untuk kepentingan pribadi, seperti kekuasaan, harga diri, ekonomi, dan lain-lain. Di sinilah kita perlu belajar kejujuran!. Jujur bahwa kita tidak boleh menyakiti hati orang lain, meskipun itu hanya dalam tahap prasangka, hanya di dalam hati saja.

“Eh itu ada si Cina, pasti dia pelit!,” misalnya.

Jika kita mau jujur dan berpikir rasional, seharusnya kita tidak perlu mempunyai prasangka seperti itu, karena tidak semua orang itu sama. Prasangka memang harus dipupus. Karena prasangka seperti inilah yang dapat menghancurkan interaksi antar manusia yang berbeda, baik itu dalam suatu kelompok atau dalam suatu negara.

Bagaimana bisa kita menyalahkan orang lain jika kita bukanlah dirinya? Yang diperlukan di sini adalah sebuah dialog. Dialog yang mengandaikan adanya kesetaraan di dalamnya. Bukan sikap sok bijak menasehati dan menyalahkan, menganggap orang lain tersesat dan kitalah yang berada di jalan yang benar.

Jika masing-masing pihak seperti itu, peka dan jujur, maka tidak akan ada prasangka, tidak akan ada perpecahan, yang ada hanyalah perdamaian. Indah sekali bukan?.

Pemimpin yang bijaksana menghasilkan rakyat yang toleran

Secara alamiah, ketika ada masyarakat yang mempunyai perbedaan dan tinggal bersama, mereka akan saling pengaruh-mempengaruhi. Baik itu suami-istri, teman, keluarga, atau masyarakat secara umum. Dalam hubungan saling mempengaruhi itu, secara natural juga akan menyesuaikan diri, saling menghargai satu sama lain, dan menganggap antar satu dan yang lain pada dasarnya adalah sama. Mungkin karena telah mempunyai ikatan batin ya?. Namun itu semua tidak cukup untuk menciptakan sebuah masyarakat yang pluralis.

Bagi saya, terdapat satu hal yang sangat penting dalam menciptakan masyarakat yang saling menghargai satu sama lain, yaitu “Pemimpin”. Pemimpin adalah sosok yang dapat menentukan suatu kebijakan, seseorang yang mempunyai otoritas untuk mengatur rakyatnya. Jika pemimpinnya buruk, tidak mempunyai komitmen untuk membudayakan toleransi, atau bahkan memanfaatkan perbedaan kelompok untuk kekuasaan, toleransi dapat dipastikan tidak akan tercipta, rakyat tidak akan sejahtera.

Misalnya saja, ketika zaman kolonial Belanda, pihak kolonial secara sengaja memisahkan golongan antara orang Eropa, Asia Timur, dan Pribumi. Orang Tionghoa yang sejak dulu memang sudah ada di bumi nusantara diberi hak khusus untuk mengelola perekonomian. Sedangkan Pribumi di golongan paling bawah menjadi pekerja-pekerja kasar. Selain itu, terdapat kebijakan pemisahan perumahan bagi Tionghoa dan Pribumi, sehingga muncullah istiah Kampung Pecinan. Hal itu semakin menambah jarak antara Tionghoa dan Pribumi. Setelah revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia, sayangnya stereotip Pribumi-non Pribumi pun masih terjadi sampai sekarang.

Masyarakat Lasem tampaknya beruntung, karena mereka mempunyai pemimpin yang toleran, bersikap profesional dalam mengangkat pejabatnya. Secara tata ruang kota, di Lasem, terdapat klenteng yang dibangun di tengah-tengah pesantren, terdapat pula masjid jami yang terdapat di kawasan pecinan. Di Desa Soditan sendiri, di satu kompleks terdapat dua gereja, klenteng, vihara dan masjid. Tidak ada konflik yang berarti di tempat ini karena masyarakatnya sudah terbiasa membaur.

Kebijakan-kebijakan yang bijaksana seperti inilah yang seharusnya dilestarikan. Miris sekali jika sampai saat ini pemerintah Indonesia masih bersikap diskriminatif terhadap golongan tertentu. Untuk mempunyai pemerintahan yang bijaksana mungkin bisa dimulai dari diri sendiri, teman, keluarga, komunitas, hingga satu wilayah seperti kota Lasem bahkan di seluruh Indonesia. Dimulai dari kepekaan dan kejujuran!

--

--