NAMA

Liang-Thay Siek
PLURAL(IS)ME
Published in
9 min readOct 23, 2017
Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (Foto: pribadi)

“Siapa namamu…? Tai?”, tanya pak Bowo.

Dan meledaklah kelas itu dalam tawa. Pertanyaan itu disampaikan pak Bowo, guru PMP (Pendidikan Moral Pancasila) kelas kami. Seorang guru berkumis tebal yang terkenal killer. Saat itu aku diminta untuk memperkenalkan diri sebagai seorang murid baru di kelas enam. Sebelumnya aku bersekolah di sebuah kota kecil di lereng gunung Sumbing. Orang tuaku pindah ke Jogja saat aku belum menyelesaikan tingkat sekolah dasar, jadi aku pun terpaksa menjadi murid baru untuk kelas enam ini.

“Coba ulangi lagi!” perintah pak Bowo.

“Thay”, ucapku sembari melafalkan namaku, yang harus kuakui untuk yang tidak terbiasa akan sulit mengucapkannya.

Nama itu harus diucapkan antara ‘t’ dan ‘d’ dengan pengakhiran yang cenderung berbunyi ‘e’ bukan ‘i’. Sementara itu, seluruh kelas sudah reda tawanya, namun masih bisa kudengar cekikikan dan bisik-bisik di sana-sini.

“Kamu tulis saja di papan tulis! Lengkap!” perintah pak Bowo lagi.”Jeneng kok angel men!” (Nama kok susah sekali).

Dengan rasa masygul aku maju ke papan tulis. Kuambil kapur dan kutulis dalam huruf balok: SIEK LIANG THAY. Lalu kembali duduk.

“Ooo… namanya si liang tai..” kata pak Bowo. Gelegar tawa kembali meledak.

“Jadi dia ini golongan WC”.

Lagi-lagi tawa teman-teman sekelasku membahana. Wajahku terasa panas. Ekspresiku menjadi canggung antara mau marah, tapi tidak berani dan senyum yang pastinya sangat kecut. Perlahan terasa ada segaris luka menggores bagian dalam dadaku.

Itulah awal aku berhadapan dengan situasi di mana keberadaanku sebagai etnis Tionghoa mendapatkan perlakuan yang merendahkan. Sebelumnya saat tinggal di kota kecil di lereng Sumbing itu aku tak pernah mengalaminya. Mungkin karena di kota itu ada satu komunitas Tionghoa yang cukup besar di mana aku menjadi bagiannya. Dan semua temanku adalah teman sejak kecil, yang sekalipun tidak semuanya Tionghoa, namun mereka tidak mengalami kesulitan mengucapkan atau melafalkan nama Tionghoa.

Sedang di Jogja ini adalah kota besar yang penduduknya beragam. Mayoritas Jawa. Etnis Tionghoa hanyalah sebagian kecil. Teman sekelasku di sekolah baru ini sebenarnya juga banyak yang Tionghoa, tapi kebanyakan sudah tidak menggunakan nama Tionghoa lagi. Mungkin karena itu mereka menjadi kurang fasih dalam melafalkan nama Tionghoa. Mungkin mereka merasa sudah menjadi bagian dari mayoritas, sedang aku yang masih memakai “nama tiga-kata” serta status siswa baru ini masih dianggap sebagai ‘liyan’.

Selanjutnya dalam kehidupan sehari-hari namaku dilafalkan sebagai ‘Tay’. Aku pun sudah tidak ambil pusing. Namun aku jadi membenci namaku. Dan mungkin juga di bawah sadarku juga membenci orang tuaku yang memberi nama yang sulit diucapkan ini. Setidaknya tidak semudah saudara-saudaraku yang lain.

Diam-diam aku memendam impian untuk bisa mengganti nama. Bukankah banyak baik teman, kerabat maupun keluargaku yang mengganti nama Tionghoa mereka menjadi nama ‘Indonesia’? Namun ada dua kesulitan — pertama, biasanya nama ‘Indonesia’ seorang Tionghoa diambil dari nama Tionghoanya. Misal seseorang yang bernama Han, ia akan mengganti jadi Handoko. Atau Liem menjadi Salim, Gie menjadi Giyanto, dsb. Aku kesulitan untuk menemukan nama ganti yang cocok yang mengambil kata ‘Thay’.

Kesulitan kedua lebih mendasar. Bagi seorang Tionghoa untuk bisa mengganti namanya menjadi nama ‘Indonesia’, terlebih dulu ia haruslah menjadi Warga Negara Indonesia. Sedangkan aku masih tercatat sebagai Warga Negara Asing. Di akte kelahiranku jelas tertulis — Akte Kelahiran Warga Negara Cina (?). Padahal setapakpun belum pernah aku menginjakkan kakiku di negara Cina sono. Demikian juga kedua orang tuaku. Demikian juga keempat orang tua dari orang tuaku.

Untuk bisa menjadi WNI, seorang anak otomatis mendapatkannya bila permohonan orang tuanya dikabulkan sebelum si anak berusia 17 tahun. Selepas 17 tahun, ia harus mengurus permohonan kewarganegaraan sendiri.

Seingatku sejak aku berusia belasan tahun (SMP), ayahku sudah mengajukan permohonan kewarganegaraan Republik Indonesia. Sebuah proses yang panjang dan berliku serta menghabiskan baik energi, waktu maupun dana. Sebelum permohonan itu dikabulkan, artinya aku harus tetap memakai nama yang aku benci ini, karena tidak bisa mengganti namaku. Dan itulah yang terjadi.

Sembari menunggu kesempatan itu, ketika berinteraksi di publik untuk urusan-urusan yang bukan hukum, aku sering memakai nama palsu demi memudahkan urusan. Misalnya untuk pemesanan jahitan pakaian, aku sering memakai nama ‘Iwan’. Kali lain untuk urusan lain, aku pakai nama ‘Budi’ atau ‘Yan’. Nama ‘Yan’ ini entah kenapa membuatku merasa cocok. Terilhami dari nama seorang penyiar berita TVRI — Yan Partawijaya. Mungkin karena terasa barat (Belanda) misalnya Jan Pieterzon Coen, namun juga terasa tionghoa. Di samping itu mudah diucapkan, walau kadang juga sering salah tulis dengan ‘Ian’. Tidak apa-apa. Malah lebih keren lagi. Jadilah nama ‘Yan’ itu yang paling sering kupakai sebagai nama tidak resmi.

Sementara itu, proses permohonan kewarganegaraan RI orang tuaku berjalan sangat lambat. Sampai akhirnya tibalah aku di usia 17 tahun, dan permohonan itu belum dikabulkan (bahkan sampai ayahku meninggal dunia tahun 1995 tidak penah terkabulkan). Itu berarti setelah mempunyai KTP (yang lagi-lagi bertuliskan ‘warga negara asing’ dengan warna merah), aku harus mengajukan permohonan sendiri.

Dan dimulailah suatu proses yang kalau boleh dibilang paduan antara menyebalkan, melelahkan, dan menyakitkan. Akan terlalu panjang untuk diuraikan di sini. Jadi aku potong kompas saja ke tiga tahun berikutnya, ketika permohonanku sudah dikabulkan dan disumpah menjadi ‘warga negara Republik Indonesia’.

Saat itu aku telah mulai kuliah dan dengan resminya aku sebagai WNI, kesempatan untuk mengganti nama menjadi terbuka. Anehnya, saat itu keinginanku untuk berganti nama menjadi nama ‘Indonesia’ telah surut. Aku masih saja mengalami kejadian di mana orang susah untuk menyebut namaku. Aku harus mengulang agar mereka bisa menangkap bunyi namaku sebenarnya ini. Mereka cenderung untuk menyebutnya dengan ‘tay’ atau ‘tey’ atau bahkan singkat saja ‘t’. Dan aku tidak keberatan.

Di samping itu ada perasaan segan untuk muncul dengan nama baru di sebuah lingkungan yang sudah mengenalku dengan nama lain. Saat itu aku cukup aktif di kampus dan punya banyak teman. Aku tidak ingin untuk suatu hari mengatakan kepada mereka,

”Hai, namaku sekarang X ya, bukan lagi Y.”

Aneh saja rasanya membayangkan hal itu.

Bukan itu saja, untuk mengganti nama prosesnya juga tidak gampang-gampang amat dan yang jelas — perlu fulus alias duit. Ada dua jenis ganti nama. Masih mempertahankan nama marga atau nama marga hilang sama sekali. Untuk yang pertama cukup di daerah saja. Kalau untuk menghilangkan marga, harus sampai ke pusat (Jakarta). Dan lebih mahal tentunya.

Aku tak pernah mengingat instansi apa untuk ganti nama itu — apakah pengadilan atau catatan sipil atau lainnya. Saat itu aku, dengan kemungkinan situasi canggung yang bakal aku hadapi serta kebutuhan dana yang tidak sedikit, keinginan ganti namaku pelan-pelan menyurut.

Sementara aku juga mulai berpikir — toh ada tokoh-tokoh Indonesia yang tetap memakai nama Tionghoa, semisal Liem Swie King (atlet bulu tangkis), Kwik Kian Gie (ekonom/politikus), Ong Hok Ham (sejarawan), Pang Lay Kim (ekonom), Go Ban Hong (profesor ahli tanah), PK Ojong atau Auw Jong Peng Koen (pendiri Kompas), Yap Thiam Hien (Pengacara/Aktivis HAM). Kenapa mereka tidak mengganti nama? Bukankah mereka juga tetap berkontribusi bagi Indonesia? Rasanya tidak ada relevansinya sama sekali antara nama yang menunjukkan ketionghoaan mereka dengan sumbangsih mereka bagi negeri ini.

Sekitar tahun 90-an itu juga aku mulai mengenal nama Arief Budiman, sebagai satu orang yang kritis terhadap persoalan sosial politik di tanah air. Darinya aku lalu ‘berkenalan’ dengan adiknya yaitu (almarhum) Soe Hok Gie, yang kebetulan beberapa tulisannya dibukukan. ‘Zaman Peralihan’ dan tentu saja yang jadi best sellerCatatan Harian Seorang Demonstran’ adalah dua judul yang terbit pada tahun-tahun tersebut. Aku membaca buku-buku itu dan merasa menemukan satu kesadaran baru sebagai seorang warga bangsa Indonesia.

Soe Hok Gie berusia seumuranku saat ia menuliskan pandangan-pandangannya tentang situasi sosial politik Indonesia tahun 60an. Tulisan-tulisannya terasa sangat relevan dengan situasi saat itu (tahun 96–98). Dan yang paling penting adalah aku menemukan adanya satu pemahaman tentang situasiku sebagai seorang etnis Tionghoa. Soek Hok Gie juga seorang Tionghoa yang bernama Tionghoa pula. Ia kritis terhadap lingkungannya, namun ia juga berteman dengan banyak orang dari berbagai latar belakang etnis dan agama. Ia juga menerima perlakuan diskriminatif, namun itu tidak menghalanginya untuk mencintai negeri ini, alam dan manusianya.

Hal inilah yang menyadarkanku. Kebencian dan kecurigaan antar etnis yang selama ini terus direproduksi lintas generasi harus berhenti. Dan yang bisa menghentikan adalah diri kita sendiri. Sejak saat itu secara berangsur-angsur, pola pikir stereotip mulai kuhilangkan dari benakku. Kalau ada satu kejadian misal si A dan teman-temannya yang beretnis Jawa memukuli B yang Tionghoa, maka aku tidak akan berkesimpulan bahwa orang Jawa jahat. Karena aku punya teman-teman Jawa yang baik. Atau ada kejadian gereja di daerah X dibakar oleh sekelompok orang beragama Islam, maka aku tak pernah menganggap semua orang Islam jahat. Karena aku juga punya teman-teman Islam yang baik. Karena aku tahu ada orang-orang Islam yang sangat baik.

Kembali ke masalah nama — pemahaman baru tentang berbangsa ini semakin mengurungkan niatku untuk berganti nama. Apalagi setelah aku tahu dari bacaan-bacaan, bahwa perintah penggantian nama Tionghoa itu berasal dari kebijakan Soeharto yang ingin mengebiri peran masyarakat Tionghoa seperti pada jaman kolonial. Keindonesiaan harus ditunjukkan dengan tidak menggunakan budaya Tionghoa, termasuk di antaranya adalah nama. Masih menggunakan budaya (nama) Tionghoa berarti bukan Indonesia. Tidak nasionalis.

Tapi orang-orang yang kusebut di atas (dan masih banyak lagi sebenarnya) justru menunjukkan tidak ada relevansi antara nama Tionghoa dengan nasionalisme. Maka dari itu, sekalipun tetap mengalami kesulitan dalam memperkenalkan diri atau dianggap aneh, aku tetap bertahan dengan nama Tionghoa-ku.

Kebijakan Soeharto tersebut diterapkan secara represif ke dalam masyarakat Indonesia, baik Tionghoa maupun bukan. Sehingga lama kelamaan orang tidak lagi kritis terhadapnya. Kebijakan itu dianggap sebagai sesuatu yang lazim. Hal ini nampak pada suatu kesempatan di tahun 1998–31 tahun setelah kebijakan tersebut dikeluarkan. Saat itu aku sedang duduk di dalam sebuah diskusi menyikapi situasi seputar lengsernya Soeharto. Di sampingku seorang teman yang aku tahu berasal dari keluarga intelektual yang cukup kritis terhadap permasalahan sosial. Aku lupa konteksnya apa, namun aku ingat dia lalu bertanya,

”Kamu nggak ganti nama Indonesia?”

Aku pandangi dia sejenak,”Sebelum aku jawab pertanyaan itu, aku mau tanya dulu dua hal.”

“Oke”

“Menurutmu kenapa aku harus ganti nama?”

Dia terdiam. Berpikir. Lalu tersenyum sambil manggut-manggut. Aku juga tersenyum. Dan kami pun paham, jawabannya tak perlu diucapkan.

“Pertanyaan kedua — menurutmu ‘nama Indonesia’ itu seperti apa?”

Dia terdiam lagi. Namun kali ini dia menjawab,

”Ya, mungkin seperti Budi, Joyo, Satrio gitu..?”

“Itu nama Jawa,” kataku.

Dia nampak berpikir lagi. Sebelum dia mengutarakan isi kepalanya, aku melanjutkan,

”Oke, suku Jawa adalah bagian dari Indonesia. Tapi bagaimana dengan, misalnya suku Batak atau suku Bali? Bagian dari Indonesia juga. Jadi boleh jugakah aku pakai nama Maruli atau Toga atau Kadek atau Nyoman? Tapi nanti aku dibilang — kau ini tak ada kaitan dengan adat Batak/Bali kenapa pakai nama Batak/Bali? — repot juga kan?”.

“Atau aku pakai saja nama Steven, Tommy, Rudy, Anton? Tapi ah, itu kan dari barat..”

“Atau Jusuf, Amir, Fuad atau Ahmad? Itu nama Arab,” lanjutku nyerocos. “Jadi yang seperti apa yang disebut nama Indonesia itu? Kalau semuanya itu boleh atau bisa disebut nama Indonesia, kenapa nama Tionghoa-ku tidak boleh atau tidak bisa disebut sebagai nama Indonesia?”

Temanku hanya terdiam. Tersenyum sambil mengangkat jempolnya,

”Yes, you’re right!”

Setelah reformasi, saat Gus Dur jadi presiden, kebijakan Soeharto yang rasis itu dicabut dan masyarakat Tionghoa pun bebas untuk berekspresi dengan bentuk-bentuk budayanya, termasuk nama. Namun menghilangkan trauma itu tidak mudah. Hal ini nampak setidaknya dari saudara-saudaraku dan teman-temanku yang Tionghoa, ketika mempunyai anak tidak lagi menamai anaknya dengan nama Tionghoa. Termasuk juga aku. Karena dengan dicabutnya peraturan yang represif itu, tidak serta merta orang banyak langsung bisa menerimanya. Semakin ke kini,memang ada kemajuan dalam penerimaan budaya Tionghoa. Tapi tetap saja aku merasa masih ada jarak.

Dalam hal nama, sejak saat itu aku tak pernah lagi memakai nama ‘jadi-jadian’ demi memudahkan orang lain. Kesulitan pengucapan atau penulisan masih acap aku jumpai. Biasanya aku mencoba bersabar dengan mengejanya menggunakan kode alfabet fonetik: tango-hotel-alpha-yankee. Atau langsung menulis sendiri.

Sembilan belas tahun setelah Soeharto lengser, tahun 2017 ini beberapa bulan yang lalu, salah seorang anggota jemaat gerejaku bertanya,”Mas kok gak ganti nama Indonesia?”. Sungguh, aku sangat terkejut dengan pertanyaan itu.

Bukan karena sudah cukup lama sejak terakhir aku mendengar pertanyaan semacam itu. Namun aku terkejut karena si penanya adalah seorang muda usia yang lahir sekitar 2 tahun sebelum reformasi. Itu berarti saat Gus Dur mencabut peraturan rasis tadi pada tahun 2001, dia masih berusia balita.

Logikanya, seharusnya dia tak pernah bersentuhan dengan pengetahuan tentang aturan ganti nama yang diemban kebijakan tersebut. Namun toh ternyata pengetahuan (baca: prasangka, stereotip) tidak bekerja menurut hukum tertulis saja. Ia juga (terlebih) merembes lintas generasi melalui orang tua, sanak saudara, tetangga, guru, teman.

Inilah yang membuat menghapus stereotip dan prasangka rasial menjadi lebih sulit dilakukan. Tapi bukannya tak mungkin.

Semarang, 6 Juli 2017

--

--

Liang-Thay Siek
PLURAL(IS)ME

Seseorang yang sedang menelusuri akarnya sebagai makhluk hibrida-kultural.